[GMNI] [Fwd: [Nasional] Jiwa-jiwa Retak]
gmni@polarhome.com
gmni@polarhome.com
Thu Dec 12 23:48:35 2002
-------- Original Message --------
Betreff: [Nasional] Jiwa-jiwa Retak
Datum: Thu, 12 Dec 2002 23:09:36 +0100
Von: panca <panca@arcor.de>
Rückantwort: national@mail2.factsoft.de
An: nasional <national@mail2.factsoft.de>
-----------------------------------------------------------------------
Mailing List "NASIONAL"
Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap
Kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-----------------------------------------------------------------------
BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH
-----------------------------------------------------------------------
- Ia dibakar hidup-hidup di tengah-tengah massa yang bersorak kegirangan
seperti sedang melihat sebuah pertunjukan hiburan.
.....................................................
"Kita telah membunuh orang ini, apa sebenarnya yang ia curi?"
Mereka menggelengkan kepala. Diam, tertunduk lesu. Sementara bara api
semakin mengecil dan titik api akhirnya mati diterjang angin yang
tiba-tiba berhembus kencang. Tubuh Prapto kini tinggal arang hitam kelam.
Sementara di rumah, istrinya menjerit-jerit, memanggil-manggil namanya.
------------------
Jiwa-jiwa Retak
Oleh Yusuf Priyasudiarja
Seandainya istrinya tidak mengerang-erang kesakitan karena rasa sakit
yang menusuk-nusuk dinding lambungnya, Prapto barangkali tidak akan tergerak
untuk melakukan sesuatu malam itu. Seandainya ia mempunyai sedikit uang
dan mampu membelikan ramuan obat untuk istrinya, barangkali pikiran negatif
tidak akan sempat menyelinap dalam lorong pikirannya.
Ia semakin sedih melihat penderitaan istrinya sementara ia sendiri
seperti tidak berdaya untuk melakukan sesuatu sebab kemiskinan sudah terlalu
lama menindih kehidupannya. Ia hanya bisa merenung, berdiri mematung di depan
rumahnya dengan pandangan kosong, menerawang jauh. Pikirannya mengembara
entah ke mana. Sementara angin tiba-tiba berhenti bertiup seperti turut
merasakan duka yang merajam jiwa lelaki itu. Dedaunan tertunduk lesu dan
ranting-ranting hanya terlihat seperti garis-garis memanjang tak berjiwa.
Dingin menggigil, membeku. Ia kembali mendengar rintih tangis istrinya;
rintih tangis yang selalu ia dengar setiap malam sehingga bagi dirinya
malam tak lebih dari sekadar rangkaian duka yang tak kunjung usai.
"Pak aduuuuh..obat.Pak. Aku tak kuat lagi. Sakit sekali. Perutku seperti
ditusuk-tusuk ribuan jarum. Perih sekali...aduuuuh." Istrinya mengaduh.
Kadang menjerit hingga tercipta lengkingan panjang yang getir.
Ia kembali masuk dan berdiri di hadapan istrinya yang wajahnya meringis
menahan sakit yang tak tertahankan. Ia bingung harus melakukan apa. Uang
di dalam lemari tidaklah cukup untuk membeli obat esok hari. Selama ini
ramuan obat memang menjadi penyembuh dan penghilang rasa sakit dan nyeri yang
diderita istrinya. Ia semakin tak tega melihat istrinya menderita.
Istrinya kembali menangis. Menangis lagi. Merintih dan merintih lagi. Tiada
henti.
Dan tiba-tiba sebuah rencana menyelinap dalam pikirannya.
"Kamu harus mendapatkan uang malam ini, kasihan istrimu." Sebuah bisikan
gaib menggema di telingganya. Membangkitkan kesadarannya. Akhirnya ia
menyelinap keluar rumah ketika istrinya untuk sejenak bisa tertidur. Ia
terobos malam yang pekat. Ia perangi ketakutan yang bersarang dalam
batinnya. Ia terus berjalan, menembus beberapa bukit, melewati beberapa
desa dengan satu tujuan untuk mendapatkan uang dengan cara apa saja demi
kesembuhan istrinya.
Rumah saudagar kaya raya yang ia tuju sudah mulai tampak. Namun keraguan
tiba-tiba menyergap. Langkahnya terhenti ketika ia melihat rumah itu
dijaga beberapa orang. Sementara lolongan anjing terdengar lamat-lamat, mengikis
keberanian yang ia bangun sejak awal. Namun bayangan wajah istrinya mendadak
berkelebat di depan matanya. Tangis jerit istrinya tertangkap jelas oleh kedua
telinganya hingga ia putuskan untuk terus berjalan mendekat. Ia mengendap-endap.
Langkah demi langkah. Bergerak perlahan, semakin mendekati rumah. Namun ketika
ia sedang asyik merangkai sebuah rencana jahat, terdengar suara-suara
mencurigakan dari arah belakang. Sebuah bayangan hitam tiba-tiba mendekatinya.
Semakin jelas dan tiba-tiba menyergapnya.
Disusul bayangan lain. Dengan sekuat tenaga ia mencoba meloloskan diri.
Berhasil. Ia kemudian lari menuju arah yang ia sendiri tidak tahu.
"Maling! Maling!" teriak mereka keras-keras memecah keheningan malam
yang pekat. Ia terus berlari menyibak kegelapan. Semakin cepat. Entah sudah
berapa kali ia terjerembab dan bangkit lagi. Tak terhitung.
"Kejar terus, jangan sampai lolos. Ia harus kita habisi malam ini. Kita
cincang tubuhnya, kita bakar ramai-ramai."
Dan malam itu, ia berjuang sekuat tenaga untuk menyelamatkan diri. Di
belakang dirinya kira-kira berjarak seratusan meter, massa yang jumlahnya
semakin banyak terus mengejar dan berteriak-teriak mengumbar sumpah serapah,
menteror dirinya. Di tangan mereka tergenggam berbagai senjata tajam seperti
memberi isyarat bahwa bayang-bayang kematiannya sudah berada di depan mata.
Kini suara derap kaki mereka semakin jelas. Kentongan dan tiang listrik
dipukul bertalu-talu, semakin menambah ketegangan yang bergemuruh di
rongga dadanya.
"Ah.malam ini aku pasti mati," pikirnya ketika tiba-tiba ia terjatuh dan
kepalanya menghantam sebuah batu besar. Darah menetes-netes dari keningnya.
Namun rasa perih tak dirasakannya. Ia kemudian bangkit dan berlari. Lari
dan terus berlari. Namun kini, ia merasakan langkah kakinya semakin lambat
sementara orang-orang yang mengejarnya semakin banyak, semakin dekat.
Mereka seperti berdatangan dari berbagai macam arah. "Ah.kematianku semakin
dekat," pikirnya.
Kemudian sebuah pukulan tiba-tiba menghujam tengkuknya. "Archhh." Ia menjerit
dengan suara tercekik. Kesakitan. Kemudian ia rasakan pukulan, hantaman, tinju,
dan tendangan yang menghujam tubuhnya bertubi-tubi. "
Buk...Buk.Buk!!!" Ia menjerit. Sakit sekali.
Darah mengucur deras membanjiri sekujur tubuhnya. Matanya lebam, giginya
rontok, telinganya berdarah. Ia pikir, ia pasti mati ketika sekujur
tubuhnya disiram bensin. Ia sudah pasrah. Bayangan liang kubur gelap sudah
menantinya. Maut telah menjemput dan bau kematian sudah menyelinap di setiap
jengkal pikirannya.
"Dor! Dor! Dor! Tiba-tiba ia mendengar suara tembakan tiga kali.
Orang-orang terperanjat dan kemudian lari berhamburan, meninggalkannya seorang
diri dalam keadaan sekarat. Sepuluh petugas kepolisian datang dan menyelamatkan
nyawanya. Baru saat itu, ia sadar bahwa polisi ternyata tidak seburuk
yang ia duga sebelumnya. Bak pahlawan mereka menyelamatkan dirinya dari ambang
maut yang tinggal beberapa jengkal di hadapannya.
***
Malam itu ia mendekam di kamar tahanan polsek. Sejenak ia bisa merasakan
kamar itu seperti surga baginya. Ia tidak lagi merasa takut. Tak terdengar lagi
hiruk pikuk massa yang kalap dan dipenuhi amarah. Senandung kematian tidak lagi
menghantui pikirannya. Kecemasan seperti lenyap tak berbekas.
Luka dan perih seperti tersembuhkan. Kamar bercat kusam berukuran dua
kali tiga meter itu telah memberinya rasa aman. Mendadak ia melihat bayangan
wajah istrinya di dinding kusam tahanan. Istrinya seperti memanggil-manggil
namanya. Telinganya seperti mendengar rintih tangis istrinya. Ingin sekali ia
tembus tebalnya dinding tahanan dan kemudian lari sekuat tenaga untuk menemui
istrinya. Ia tahu istrinya pasti sangat menderita. Tetapi ia tidak dapat
berbuat banyak. Ruang tahanan itu telah mengurungnya. Ia hanya bisa berharap
untuk bertemu istrinya keesokan harinya.
Namun menjelang tengah malam, ia mendadak dikejutkan oleh suara teriakan
massa di luar kantor polisi. Dan tiba-tiba ter- dengar suara "Prang.Prang".
Kaca depan kantor polisi itu pecah terkena lemparan batu sebesar kepalan
tangan. Pecahan-pecahan kaca terburai di lantai. Ternyata massa yang
berjumlah ratusan telah mengepung kantor polisi itu.
"Serahkan maling itu kepada kami!,"
"Kami akan mengambil paksa maling itu!" teriak mereka.
"Sabar Bapak-bapak. Setiap orang yang melanggar hukum pasti kami tangani
sesuai dengan hukum yang berlaku." Pimpinan polisi mencoba menenangkan
massa.
"Tidak! Keluarkan maling itu dari tahanan. Sekarang juga!"
Dengan suara tegas namun agak gemetar, polisi itu menjawab,"Tenang
bapak-bapak. Sudah menjadi tugas kami untuk menyelidiki dan memeriksa
para pelaku kejahatan. Percayalah kepada kami. Pengadilan nanti yang akan
memutuskan."
"Dosa-dosa maling itu sudah banyak. Kesalahan-kesalahannya sudah tak
terampuni. Rakyat di wilayah kami sudah lama resah karena sering menjadi
korban kejahatannya. Malam ini, kami akan memberinya hukuman yang
setimpal."
"Jangan bertindak main hakim sendiri. Main hakim sendiri juga merupakan
pelanggaran hukum. Percayakanlah semuanya kepada kami."
"Kami tidak percaya lagi kepada hukum dan pengadilan. Biarkan rakyat
yang akan mengadilinya. Bagi kami, hukum dan pengadilan rakyat lebih terhormat
dan lebih adil daripada hukum dan pengadilan negara."
Suasana semakin mencekam. Prapto meringkuk diam di pojok kamar tahanan
dengan penuh ketakutan. Bayangan kematian kembali berkelebat dalam
pikirannya.
"Kami tidak peduli dengan segala macam tetek bengek tentang hukum.
Pokoknya serahkan maling itu kepada kami sekarang juga. Jika tidak, kami tidak
akan bertanggungjawab atas segala kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi."
"Apa maksud Bapak?"
"Maling itu akan kami seret keluar. Kami akan menghukumnya dengan cara
kami sendiri."
Orang-orang bergerak semakin mendekat. Dengan tatapan beringas dan
senjata diacung-acungkan ke atas, mereka terus berteriak-teriak seperti ingin
memberi tanda bahwa mereka sangat serius dengan ancaman itu.
"Kami tidak bisa menyerahkan maling itu kepada Bapak semuanya. Kami
mempunyai tugas untuk melindunginya." Melihat suasana yang semakin tak
terkendali, polisi itu dengan sigap menarik pistol dari pinggangnya.
Lantas terdengar suara letusan tembakan peringatan tiga kali. "Dor.dor.dor"
"Kami tidak segan-segan bertindak tegas kalau bapak-bapak melawan kami."
Massa memang sempat terhenyak, namun mereka tidak bergerak mundur.
Mereka justru semakin mendesak maju dan bertambah beringas.
"Ayo tembak kami semua. Kami tidak takut. Serbu!! Serbu!!" Tiba-tiba
terdengar suara keras dari massa. Massa yang sudah dipenuhi amarah
kemudian menyerbu, menghajar satuan polisi. Sebagian polisi yang ada di dalam
mencoba menyelamatkan diri lewat pintu belakang. Massa kemudian membuka paksa
dan menjebol pintu tahanan. Prapto yang sudah dipenuhi ketakutan akhirnya
diseret keluar, dihajar habis-habisan. Darah kembali menggenangi seluruh
tubuhnya. Wajah Prapto memar-memar memerah, bengkak di beberapa bagian wajahnya.
Kedua bibirnya pecah-pecah. Ia berdiri sempoyongan dan kaki kanannya terasa
sakit. Sepertinya tulang kaki kanannya patah. Seseorang pasti telah memukul
kakinya keras-keras dengan sebuah linggis atau batang besi.
Wajahnya meringis dan ia menjerit-jerit menahan sakit. Bau bensin
tiba-tiba menyergap. Lantas percikan api dalam sekejab telah meluluhlantakkan
tubuhnya.. Ia dibakar hidup-hidup di tengah-tengah massa yang bersorak
kegirangan seperti sedang melihat sebuah pertunjukan hiburan.
Ia menjerit-jerit menahan panas yang tak tertahankan. Namun suaranya tenggelam
di tengah-tengah sorak sorai dan berjuta-juta makian. Dan tak lama kemudian
suaranya semakin lirih, hanyut dalam badai amarah memuncak.
Tubuhnya roboh, hangus kehitaman. Dan akhirnya ia mati mengenaskan.
Sementara orang banyak menyeringai puas seolah-olah mereka baru saja
memanggang daging binatang buruan. Mereka tidak sadar bahwa Prapto
adalah seorang manusia seperti mereka juga.
Ketika mereka tidak lagi mendengar suara rintihan dan erangan, mendadak
mereka terdiam. Mulut mereka seperti terkatub. Mereka saling
berpandangan, seperti baru bangkit dari mimpi panjang. Teriakan-teriakan dan
amarah yang memuncak tiba-tiba lenyap. Kesunyian mengurung tempat itu. Mereka
sibuk dengan pikiran mereka sendiri-sendiri. Sampai seseorang berkata, "Kita
telah membunuh orang ini, apa sebenarnya yang ia curi?"
Mereka menggelengkan kepala. Diam, tertunduk lesu. Sementara bara api
semakin mengecil dan titik api akhirnya mati diterjang angin yang
tiba-tiba berhembus kencang. Tubuh Prapto kini tinggal arang hitam kelam.
Sementara di rumah, istrinya menjerit-jerit, memanggil-manggil namanya. *.
(SINAR HARAPAN, Kamis, 12 Desember 2002)
-------------------------------------------------------------
Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/
Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national
Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html
Nasional-m: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/
Nasional-a: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-a/
Nasional-e: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-e/
------------------Mailing List Nasional------------------