[GMNI] Analisa Kelas Masyarakat Indonesia dan Tujuan Strategis

GMNI Jatim gmni@polarhome.com
Fri Sep 27 18:00:43 2002


CATATAN BAGI ANALISA KELAS MASYARAKAT INDONESIA DAN TUJUAN STRATEGIS


oleh: EASTERN MASTER mailto:eastern_master@yahoo.com



1. Suatu masalah besar: mewarisi struktur negara Hindia-Belanda.

Masalah pengenalan kontradiksi yang antagonistis dan masalah program
strategis (yakni program politik yang memungkinkan tercapainya kebijaksanaan
yang dituju) adalah problem klasik bagi semua gerakan emansipasi. Jawaban
bagi masalah ini tidak terletak dikemampuan prediksi dan ananlisa tapi dari
penyerapan pelajaran dari pratek, dalam hal ini praksis perkembangan faktor2
produksi di Indonesia.

Ketidak seimbangan perkembangan faktor2 produksi dan hubungan2 produksi
dikawasan Indonesia, disamping perekatan dan penyatuan wilayah secara semu
oleh pembentukan pemerintah Hindi-Belanda dahulu, merupakan salah satu sebab
utama kekeroposan strukur politik masa kini.  Apa yang tersirat diatas
adalah pandangan bahwa kekhususan masyarakat Indonesia ditandai oleh
kehadiran suatu komunitas bersama dari dari perbagai ragam hubungan produksi
tersendiri yang saling terkait satu-sama lain berkat mediasi dan perekatan
oleh negara. Negara ini bukan timbul dari kebutuhan perkembangan hubungan
produksi yang dominan, tetapi diterapkan dari luar untuk dapat mengorganisir
kegiatan ekonomi penjajahan. Negara tersebut hakikatnya adalah struktur
birokrasi-patrimonial yang direbut oleh angkatan 45 dari tangan pemerintahan
Hindia-Belanda dan dikembangkan menjadi NKRI. Memang dengan bermula pada era
pemerintahan Hindia-Belanda terjadi  peluasan kekuasaan berdasarkan wilayah
dimana berbagai sukubangsa yang dikuasai oleh hubungan2 produksi tersendiri
menjadi satu kesatuan politik atas dasar wilayah.

Dilihat dari perspektip ini, maka negara Indonesia (aplikasi suatu konsep
politik asing) bukan pencerminan hubungan produksi ( praksis masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan materiil (melalui produksi dan reproduksi) dan
spiritual (melalui penjiwaan, konseptualisasi dan insitusionalisasi), tetapi
suatu kesatuan politik yang diterapkan pada berbagai masyarakat dan suku di
kepulauan Nusantara guna memungkinkan suatu penghisapan yang effisien dari
satu pusat dengan menggunakan kerangka2 hubungan produksi lokal yang hadir.
Dan karena kita mewarisi negara ciptaan kolonial tersebut sebagai kerangka
dasar dari NKRI, maka lazim bahwa beberapa sifat mekanis dari struktur
warisan tersebut masih kita rasakan kini. Contohnya penyedotan daerah oleh
pusat, pemisahan kekuatan ekonomi dari kekuatan politik, ekonomi yang lebih
mengandalkan sumber kekayaan dan hasil alam dari pada produksi manusia,
modal intelektual, modal kukuh dsb. Warisan ini yang menjadi kekuatan
Indonesia diakhir abad yang lalu, kini dirasakan sebagai beban akibat
perubahan persepsi tentang emansipasi dan aspirasi masyarakat yang semakin
tinggi. Tidak dapat dipungkirir bahwa perubahan kognitip ini merupakan
akibat sampingan dari globalisasi.

2. Lemahnya pembentukan kelas akibat kelemahan diferensiasi peran ekonomis.

Apabila kita menerima proposisi ini sebagai titik tolak, maka kita dapat
mengakui bahwa untuk skala Indonesia tidak ada kontradiksi kelas yang
antagonis. Sebab kontradiksi kelas yang antagonis adalah hasil polarisasi
peran masing2 kelas dalam hubungan produksi yang sudah meliwati titik jenuh.
Tidak usah disangkal bahwa struktur difus seperti ini membuat analisa kelas
masyarakat indonesia menjadi kabur (1). Kalau kita kembali pada tulisan Marx
maka terlihat bahwa salah satu syarat bagi perkembangan hubungan produksi
prakapitalis ke kapitalis adalah terciptanya modal. Sedang bagi terciptanya
modal syaratnya adalah  terbentuknya kelas pemilik dan kelas pekerja yang
tak bermilik (2) Kelas pemilik tersebut sudah ada dan berkembang dalam
masyarakat prakapitalis tetapi tidak memainkan peran kisi dalam perekonomian
dan kekuasaan.  Dalam perjalanan sejarah melalui dinamika intern, baru pada
saat kejenuhan kemampuan produksi feodalisme agraris, yakni apabila
perbandingan antara investasi dalam hubungan agraris feodal sudah tidak
seimbang dengan hasil penghisapan dari penanaman modal dalam kerangka
manukatur, maka kelas pemilik (modal uang bukan pemilik tanah) pada akhirnya
menyesuaikan bentuk negara untuk mengakomodir kepenting modal, sesuai dengan
peran dominan yang sudah dimilikinya dalam hubungan produksi. Adalah dalam
kondisi seperti itu dimana batas2 kelas jelas dan dimana kepentingan untuk
suatu kurun waktu tertentu tidak dapat didamaikan, akan terdapat situasi
dimana kontradiksi menjadi antagonis. Dalam situasi seperti itu kelas yang
menginginkan emansipasi menjadi motor gerakan perubahan. Terus terang
situasi demikian tidak dikonfirmasikan oleh pengamatan empiris dalam
perkembangan masyarakat Indonesia.

Sebaliknya di Indonesia perkembangan hubungan produksi tidak penah tuntas,
ekonomi latifundia perbudakan dan feodum feodalisme tidak pernah dikenal.
Kerajaan2 yang kita kenal dalam sejarah prakolonial kita pada umumnya hanya
merupakan kantong2 kebudayaan istana yang tandai oleh peranan para hamba
rumah-tangga istana. Patut diperhatiakan disini bahwa dasar kekuatan para
raja ini bukanlah pemilikan tanah  tetapi jumlah pengikut.

Patut diperhatikan bahwa para ningrat di Jawa hanya mendapatkan tanahnya
sebagai lungguh dari Rajanya dan bukan hak milik (eigendom) (3). Karena itu
prinsip "Kesatuan antara Tuan-Hamba"(4) memainkan peran penting sebagai alat
ideologis untuk mengikat persatuan antara raja dengan hamba-sahaya. Letak
sebab2 dari kerajaan2 non-feodum (5) di wawasan Nusantara ini dapat kita
cari pada unsur kelangkaan penduduk dan kelebihan tanah dan hutan pada zaman
tersebut. Kelangkaan penduduk ini mendesak kebutuhan untuk merangkap
berbagai fungsi ekonomis dan sosial, yang pada gilirannya menyebabkan
kelemahan diffrensiasi fungsional. Yang terjadi adalah involusi (6) dimana
seorang pribadi merangkap fungsi2 yang mejerumit dalam produksi dan
reproduksi, sehingga kedudukan kelasnya tidak tetap.

Seseorang bisa sekaligus petani, seniman, punggawa, pedagang, dan
hamba-istana, menurut tuntutan waktu dan perjanjian skema kerja dengan
penguasa. Jadi, dimasa prakolonial bentuk2 pemilikan berdiri beriring dan
saling terjalin, yakni yang pemilikan komunal disamping pemilikan pribadi
dan hak-guna perseorangan. System pertanian ladang (slash and burn)
merupakan contoh dimana atas tanah hutan yang tidak ada pemiliknya (hak
komunal) dibuka oleh petani dan menjadi hak gunanya selama belum
ditinggalkan. Dengan sistim pertanian tersebut dan orientasi kelaut oleh
para raja2 maka proses sedentarisasi penduduk, yang merupakan salah satu
syarat feodalisme, tersendat-sendat. Dari contoh2 ini terlihat bahwa
kerajaan2 prakolonial tidak membutuhkan penguasaan berdasarkan hubungan
produksi feodal agraris tapi cukup dengan mempertahankan strukutur
birokrasi-patrimonial, dimana istana merupakan pusat aktipitas politik dan
ekonomi. Akibatnya dimasa prakolonial pun pembentukan kelas sudah lemah dan
kontradiksi kelas tidak meruncing.

3. Pertentangan kelas yang cenderung tidak meruncing.

Disamping itu juga harus diterima kelanjutan penalaran bahwa karena sifat
masyarakat Indonesia tersebut yang serba ad-hoc dan tidak memerlukan
hubungan produksi yang tuntas, maka setiap lokalitas memiliki kontradiksi
dasar yang tersendiri, yang tergantung dari alokasi sumber2 strategis dalam
hubungan produksi tersebut. Pada gilirannya alokasi sumber strategis
tersebut  bisa disuatu waktu -tapi tidak harus-menjurus pada pertentangan
yang antagonistis. Ada pandangan yang mengatakan bahwa proses pembentukan
sawah dan pendirian yayasan2 sebagai imbalan pembangunan candi2 merupakan
usaha sendentarisasi penduduk oleh raja dari zaman Cri Wijaya sampai
Majapahit, untuk menguatkan kontrol dan penguasaannya atas penduduk (cacah).
Apabila ini benar maka disini juga terlihat bagaimana raja berusaha
menguasai penduduk dengan wahana ideologis(7) dan penggalakan pengadaan
sawah basah, tanpa menggunakan hak2 feodal (8).

Sekali lagi yang terlihat adalah lemahnya perkembangan (diferensiasi dan
kristalisasi) bentuk pemilikan, akibatnya tidak terjadi kristalisasi kelas2.
Dan karena secara relatip penghisapan lemah, maka pada gilirannya tidak
memungkinkan akumulasi kekayaan yang dapat bermutasi menjadi modal (jumlah
kekayaan yang mempunyai kualitas sebagai pokok usaha) . Untuk hal terakhir
ini juga turut main peranan adalah lemahnya tradisi pewarisan dan perkawinan
yang tidak menunjang akumulasi kekayaan pada suatu keluarga pemilik yang
berpotensi. Akibat dari konstelasi masyarakat seperti  ini adalah bahwa
mobilitas vertikal  relatip terbuka bagi aspirasi politik dari seorang warga
orang kecil (9). Tanpa hak milik pribadi raja atas tanah dan hak feodal atas
petani (cacah), maka kekuatan dynastik tidak terjaga dan pergantian
kekuasaan dengan unsur2 baru dari lapisan bawah relatip cepat apabila
penguasa lemah (10). Keadaan ini, bersama dengan batas2 kelas yang relatip
tidak ketat dan berubah-ubah, membuat tidak adanya kebutuhan untuk merombak
tatatan negara dan masyarakat sebab aspirasi politik dan kekayaan relatip
tersalurkan dalam sistim birokrasi-patrimonial, melalui penggantian raja
atau orang kuasa. Selama batas2 kelas difus dan produksi dan reproduksi
masyarakat tidak tergantung pada alokasi peran pada kelas2, maka tidak akan
ada pertentangan kelas: sebab kalau kelasnya saja tidak ada jadi apa yang
harus dipertentangkan.

4. Pertentangan Kelas dizaman pasca Orba

Jadi jalur sejarah perkembangan masyarakat  kita sudah tandai oleh struktur
birokrasi-patrimonial sejak dahulu kala, sumbangan pemerintah Hindia Belanda
adalah bahwa wawsannya diperluas dan wadahnya dimodernisir,  dan inilah yang
dizaman Suharto menampak sebagai varian mutakhir birokrasi-militer. Dalam
struktur ini tidak ada antagonisme kelas pemilik dan tak bermilik, hampir
semua adalah pemilik kecil yang miskin dan sebagian sebagian kecil merupakan
kelas tak bermilik yang kaya, yakni yang menjadi kaya melaui jabatan dan
koneksi pejabat.

Tidak berarti bahwa kita dalam masyarakat tanpa pertentangan kelas, sebab
disektor pertanian terdapat pertentangan dasar antara petani-pemilik dan
buruh-tani, dalam sektor industri dan industri ringan terdapat pertentangan
dasar antara majikan dan buruh. Kondisi tersebut mematerialisir sebagai
akibat pembangunan dan perpindahan dana dari luar negri kedalam, yang telah
membentuk satu kepastian yakni terciptanya kemampuan beli bagi sebahagian
masyarakat. Kemampuan beli ini sebagian menjadi pemilikan barang modal
sedang yang lain digunakan bagi pembelian barang konsumen. Hanya saja karena
industri2 ini bukan merupakan kisi dari roda perekonomian indonesia maka
kontradiksi2 ini tidak menampak kepermukaan sebagai kontradiksi utama tetapi
mengendap sebagai pertentangan yang laten.

Lalu dimana letak kontradiksi yang menggerakkan kejatuhan Suharto dan Orba?
Kontradiksi tersebut adalah kontradiksi intern dalam kelas borjuasi (
penggunaan kata reformasi tentunya bukan kebetulan). Kontradiksi antara
birokrasi-militer dengan borjuasi nasional, yakni golongan pemilik disektor
industri, keuangan, jasa dan pertanian. Disinilah letak kunci pengenalan
kerangka politik dewasa ini, dimana peran antagonis tersebut dimainkan oleh
unsur dasar NU dan Marhaen, yang merupakan pencerminan aspirasi kelas
pemilik kecil. Golkar dan TNI/Polisi dilain pihak merupakan pencerminan
birokrasi-militer. Seperti revolusi Perancis merupakan revolusi borjuis yang
menggulingkan rezim aristokrasi-feodal, maka reformasi adalah penggeseran
birokrasi-militer oleh kalangan borjuis diluar lingkungan birokrasi.

Jadi jelas suatu aksi borjuis, perbedaannya dengan revolusi perancis adalah
bahwa apabila dalam revolusi perancis kemampuan borjuasinya adalah hasil
pemupukan akumulasi modal yang panjang dari abad2 madya, dan peralihan peran
kisi perekonomian dari agraria ke industri, maka perkembangan borjuasi
indonesia ini adalah akibat kucuran dana dari luar yang dipancing masuk ke
Indonesia oleh selama rezim Suharto.

5.Fraksi2 kelas pemilik.

Justru karena perkembangan borjuasi Indonesia ditandai oleh sumbangan besar
dari struktur birokrasi patrimonial, maka pertentangan yang timbul antara
birokrat-militer dan kelas pemilik yang produktip tidak dengan sendirinya
timbul. Seluruh pertumbuhan borjuasi Indonesia yang paling berarti justru
mengambil tempat dibawah atap perlindungan birokrasi-militer. Dibawah
perlindungan birokrasi-militer borjuasi berhasil mendatangkan uang murah
dari manca negara melalui bursa internasional dan pinjaman dipasaran uang.
Hanya pada saat melesatnya Krisis Moneter, dimana terlihat keterbatasan dari
Cendana dan struktur birokrasi patrimonial maka terjadi keretakan
kepentingan yang semakin menjurus kepada antagonisme pada waktu krisis tidak
teratasi. Patut diingat karena sifat kapitalisme yang birokrasi patrimonial,
maka dalam masyarakat Indonesia tidak berlaku pembagian seperti borjuasi
komprador dan borjuasi nasional.

Borjuasi nasional di Indonesia pada hakekatnya adalah borjuasi kecil atau
lumpen ploretariat yang menggunakan koneksi birokrasi untuk memancing arus
dana dari mancanegara. Baru pada saat dana yang diterima berubah menjadi
modal maka terjadi perubahan menjadi kelas produktip. Dari perkembangan
selanjutnya sebagai pemilik modal akan terlihat perbedaan posisinya terhadap
birokrasi, sehingga  kita dapat membuat perbedaan antara borjuasi pelanggan
dan borjuis murni. Borjuasi pelanggan adalah borjuasi piaraan dan lindungan
dari birokrasi-militer. Dalam era Suharto mereka dapat berkembang menjadi
konglomerat, termasuk diantaranya adalah konglomerat keturunan Cina tetapi
juga konglomerat pribumi dan pengusaha2 KKN.

Borjuis murni adalah mereka yang memasukkan modalnya dalam produksi, dan
kini tergantung pendapatannya dari penjualan hasil produksinya. Bagi
golongan terakhir ini peraturan negara malah bisa menghambat dan menyulitkan
pengaliran produk dari pabrik ke pasar, mereka berkepentingan untuk
mengurangi pengaruh birokrasi yang menghambat usahanya.

6.Peran kisi kelas pemilik kecil ( petit borgeoisie ).

Jadi, berbeda dengan situasi pra revolusi di Rusia dan Cina, maka di
Indonesia sebelum bonanza minyak di tahun '70-han tidak dapat dikatakan
terdapat kelas borjuis yang berarti. Kelas borjuis baru berkembang pada saat
syarat2 pemilikan tercipta yakni pada saat kwantitas dana mencapai proporsi
yang memungkin perubahan kwalitas dana tersebut dari kekayaan menjadi modal.
Jelas bahwa ini adalah hasil dari influx dana dari luar negri melalui
perjanjian multilateral dan bilateral antar pemerintahan, tetapi juga oleh
peminjaman dan pengumpulan dana dari luar negri oleh perusahaan2 di
Indonesia. Karena itu ciri pokok bojuasi

Indonesia adalah ketergantungannya pada dana luarnegri, sebab asal-usul
modal tersebut bukan berpangkal pada akumulasi modal (11) atau penghisapan
kapitalis (12) dari dalam negeri, tetapi dari dana bantuan pembangunan
negara donor bagi negara berkembang. Posisi khusus borjuasi indonesia ini
yang tidak mapan berakibat  bahwa kelas buruh juga tidak berkembang menjadi
kelas yang mapan sebagai prasyarat industri dan manufaktur. Malah sebaliknya
buruh bisa menjadi pemilik kecil sebagai petani kecil atau menjadi lompen
proletar; yakni sebagai gelandangan urban dan upahan harian. Bersama dengan
perkembangan pemilikan kecil (manufaktur, penjaja kaki-lima), akibat trickle
down effect dikurun pertama tahun 90-han, dan pemilikan kecil dalam
pertanian maka kelas yang paling konstan perkembangan dan pertumbuhan
kepentingannya adalah kelas borjuasi kecil. Lagi pula kelompok2
proffesional,  kerah putih dan bahkan militer masih merupakan komponen dari
kelas borjuis kecil ini. Dengan demikian maka kelas pemilik kecil
ditempatkan pada peran kisi dalam perkembangan masyarakat Indonesia saat
ini, yang pada mulanya dibesarkan oleh langkah2 pemerintah tetapi juga
setelah kelas ini membengkak maka justru dihalangi perkembangan lanjutnya
oleh negara untuk bisa bermutasi menjadi kelas pemilik dan tidak bermilik
yang penuh.

7. Kelangkaan Partai Pelopor sebagai pandu perkembangan.

Akibat kelangkan antagonisme kelas adalah tidak adanya kebutuhan keberadaan
suatu partai pelopor dari suatu kelas tertentu yang memantau dan memberi
arah pada jalannya perkembangan. Karena itu maka aktivis2 reformasi dihadapi
pada saat2 dimana peta situasi politik tidak jelas. Ini pada dasarnya karena
tidak ada pertentangan organis dari hubungan produksi itu sendiri yang
meminta penyelesaian yang tuntas. Peran partai pelopor ini secara klasik
seharusnya diisi oleh partai yang mewakili kelas yang sedang
menyelenggarakan perubahan struktur politik.

Di Indonesia saat ini fungsi tersebut secara tidak sadar diisi oleh PKB dan
PDIP, yang tidak memiliki konsep teori perkembangan  kemasyarakatan tetapi
yang telah bisa melaksanakan misinya secara naluriah.  Karena partai
revolusioner dari kelas buruh tidak akan dapat berfungsi sebagai pelopor,
karena pembentukan kelas buruh belum tuntas, maka peran pandu dalam
perubahan tatanan masyarakat tidak akan dipenuhi oleh suatu pimpinan
strategis dari kelas buruh. Dengan demikian saat ini gerakan2 aktivis tidak
mungkin terkoordinir, terpadu dan serasi dalam langkahnya. Bersamaan dengan
kelangkaan pimpinan tersebut, tidak ada strategi umum yang menyadi sandaran
bagi aktivis yang dapat membimbing dan berfungsi sebagai peta navigasi dalam
aksi politik sehari2.

Terlebih lagi, akitivis2 reformasi malah akan tergantung pada ulah tindak
elite partai2 borjuasi kecil, yang berubah-ubah arahnya dan tidak memiliki
konsistensi. Karena dalam waktu cepat suatu platform pimpinan strategis bagi
transformasi masyarakat Indonesia tidak bisa terbentuk, maka seluruh arah
perkembangan selanjutnya akan tergantung pada visi dan ulah tindak dari
partai2 borjuasi kecil, yakni PDI-P dan PKB. Hal ini telah kita lihat
sendiri dengan kejatuhan Gus Dur oleh Megawati melalui pendekatan PDI-P
dengan Golkar, yang menyebabkan set-back proses pembongkaran struktur
birokrasi-patrimonial. Karena itu suatu partai baru sebagai pandu perubahan
sangat dibutuhkan harus bisa menetapkan strategi transformasi masyarakat
indonesia ke suatu masyarakat sivik yang penuh (konsep negara borjuis).

 8. Mendefinisikan kembali Transformasi Masyarakat Indonesia.

Mengapa kita harus membangun negara madani (borjuis) dan bukan negara
sosialis? Jawabannya terletak dalam perpanjangan penalaran diatas yakni
bahwa struktur negara yang kita warisi bersifat birokrasi-patrimonial.
Apabila kita menerapkan suatu sistim pemerintahan yang  sentralistis,
monolit dan berekonomi-terrencana, seperti struktur pasar terencana sistim
sosialis, diatas warisan tersebut maka struktur birokrasi-patrimonial ini
akan mengubah arah kebijaksanaan dan mewujudkan otokrasi, oligarki,
monolitisme dan nepotisme. Sebaliknya pembentukan negara madani ditunjang
oleh empat kebutuhan mendasar:

1. Kebutuhan keselarasan Hak2 Azasi Manusia dan Demokrasi Parlementer dengan
tarah akseptasi di PBB (dan dunia internasional). Dalam hal ini hak2 dan
kewajiban warga negara dalam negara kapitalis kita tilai sebagai pembebasan
langsung dari cengkraman birokrasi-patrimonial;

2. Kebutuhan untuk menggalakkan industri dasar dan produksi ekspor
non-migas, terlebih lagi mengingat rendemen produksi agraria yang komparatip
tidak memadai.

3. Kebutuhan untuk hemat dalam membangunan institusi, dimana institusi
tersebut  hanya dibangun apabila memang dibutuhkan. Pembentukan institusi
politik dan kenegaraan sewajarnya  mengikuti gerak perkembangan pasar dalam
negri dan perkembangan pendapatan penduduk. Daerah dimana perkembangan
pendapatan meningkat sewajarnya mendapat pemajakan tapi juga mendapat
institusi politik sendiri yang berhak mengalokasi dana menurut kebutuhan
setempat.

4. Kebutuhan unutk dapat bereaksi cepat dan sigap pada perubahan
kepermintaan pasar dunia dan kebutuhan diplomasi internasional dalam rumah
tangga antar bangsa. Seperti kita ketahui dalam konstelasi dunia saat ini
isolasionisme tidak riil dan malah akan menghambat kesempatan berkembang
karena kita terkucilkan dari kesempatan menggunakan atau meminjam keuntungan
posisi negara2 sahabat.



Dilihat dari sisi ini kapitalisme merupakan pembebas dari warisan kolonial
kita, terlebih lagi masih ada keuntungan kapitalisme yang akan tetap main
peran paling sedikit sampai pertengahan abad mendatang:

1. Pembentukan pasar (dalam negri) dan infrastrukur dapat berfungsi sebagai
perekat bagi kesatuan NKRI, yang sebagai warisan kolonial kehilangan
maknanya disaat perspektip usaha daerah bisa lebih maju apabila berjalan
sendiri ketimbang bersama.

2. Batas kelas yang semakin nyata dikota dapat meluas kepedesaan akibat
perluasan industri dan pemisahan nyata dengan sektor agraria. Ini merupakan
keuntungan bukan hanya karena kesadaran kelas akan lebih meluas dipedesaan,
tetapi sisi lain dari kristalisasi kelas dipedesaan adalah bahwa peran
ekonomis menjadi jernih. Sehingga baik bagi petani individu maupun bagi
pemerintah akan lebih mudah menaksir dan membuat perencanaan.


3. Dalam era globalisasi ini maka  pembentukan modal tidak perlu sepenuhnya
dari penghisapan didalam negri tapi dapat disubstitusi dengan modal impor.
Ini akan memberikan peluang bagi pemerintah untuk membuat penanaman modal
dan mobilisasi tenaga kerja tanpa mendapat umpatan "penghisapan oleh
kapitalisme
negara".


4. Akses kepasaran global melalui ekspor membuat sisi penawaran tidak
tergantung kepada kemampuan beli dalam negri, sehingga pada mulanya industri
dapat berkembang tanpa adanya permintaan riil dari dalam negri.

5. Akses kepasaran global akan membuat produsen Indonesia peka pada prinsip
kualitas dan harga. Ini pada gilirannya akan meninggikan kepercayaan
masyarakat pada kemampuan diri yang tercermin dari produk berkualitas yang
diciptakannya.


6. Pengganasan industri dan manufaktur untuk ekspor pada gilirannya akan
meringankan tekanan tenaga kerja dibidang agraria sehingga pertanian
intensip modal pada gilirannya bisa terlaksana.

Jadi apabila kita mendefinisikan kembali transformasi masyarakat indonesia:
transformasi tersebut adalah dari struktur birokrasi-patrimonial ke negara
kesejahteraan yang demokratis. Yakni masyarakat kapitalis pasar bebas dimana
sektor yang (dalam kurun waktu tertentu) masih dianggap strategis dipegang
oleh negara sebagai pencerminan kontrole oleh masyarakat.

Selayaknya hak2 warga negara berkaitan langsung dengan kedudukannya (baca
kewajibannya) sebagai pembayar pajak. Syarat bagi negara seperti ini
haruslah bahwa pemasukan pokoknya adalah dari pemajakan dan dari sektor
strategis yang masih dipegangnya, dengan sendirinya pinjaman dan bantuan
luar negri hanya merupakan tambahan anggaran.

9. Aliansi dan pimpinan transformasi.

Apabila kita sepakat bahwa negara yang dituju adalah negara kapitalis yang
berprinsip negara kesejahteraan. Maka jelaslah kelas2 mana yang akan ikut
berperan dan kelas2 ini harus dapat beraliansi. Berarti harus tercapai
aliansi antara borjuasi non birokrasi -borjuasi kecil - petani- buruh,
aliansi seperti ini bukan tidak pernah hanya diabad yang lalu. Memang dalam
sejarah aliansi demikian didirikan untuk mengahadapi lawan bersama dalam
pembebasan nasional.

Situasi di Indonesia kini lain masalahnya, kita sudah setengah abad merdeka
tapi buah kemerdekaannya belum dapat dipetik oleh warga negara secara
merata. Kita tidak menghadapi imperialisme atau kolonialisme secara langsung
tapi kita menghadapi warisan yang dibebankan kepada kita, sebab pada
permulaannya masalah pengalihan kekuasan dari tangan Hindia Belanda ke
Republik Indonesia masih merupakan kontradiksi utama. Tapi kini waktu sudah
berlalu dan permasalah perubahan struktur menjadi mendesak. Struktur
birokrasi-patrimonial tersebut hanya akan dapat dibobol oleh struktur
kapitalisme. Justru karena struktur kapitalisme yang akan dibangun maka
adalah sangat penting bahwa pimpinan negara berada dalam tangan partai yang
dapat mengimbangi gerak perkembangan modal dengan kebutuhan kesejahteraan
masyarakat dan pemerataan pendapatan. Pimpinan strategis harus pandai
mengimbangi tuntutan perkembangan ekonomi dan kebutuhan masyarakat sehingga
dapat keseluruhan berkembang secara harmonis. Dalam perjuangan ini dimana
kontradiksinya adalah antara birokrasi-patrimonial dengan kelas madani, maka
sasaran dan tujuan utama adalah likwidasi kemampuan politik dan ekonomi
kelas konglomerat kroni, kapitalis birokrat, birokrasi militer dan kelompok
Cendana. Harus tegas dan tuntas aparat negara dibersihkan dari elemen2 yang
terlibat dalam kasus2 korupsi dan nepotisme dizaman Suharto.

Terlebih lagi partai pimpinan seperti itu harus mempunyai citra dan wadah
sosial demokrat tetapi yang harus dapat main dan mau bereksperimen dengan
prinsip perekonomian neo-liberal. Karena tidak dapat dipunkiri bahwa peran
inisiatip pribadi dalam banyak sektor dapat meninggikan effektifitas,
kwalitas, dan effisiensi produksi yang penting bagi perluasan pasar dan
modal. Tetapi disamping itu partai tesebut juga harus merupakan perpanjangan
politik dari serikat kerja terpenting didalam negri dan dari kesatuan
kooperasi usaha yang terbesar sehingga ia dapat merupakan institusi yang
berakar dalam masyarakat.




Catatan Kaki:

1. Misalnya Alec Gordon: "Some problems in analyzing Class Relations in
Indonesia", Journal of Centemporary Asia, Vol 8, no 2, 1979.

2. Lihat semisalnya uraian Karl Marx:"Formen, die der kapitalistischen
Produktion vorhergehn", bagian dari "Grundrisse der Kritik der politischen
Okonomie", Dietz verlag, Berlin, 1953, yang melukisan berdirinya berbagai
hubungan produksi berlainan secara serentak dikala prakapitalisme.

3. M.S.S.M. Ichsan : "De oud-Javaanse Sociale Orde : Staat,
Productieverhouding en ideologie". Werkgroep Indonesiese & Vietnamese
Revolutie, IMAG, Univ. V. Amsterdam, 1987.

4. Sumarsaid Moertono: "State and statecraft in old Java, a study of he
later Mataram period , 16th to 19th century". Monograph series, Modern
Indonesia Project, Cornell Univ. Ithaca,  1981 (revised version).

5. Dalam masyarakat feodal seluruh wilayah negara merupakan hak milik raja
(raja sebagai tuan tanah tertinggi), melalui perjanjian Raja-Pelayan maka
vazal (pelayan) mendapat hak kuasa dari raja  atas suatu daerah (feodum
sebagai milik yang dapat diwariskan!) dengan imbalan kewajiban untuk setiap
saat pendampingi Raja dalam peperangan dengan pasukan berkuda yang
dikumpulkannya dari daerahnya. Sebaliknya antara vazal dengan petani
hubungannya merupakan replika dari
hubungan Raja dengan Vazal, namun mobilitas petani terikat pada tanah
garapnya. Termasuk hak kekuasaan vazaal adalah hak menentukan dan
melaksanakan hukum, menentukan kematian, perkawinan, kewajiban badan dan
pemungutan  pajak dari segenap warga daerahnya. Melalui  prinsip pewarisan
primogenitur hak2 vazal diturunkan pada anak laki2 pertama, ini memungkinkan
akumulasi kekayaan selama berabad-abad.


6. Perbandingkan dengan Clifford Geertz: "The Religion of Jawa". Glenco.
Free Press,1960.  Penjelimatan diabad ke 20 yang direkam oleh Geertz
merupakan kulminasi dari proses penjelimatan yang telah berlalu jauh hari
sebelumnya. Sementara ilmuwan ada berpendapat bahwa sebelum Perang Jawa dan
Sistim Tanam Paksa, telah ada batas kelas2 horisontal yang mengukuh.
Terutama reaksi petani terhadap Tanam Paksa merupakan sebab terjadinya
penjelimatan yang kemudian berlangsung sampai ke abad ke 20. Saya cenderung
mengatakan bahwa seandainya pun postulasi diatas benar hal tersebut tidak
mengingkari kemungkinan bahwa petani Tanam Paksa kembali menggunakan suatu
strategi yang telah lebih lama berjalan dan dikenalnya, yakni penjelimatan
peran ekonomis yang dikukuhkan oleh hubungan patron - klien dengan penguasa
pribumi.

7. Jan Wisseman : "Raja and Rama: The Clasiccal State in early Jawa". School
of Oriental and African Studies. Revised Draft to the Conference on
Classical States in S.E. Asia. 1978.

8. Dalam feodalisme di Eropa, penguasa menggunakan haknya untuk menuntut
wajib wiralaga, kerja badan dan intelektual dari petani sebagai imbalan
penggunaan tanah vazal oleh petani. Petani tidak mempunyai hak mobilitas dan
tergantung pada tuan-tanah feodal untuk segenap keperluan sosial, hukum dan
politiknya. Jadi dasar hubungannya adalah ekonomis yakni tanah digarap oleh
petani (tidak bermilik) dengan menjual kemerdekaannya pada vazal (pemilik
tanah). Pada gilirannya vazal menjual kemerdekaannya pada raja untuk
mendapatkan hak2 guna dan pemerintahan atas tanah domasnya.  Sebailknya di
Jawa pembentukan Candi; yayasan; dan sawah basah dilakukan dengan imbalan
perlindungan keamanan dan stabilitas yang ciptakan oleh pemerintah pusat.
Petani bebas mencari pelindung lain apabila tidak puas dan bebas berpindah
tempat. Penguasa jelas bukan merupakan pemilik dari dari hutan dan tanah
yang digarap oleh petani. Lihat : Michael Addas : "From avoidance to
Confrontation : Peasant Protest in Precolonial and Colonial South East
Asia". Comparative Studies in Society and History, No 23, 1981

9. Ken Angrok dan Joko Tingkir merupakan pelembagaan prosedur ini dalam
sejarah Tanah Jawa. Lihat: J.F. Olthof : "Babad Tanah Jawi in Proza:
Javaansche Geschiedenis " 2 vol., Martinus Nijhoff, s'Gravenhage, 1941.

10. Contoh klasik adalah Sultan Trenggono dari Kerajaan Demak. Lihat: "idem
diatas".

11. Pengertian akumulasi modal adalah proses pembesaran modal melaui
penyisihan sebahagian nilai-lebih yang dikembalikan dalam bentuk modal. Karl
Marx: "Capital, A Critic of Political Economy", Vol.1, Progress Publisher,
Moscow,  ed. By F. Engels (org. 1887). Lihat halaman 543.

12. Dimaksud adalah selisih nilai yang terjadi pada pengupahan oleh produsen
yang tidak memadai kepada karywan sehubungan dengan tenaga yang telah
diberikan karyawan kepada produk akhir. Produsen menarik tenaga kerja dari
buruh secara langsung tanpa imbalan, nilai upah hanya mengimbali keperluan
reproduksi tenaga buruh. Lihat Ibid Marx, Hal. 476-485.