[GMNI] kirim tulisan

sapto raharjanto sapto.id at plasa.com
Mon Dec 27 13:18:00 CET 2004


KONFLIK TANAH SUKOREJO

DAN KEARIFAN PENGUASA

*Oleh : Sapto Raharjanto

  

Istilah pembaharuan agraria adalah merupakan terjemahan 
dari agrarian reform (sering disebut pula sebagai Reforma 
Agraria), dalam pengertian yang terbatas dikenal sebagai 
Land Reform, dimana salah satu programnya yang banyak 
dikenal adalah dalam hal redistribusi/pembagian tanah..

Tanah sendiri didalam hubungannya dengan kehidupan manusia 
mempunyai peranan yang sangat penting. Oleh karenanya, 
dalam kehidupan sehari-hari hubungan keterdekatan manusia 
dengan tanah sangat sulit untuk dipisahkan. Apalagi, kalau 
hal tersebut kita kuatkan dengan keberadaan masyarakat 
Indonesia yang bercorak agraris, dimana secara mayoritas 
masih tergantung di bidang pertanian. Bagi masyarakat 
agraris, tanah merupakan suatu kebutuhan yang sangat 
penting sebagai sumber kehidupan sehari-hari bahkan bisa 
dikatakan tanah merupakan factor yang paling penting 
dibanding sumber kehidupan yang lain.

Presiden Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno sendiri 
menganggap penting permasalahan  ini, hal ini sendiri 
adalah merupakan analogi pemikiran Soekarno ketika 
mengkonsepsi pemikiranya yang kemudian dikenal dengan 
istilah Marhaenisme, yang berdasar pada konsepsi pemikiran 
yang cenderung mengutamakan sektor agraria yang merupakan 
soko guru dari kebudayaan Indonesia yang bercorak agraris. 
 Hal ini dibuktikan dengan disahkannya Undang-Undang Pokok 
Agraria no 5 pada tanggal 24 September tahun 1960, dimana 
undang-undang ini bertujuan untuk memberdayakan petani 
terutama  tentang peredistribusian tanah (hal ini 
dipertegas dengan landasan kebijakan politik pertanahan 
Indonesia adalah pasal  33 ayat 3 UUD 1945 dan UU Pokok 
Agraria yang mengamanatkan bahwa negara sebagai organisasi 
kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan tertinggi diberi 
wewenang untuk mengelola pertanahan bagi kesejahteraan 
bangsa Indonesia, hal ini dimaksudkan agar tanah dapat 
memberikan manfaat bagi sebesar-besarnya bagi kemakmuran 
rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan 
kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia 
yang merdeka, berdaulat adil dan makmur). Meskipun didalam 
pelaksanaannya masih terdapat aral melintang disebabkan 
oleh arogansi dari pihak-pihak penguasa maupun pihak-pihak 
yang memiliki kekuatan seperti militer dan hal inilah yang 
melatar belakangi kami untuk menganalisa kasus sengketa 
tanah di daerah Sukorejo Jember, dimana sengketa ini 
sendiri terjadi antara pihak petani penggarap tanah di 
daerah Sukorejo dengan militer dalam hal ini ialah kodam V 
Brawijaya.

Latar belakang konflik

Sejarah kasus tanah Sukorejo sendiri bermula pada tahun 
1879 ketika perusahaan Belanda yang bernama N.V. LMOD 
mengontrak tanah di daerah Sukorejo yang pada saat itu 
masih bernama “Alas Towah”(kontrak tanah atas erpacht 
verpoding 414/ Sukorejo yang memiliki luas 354 hektar ini 
berakhir pada tanggal 5 Februari 1954 hal ini diperkuat 
dengan keputusan gubernur Jawa Timur Nomor G/BA/7c/1700 
pada tanggal 21 Desember 1954 yang memutuskan hak atas 
tersebut haknya tidak diperpanjang), serta dengan 
keluarnya suta keputusan menteri pertanian yang 
menyebutkan bahwa Menteri pertanian dan Agraria 
mengeluarkan surat keputusan No SK 50/KA/64 tertanggal 26 
Mei 1964, yang menyebutkan bahwasannya tanah bekas erpacht 
verponding 414 Sukorejo menjadi Obyek Landreform dan 
segera diredistribusikan kepada rakyat seluas 354 hektar. 
[1]pembukaan tanah di daerah Sukorejo ini bertujuan untuk 
lahan perkebunan tembakau, untuk pembukaan lahan 
perkebunan tembakau ini kemudian didatangkanlah 
orang-orang yang berasal dari pulau Madura untuk menggarap 
lahan tembakau ini termasuk  perkampungan orang-orang 
kontrakan ini diharuskan menetap sebagai pekerja 
perusahaan, dan orang-orang inilah yang kemudian menjadi 
penduduk dusun Sukorejo, sekaligus menetap secara turun 
temurun menggarap tanah Sukorejo sampai saat ini. 
             Tetapi konflik kemudian terjadi ketika 
Angkatan Darat dalam hal ini kodam VIII    Brawijaya 
menginginkan tanah Sukorejo untuk dijadikan Sekolah Calon 
Bintara/Secaba,   legalisasi dari keputusan TNI untuk 
pengambilalihan status tanah Sukorejo tersebut   dengan 
dikeluarkannya Surat Kantor Pengawas Agraria Karesidenan 
Besuki Bondowoso No. Agr/7j/5434I, pada tanggal 15 
Desember 1958 yang ditujukan kepada komandan Batalyon “Y’ 
di Bondowoso yang menyebutkan bahwa tanah Sukorejo akan 
dibagikan kepada:

1.     22,75 hektar telah dikuasai dan dipakai haknya oleh 
Res. 19/terr.V/Brawijaya.

2.     40 hektar disediakan untuk pembangunan dinas 
ketentaraan (Batalyon 509).

3.     Sisanya seluas 292,025 hektar dibagikan kepada 
rakyat.[2]

Konflik yang terjadi kemudian dipertajam dengan surat yang 
dikeluarkan oleh Komando Rayon Militer 0824/11 yang telah 
mengeluarkan Nota pengumuman Nomor B, 214/1971 tertanggal 
20 Agustus 1971 yang ditujukan kepada Abd Razak dan kepala 
desa Wirolegi yang isinya agar  petani penggarap dilarang 
melakukan kegiatan-kegiatan apapun ditanah Sukorejo 
tersebut dan Tanah Sukorejo dinyatakan sebagai daerah 
tertutup, yang pada tanggal 11 Agustus 1971 terjadi 
tindakan sepihak dari TNI angkatan darat dengan memasang 
papan yang bertuliskan “DAERAH TERTUTUP TANAH MILIK 
ANGKATAN DARAT” serta diadakan penjagaan oleh petugas 
koramil 0824/11 Wirolegi Jember, yang kemudian tanah 
tersebut disewakan kepada pihak ketiga.[3]

Analisa konflik
Hal inilah kemudian yang melahirkan suatu 
pertentangan-pertentangan kelas-kelas masyarakat antara 
kelas masyarakat atas yang berkuasa serta mempunyai 
kekuatan dengan masyarakat kelas bawah yang selalu 
terlindas oleh sistem-sistem borjuasi yang dibawa oleh 
kaum-kaum yang memiliki kekuatan baik itu modal maupun 
alat-alat represifitas yang didukung oleh kekuatan 
penguasa teori tentang kontradiksi kelas masyarakat ini 
digagas digagas oleh Karl Marx 1818-1883 didalam Manifesto 
Komunis yang ditulis pada tahun 1848 yang  berbunyi 
Masyarakat borjuis modern yang timbul dari runtuhan 
masyarakat feodal tidak menghilangkan 
pertentangan-pertentangan kelas. Ia hanya menciptakan 
kelas-kelas baru, syarat-syarat penindasan baru, 
bentuk-bentuk perjuangan baru sebagai ganti yang 
lampau[4]. Sehingga apabila kita memakai teori ini untuk 
membedah peta konflik yang terjadi di daerah Sukorejo maka 
akan tampak ada suatu kontradiksi antara masyarakat petani 
di Sukorejo dengan pihak TNI AD.  Dalam hal ini apabila 
kita komparasikan antara teori pertentangan kelas yang 
digagas oleh Marx tersebut dengan teori yang dikembangkan 
oleh Cardoso yang menyebutkan bahwasanya  tujuan 
dibentuknya negara atau pemerintahan sebagai aliansi dasar 
atau dominasi pakta utama dari kelas-kelas sosial yang ada 
atau fraksi sosial yang dominan serta aturan-aturan yang 
menjamin kekuasaan mereka atas kelas yang ada di 
dalamnya[5]( dalam hal ini adanya kekuatan kelas yang 
dominan yang di back up oleh penguasa saat itu yaitu 
kekuatan TNI dan kekuatan pemerintah). Hal ini juga 
membuktikan bahwa belum tercapainya demokratisasi di 
Indonesia. Karena menurut teori tidak ada masyarakat di 
suatu negara yang tidak terdiri dari kelas-kelas walaupun 
negara tersebut berhaluan sosialis komunis, sekarang 
tinggal dibutuhkan kearifan dari kelas-kelas masyarakat 
yang dominan di dalam suatu kekuasaan negara seperti 
pendapat cardoso diatas untuk menjadi pengayom bagi 
masyarakat dan warga negaranya. Dalam hal ini ialah 
kearifan pihak eksekutif maupun legislatif didalam 
menyikapi kasuas tanah Sukorejo ini...Apabila kita bisa 
menarik suatu benang merah dari kasus yang coba kita bedah 
diatas maka sekali lagi dibutuhkan suatu kearifan dari 
pihak-pihak yang memiliki dominasi yang kuat didalam suatu 
pemerintahan yang ada untuk bisa mensikapi suatu 
permasalahan yang sedang terjadi di tataran kelas 
masyarakat yang kurang memiliki dominasi yang kuat didalam 
mengambil kebijakan/ pengambil keputusan didalam suatu 
Negara agar tidak ada suatu pertentangan-pertentangan 
kelas yang mencolok yang pada akhirnya bisa menimbulkan 
suatu ketidak percayaan terhadap negara/anarkisme yang 
pada akhirnya akan menimbulkan anarkisme-anarkisme seperti 
kasus-kasus revolusi Rusia, revolusi Kuba serta 
revolusi-revolusi lain di dunia yang muncul sebagai akibat 
dari ketidakpuasan massa rakyat terhadap Negara
.

*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas 
Sastra Universitas Jember, anggota kelompok studi Forum 
Panggung Terbuka(FPT) Universitas Jember.d/a Jln Jawa VI 
No 23 jember 68121 Tlp 
(0331)330901.Email:Sapto.id at plasa.com

  

  

  

  

  

SELAMAT DATANG TAHUN BARU

SELAMAT DATANG KENAIKAN BBM

*Oleh : Sapto Raharjanto

  

Sebuah awal baru akan kita jelang bersama yaitu tahun 2005 
yang sekiranya jika tidak terdapat aral melintang maka 
Pergantian tahun yang akan kita masuki bersama ditandai 
dengan adanya kebijakan yang seakan-akan sudah menjadi 
“hoby” dari para punggawa-punggawa kepemimpinan nasional 
yang ada di bagian paling barat dari pulau Jawa tepatnya 
di Jakarta (meskipun pada tanggal 24 Desember 2004 melalui 
pers release yang dilakukan oleh menteri perekonomian 
Aburizal Bakrie pemerintah memutuskan untuk “menunda” 
kenaikan harga BBM yang semula dijadwalkan pada bulan 
Januari 2005 untuk kemudian mengalami penundaan menjadi 
bulan Maret 2005, hal ini didasari oleh asumsi pemerintah 
dengan didasari dari hasil perhitungan perum bulog bahwa 
pada bulan Maret adalah merupakan bulan disaat masa panen 
tiba yang merupakan saat yang paling tepat untuk menaikkan 
harga bahan bakar minyak, tetapi meskipun mengalami 
penundaan,  toh pada tahun 2005 mendatang harga bahan 
bakar minyak tetap akan mengalami kenaikan, tinggal 
menunggu waktu yang tepat saja
.) yaitu kebijakan mengenai 
pengurangan subsidi bahan bakar minyak/BBM, kebijakan yang 
diambil pemerintah ini sendiri adalah merupakan dampak 
dari naiknya harga minyak dunia menjadi USD 50 per barel, 
yang secara otomatis akan ada pembengkakan belanja negara 
untuk mensubsidi bahan bakar minyak tersebut, seperti kita 
ketahui dalam APBN tahun 2004 anggaran subsidi BBM 
mencapai Rp14,5 trilyun dengan asumsi harga minyak mentah 
dunia sebesar USD 14,5 per barel, tetapi dalam 
perjalanannya terdapat pembengkakan subsidi BBM menjadi Rp 
59,2 trilyun dikarenakan melambungnya harga minyak mentah 
menjadi USD 36 perbarel, bahkan menurut perkiraan 
pemerintah realisasi subsidi bahan bakar minyak ini bisa 
mencapai Rp 60 trilyun atau bahkan sampai Rp 70 trilyun 
per barel ( dengan kurs Rp 8.900 per dolar AS) dan jika 
hal ini tidak diantisipasi oleh pemerintah maka tak ayal 
lagi subsidi bahan bakar minyak pada APBN tahun 2005 yang 
ditargetkan sebesar Rp 18 trilyun akan mengalami 
pembengkakan yang luar biasa mengingat saat ini harga 
minyak mentah dunia semakin melambung menjadi USD 50 per 
barel,  hal inilah yang kemudian menjadi dasar dari 
pemerintah untuk melakukan pengurangan subsidi bahan bakar 
minyak untuk kemudian dana subsidi tersebut dialihkan pada 
sektor-sektor lain seperti pendidikan , kesehatan, 
infrastruktur dan pengadaan beras bagi warga miskin serta 
sektor-sektor lain yang menyangkut hajat hidup orang 
banyak, sehingga konsekuensi dari kebijakan yang diambil 
pemerintah ini ialah naiknya harga bahan bakar minyak di 
tanah air, posisi ini memang harus diakui menjadi sangat 
dilematis bagi pemerintahan SBY-Kalla, apabila subsidi BBM 
tidak dikurangi maka anggaran dana belanja negara akan 
menjadi semakin membumbung tinggi yang pada akhirnya akan 
berpengaruh pada pengeluaran negara di sektor lain seperti 
pendidikan, kesehatan serta sektor-sektor lainnya yang 
terpaksa harus dipangkas untuk pengkonsentrasian subsidi 
bahan bakar minyak, tetapi apabila pemerintah mengurangi 
atau bahkan mencabut subsidi bahan bakar minyak yang 
dirasa terlalu memberatkan bagi pos anggaran belanja 
negara, maka konsekuensi yang harus diambil ialah naiknya 
harga-harga kebutuhan pokok yang dikonsumsi oleh 
masyarakat indonesia mulai dari kelas masyarakat tinggi 
(high class) sampai tataran masyarakat kelas bawah (low 
class) seperti naiknya harga-harga sembilan bahan pokok 
yang merupakan kebutuhan paling primer bagi masyarakat.

           Melambungnya harga-harga kebutuhan pokok 
masyarakat yang merupakan imbas dari kenaikan bahan bakar 
minyak ini pasti akan terjadi meskipun pemerintah 
mengambil kebijakan untuk menaikkan bahan-bakar minyak 
yang dikonsumsi oleh kelas masyarakat menengah ke atas 
seperti pertamax mengalami kenaikan sebesar 62% menjadi 
Rp. 4000 per liter, pertamax plus mengalami kenaikan 
sebesar 52% menjadi Rp. 4.200 per liter, ataupun gas 
elpiji yang mengalami kenaikan sebesar 42% menjadi Rp. 
4.250 per kg dari harga sebelumnya yaitu Rp. 3000 dengan 
asumsi bahwasannya kelompok masyarakat dengan penghasilan 
tinggi lebih menikmati subsidi bahan bakar minyak yang 
diberikan oleh pemerintah dengan perbandingan kelompok 
masyarakat dengan penghasilan tinggi rata-rata menikmati 
subsidi BBM Rp 393 ribu per tahun sedangkan masyarakat 
berpenghasilan rendah rata-rata menikmati subsidi Rp 
72.500 per tahun, data dari kantor kementerian komunikasi 
dan informasi menyebutkan bahwa 60% penduduk Indonesia 
yang terdiri dari kelompok masyarakat kelas menengah ke 
atas mengkonsumsi 84% distribusi bahan bakar minyak dan 
74% minyak tanah yang didistribusikan oleh pemerintah 
tetapi pemerintah seakan akan kurang menyadari bahwasannya 
dampak dari pengurangan subsidi bahan bakar minyak ini 
jelas akan berpengaruh pada sektor publik yang bersifat 
massal yaitu transportasi, sehingga apabila sektor 
transportasi yang merupakan kebutuhan massal dari 
masyarakat mengalami kenaikan tarif sebagai dampak dari 
kebijakan pemerintah untuk mengurangi subidi bahan bakar 
minyak tersebut, maka secara otomatis hal ini akan 
menimbulkan efek didalam perputaran roda perekonomian 
seperti naiknya harga kebutuhan bahan pokok yang jelas 
membutuhkan transportasi untuk proses pendistribusiannya. 
Belum lagi perusahaan-perusahaan yang memproduksi 
barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat baik itu 
barang-barang primer, sekunder sampai barang-barang 
tertier pasti juga akan mengalami kenaikan karena sekali 
lagi mereka membutuhkan sarana transportasi untuk proses 
pendistribusian hasil produksi tersebut kepada konsumen, 
apalagi bagi perusahaan-perusahaan yang membutuhkan bahan 
bakar minyak untuk pengoperasian alat-alat produksi yang 
akan mencetak produk-produk yang akan dilempar ke pasaran 
sehingga otomatis barang-barang yang mereka jual ke pasar 
akan mengalami kenaikan.

           Dampak dari adanya kenaikan tarif bagi sektor 
publik yang sangat vital di negeri yaitu transportasi 
inilah yang kemudian akan merembet ke sektor-sektor 
lainnya yang menyentuh tataran kemasyarakatan yang lebih 
luas seperti ekonomi, industri, bahkan sektor pendidikan 
dan kesehatan, sehingga subsidi bagi bahan bakar minyak 
sebenarnya memang masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat 
di negara kita (terutama masyarakat pada tataran kelas 
bawah) meskipun nanti pada suatu saat tidak bisa tidak 
memang subsidi ini pelan-pelan memang harus sedikit demi 
sedikit dikurangi agar tidak menjadi beban yang terlalu 
berat bagi anggaran belanja negara, karena mencermati 
kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia saat ini harus 
kita akui bahwasannya masyarakat kelas menengah ke bawah 
masih belum siap untuk menerima konsekuensi dari 
pengurangan subsidi bahan bakar minyak, lalu sekarang yang 
menjadi sebuah pertanyaan besar bagi kita adalah, 
 “sebenarnya bagaimana solusi untuk menutup pembengkakan 
subsidi bahan bakar minyak ataupun untuk mensubsidi 
sektor-sektor lain yang berhubungan dengan hajat hidup 
orang banyak di negara kita”??
untuk menjawab pertanyaan 
besar ini maka sekali lagi dibutuhkan suatu kebesaran 
hati, kepekaan moral, kepedulian sosial, serta tingginya 
sense of crisis dari para penguasa maupun golongan kelas 
menegah atas di negara kita, karena sebenarnya solusi 
untuk menutup anggaran dana bagi pensubsidian bahan bakar 
minyak maupun sektor-sektor lain di negara kita yaitu 
dengan:

      1.            Penerapan progressive tax/pemungutan 
pajak yang besar bagi golongan kelas ekonomi atas seperti 
para konglomerat dari tingkat pusat/nasional sampai di 
tingkatan lokal/daerah yang berusaha dan memanfaatkan 
segala potensi yang ada di negara kita baik itu sumber 
daya alam maupun sumber daya manusia untuk kepentingan 
usaha mereka, hal ini secara otomatis akan bisa sedikit 
mengurangi beban negara terutama untuk mensubsidi 
sektor-sektor vital yang berhubungan dengan publik/massa 
seperti subsidi bagi bahan bakar minyak maupun 
sektor-sektor lain seperti pendidikan, kesehatan maupun 
sektor infrastruktur berhubungan dengan hajat hidup orang 
banyak, diterapkannya metode semacam ini juga sangat 
efektif untuk mengurangi kesenjangan sosial yang terjadi 
antara golongan masyarakat low class dengan golongan 
masyarakat high class, sehingga diharapkan kasus-kasus 
anarkhisme serta sindykalisme massal seperti peristiwa Mei 
98 dapat lebih diredam dengan adanya kebijakan semacam 
ini.

      2.            Adanya pembagian hasil yang lebih 
menguntungkan pihak Indonesia serta penerapan progressive 
tax yang tinggi bagi perusahaan-perusahaan asing/TNC dan 
MNC yang menanamkan investasinya di negara kita adalah 
juga merupakan suatu hal yang bisa digunakan untuk 
anggaran subsidi bagi bahan bakar minyak maupun 
sektor-sektor lain yang berhubungan erat dengan hajat 
hidup masyarakat di negara kita, mengingat saat ini 
kebanyakan TNC dan MNC yang berinvestasi di negara kita 
hanyalah bisa mengeruk kekayaan alam bangsa Indonesia 
tanpa ada suatu pembagian hasil yang adil bagi bangsa 
Indonesia, misal kalau selama ini perbandingan pembagian 
hasil ialah 10%untuk pemerintah Indonesia dan 90% untuk 
MNC dan TNC, maka alangkah lebih baik apabila pembagian 
hasil tersebut dirubah menjadi 30% untuk MNC dan TNC dan 
70% untuk pemerintah Indonesia, tetapi sekali lagi akan 
muncul suatu pertanyaan besar dalam benak kita, “apakah 
pemerintah kita berani melakukan hal tersebut???
” 
mengingat sampai detik ini pemerintah masih saja selalu 
tergantung terhadap investasi dari perusahaan-perusahaan 
asing, bahkan sampai-sampai pemerintah memberikan 
“iming-iming” kepada perusahaan-perusahaan Trans dan 
Multinasioanal corporation untuk berinvestasi di Indonesia 
dengan mengatakan bahwa di Indonesia adalah merupakan 
tempat yang baik untuk berinvestasi karena standart upah 
pekerja di Indonesia tergolong paling rendah dibandingkan 
dengan upah tenaga kerja di negara-negara lain di kawasan 
Asia mengingat kurs mata uang yang dipakai untuk membayar 
tenaga kerja ialah kurs mata uang rupiah, sungguh suatu 
kenyataan yang sangat ironis, apabila kita mencoba untuk 
kembali meninjau dampak dari adanya kenaikan harga bahan 
bakar minyak di negara kita yang mengikuti standart harga 
minyak mentah di dunia yang mencapai USD 50 per barel, 
maka yang akan mengalami keuntungan dari adanya kebijakan 
ini sekali lagi ialah perusahaan-perusahaan Multinasional 
dan Transnasional Corporation terutama 
perusahaan-perusahaan yang bergerak di dalam industri 
perminyakan seperti PT. EXXON dan perusahaan-perusahaan 
sejenis. Maka alangkah lebih baiknya jika pemerintah 
menerapkan pajak yang tinggi serta menuntut pembagian 
keuntungan terhadap hasil produksi yang lebih adil dan 
manusiawi bagi bangsa Indonesia kepada 
perusahaan-perusahaan multi dan trans nasional yang 
berinvestasi di negara kita


      3.            Adanya sistem progressive tax ini juga 
bisa diterapkan kepada para pemimpin-pemimpin bangsa ini 
baik itu pejabat eksekutif maupun legislatif, seperti 
pemberlakuan pajak pendapatan yang tinggi bagi para 
pejabat negara, disamping itu adanya pemangkasan segala 
fasilitas pos anggaran pembiayaan bagi para pejabat negara 
yang dirasa terlalu wah bahkan terkesan mubazir ditengah 
kondisi perekonomian bangsa Indonesia saat ini seperti 
anggaran dana untuk kunjungan ke luar negeri dan daerah, 
anggaran dana untuk jaminan keamanan serta pos-pos dana 
tunjangan bagi para pejabat pemerintah yang sangat 
membebani anggaran belanja negara kita. Didalam situasi 
negara yang sedang mengalami depresi perekonomian saat ini 
pemberlakuan pajak pendapatan yang besar, pemangkasan 
gaji, dana-dana tunjangan serta fasilitas-fasilitas bagi 
pejabat negara sekiranya adalah suatu hal yang perlu 
dilakukan untuk selanjutnya anggaran dana dari hasi 
pemotongan fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh negara 
ini bisa digunakan untuk mensubsidi sektor-sektor yang 
berhubungan dengan hajat hidup masyarakat Indonesia 
termasuk bahan bakar minyak, kesehatan, pendidikan, 
infrastruktur serta sektor-sektor publik lain. Untuk mulai 
menerapkan metode semacam ini maka sekali lagi diperlukan 
suatu contoh terlebih dahulu dari pimpinan-pimpinan 
nasional yang ada di Jakarta untuk menerapkan cara seperti 
yang disebutkan diatas, sehingga diharapkan hal ini bisa 
menjadi suatu seruan moral yang sangat ampuh pagi para 
pejabat-pejabat dibawah untuk juga mmebiasakan diri hidup 
hemat serta tidak mengandalkan fasilitas-fasilitas yang 
diberikan oleh negara yang sebenarnya justru membuat 
anggaran belanja negara kita mengalami pembengkakan yang 
luar biasa, hal ini sendiri mulai dipelopori oleh ketua 
MPR RI Hidayat Nurwahid dengan membiasakan diri untuk 
tidak tergantung dengan fasilitas-fasilitas mewah yang 
diberikan oleh negaran seperti penolakan mobil dinas 
volvo, melakukan efisiensi ketika melakukan kunjungan ke 
daerah-daerah serta penghematan-penghematan lainnya, lalu 
kapan pejabat-pejabat lain menyusul???
., penggunaan cara 
seperti ini sekaligus bisa membangkitkan kepercayaan 
rakyat kepada para pemimpin nasional kita, yang selama ini 
rakyat hanya menganggap pemimpin-pemimpin nasional kita 
hanya bisa berjanji dan berjanji pada saat kampanye 
pemilu, mungkin saat ini adalah merupakan waktu yang tepat 
untuk merealisasikan janji mereka (who’s know???).

      4.            Penyitaan harta-harta dari 
koruptor-koruptor yang masih berkeliaran di negara kita 
juga merupakan suatu solusi konkrit dan simpatik untuk 
mensubsidi sektor-sektor kebutuhan masyarakat yang 
bersifat massal seperti bahan bakar minyak, pendidikan, 
kesehatan serta sektor-sektor infrastruktur lain, 
penerapan metode semacam ini secara tak langsung bisa 
menjadi bukti keseriusan pemerintah didalam memerangi 
kasus-kasus korupsi seperti yang telah dicanangkan oleh 
pemerintahan SBY-Kalla didalam program seratus hari 
pertama pemerintahannya, dan sekali lagi apabila 
pemerintah serius untuk menjalankan metode semacam ini 
maka secara otomatis simpati dari masyarakat akan mengalir 
yang berguna bagi kekuatan legitimasi pemerintahan 
SBY-Kalla untuk periode lima tahun yang akan datang. 
Karena sampai saat ini di pemerintahan SBY-Kalla masih 
mempunyai banyak hutang kepada konstituen yang menjadi 
kendaraan politik mereka untuk bisa diuduk di kursi RI 1 
dan RI 2 yaitu rakyat Indonesia, maraknya kasus-kasus 
pungli di Jalan Raya, pelabuhan, bandar udara dan 
jembatan-jembatan timbang yang telah banyak menggerogoti 
uang rakyat, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia 
(BLBI) yang telah menghabiskan anggaran negara trilyunan 
rupiah, serta kasus mantan presiden Soeharto yang 
merupakan hutang warisan terbesar dari rezim-rezim 
sebelumnya baik itu Habibie, Gus Dur, maupun Megawati 
kepada rezim SBY-Kalla, tapi kembali lagi akan timbul 
suatu tanda tanya besar pada benak kita”apakah berani 
pemerintah melakukan kebijakan seperti ini??
”

Sebenarnya beberapa hal diatas bisa menjadi cermin bagi 
para pemimpin-pemimpin kita, serta masyarakat-masyarakat 
yang berada pada level high class di negara kita, sebelum 
mereka berbuat dan mengambil kebijakan-kebijakan yang 
berpengaruh pada sektor-sektor publik yang vital serta 
menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti kebijakan 
untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak/BBM karena 
masyarakat yang berada pada level low class sudah pasti 
akan menjerit ketika mengetahui bahwa harga beras akan 
naik, harga minyak goreng akan naik, harga lauk pauk akan 
naik, ongkos angkot akan naik, ongkos bis kota akan naik, 
biaya pendidikan dan kesehatan akan naik sebagai 
konsekuensi dari pengurangan subsidi bahan bakar minyak 
tersebut
..

*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas 
Sastra Universitas Jember, anggota kelompok studi Forum 
Panggung Terbuka(FPT) Universitas Jember.d/a Jln Jawa VI 
No 23 jember 68121 Tlp 
(0331)330901.Email:Sapto.id at plasa.com

  

  

  

  

  

  

  

  

  



--------------------------------------------------------------------------------

[1] Dikutip dariSurat permohonan peredistribusian tanah 
Sukorejo atas eks hak erfpacht verponding 414 kelurahan 
Karang Rejo Kecamatan Sumber Sari Kabupaten Jember yang 
disusun oleh Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa 
Nasional Indonesia (GmnI) Cabang Jember beserta tim lima 
penanganan kasus tanah Sukorejo.

  

[2] Ibid. hlm 3.

[3] Ibid. hlm 4.

[4] Karl Marx & Frederich Engels TheComunism 
Manifest,1848.

  

[5] Michael Rush dan Philip Althoff, Pengantar Sosiologi 
Politik, Jakarta, 2000.



  


========================================================================================

Manfaatkan layanan TelkomNet @ Premium melalui kartu prabayar I-VAS untuk meningkatkan
kecepatan browing anda hingga 10x lipat. Informasi lebih lanjut www.plasa.com atau call 147.

======================================================================================== 


More information about the GMNI mailing list