[GMNI] Re: Militer Sipil Sudah Pasti Dikotomi (buat Didonk dkk)
didik purwandanu
didiek_p99 at yahoo.com
Wed Jul 21 15:40:35 CEST 2004
Sersan : ini buat tambahan bagi kognisi kawan-kawan. Semoga jadi bahan diskusi menarik. Betapa soal pilpres memang bukan soal domestik belaka, namun terkait kepentingan negara besar. Perhatikan betul paragraf terakhir pada tulisan di bawah ini. Terima kasih.
Isu Bajak Laut dan Kemungkinan Aksi Militer Amerika Serikat
Maruli Tobing
Kompas
DALAM artikel berjudul "The New Piracy", dimuat dalam The London Review of Books (18 Desember 2003), Charles Glass menulis, saat semua orang sibuk berbicara soal pembajakan digital, tiba-tiba saja muncul jenis bajak laut yang tadinya dianggap sudah punah bersamaan dengan berakhirnya perang Napoleon. Banyak yang khawatir, saat ini dunia pelayaran sedang memasuki masa terburuk.
Ibarat gayung bersambut, Panglima Armada Pasifik Amerika Serikat (AS) Laksamana Thomas Fargo menyampaikan isu yang sama dalam dengar pendapat di depan Komisi Persenjataan Kongres AS, Maret lalu. Ia mengungkapkan kekhawatirannya atas keamanan jalur pelayaran internasional di Selat Malaka. Sebab, bukan mustahil teroris akan mendompleng, memanfaatkan rawannya keamanan di selat sepanjang 550 mil dan membentang antara Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya itu.
Fargo kemudian mengusulkan agar Angkatan Laut AS disertakan dalam patroli keamanan. Selain itu, disiagakan pasukan pemukul reaksi cepat yang setiap saat dapat diterjunkan di kawasan Selat Malaka yang banyak gugusan pulaunya.
Logis jika muncul kekhawatiran itu karena Selat Malaka merupakan jalur pelayaran terpadat di dunia. Setiap tahun diperkirakan 50.000 kapal melintasi selat ini. Kapal-kapal tersebut mengangkut 30 persen barang-barang perdagangan dunia dan 80 persen suplai energi Jepang.
Sementara itu, insiden kasus penyerangan kapal-kapal tanker maupun kargo dilaporkan meningkat drastis dalam dua tahun terakhir. Data yang dipublikasikan Biro Maritim Internasional (IMB) menunjukkan tahun 1998 baru tercatat 106 kasus. Namun, tahun 2002 meningkat menjadi 370 kasus. Sementara tahun lalu 445 kasus, yang menewaskan 21 anak buah kapal serta 71 lainnya dinyatakan hilang.
Asia Foundation memperkirakan kerugian akibat serangan bajak laut itu mencapai 16 miliar dollar AS tahun lalu. Angka ini didasarkan pada penghitungan kerugian akibat hilangnya barang maupun kapal dan pembayaran asuransi.
Ironisnya, hampir 30 persen (121 kasus) serangan bajak laut terjadi di perairan Indonesia, antara Selat Malaka dan Laut Jawa. Di perairan Malaysia dan Singapura hanya tercatat 35 kasus serangan perompak.
USULAN Laksamana Thomas Fargo mengundang reaksi Perdana Menteri (PM) Malaysia Abdullah Badawi. "Kami masih mampu menjaga keamanan wilayah," ujarnya. Sementara Deputi PM Najib Tun Razak, yang juga Menteri Pertahanan, berpendapat, kehadiran pasukan AS justru akan membangkitkan militansi dan sentimen anti-AS di kawasan ini.
Indonesia mengikuti sikap Malaysia. Namun, penekanannya lebih pada perlunya menghormati kedaulatan negara. Sementara Singapura tak keberatan dengan usulan Laksamana Thomas Fargo mengingat ketergantungan negara itu pada jasa perdagangan internasional. Diperkirakan 200 kapal setiap hari singgah di negara kota ini.
Polemik berkembang di beberapa media internasional, antara mereka yang pro dan kontra. Seperti biasa, substansi persoalan ikut bergeser, dari masalah keamanan di Selat Malaka menjadi isu kehadiran pasukan AS yang dalam hal ini identik dengan "ancaman" destabilisasi kawasan.
Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld membantahnya. Dalam seminar masalah keamanan di Asia Tenggara tanggal 4-5 Juni di Singapura, dia mengatakan tidak ada rencana Pemerintah AS menempatkan pasukannya di Selat Malaka.
Laksamana Fargo sendiri akhirnya memberi keterangan di Kuala Lumpur pertengahan Juni. Seolah untuk menyenangkan hati pemimpin ASEAN, ia mengatakan belum ada tanda-tanda teroris ikut mendompleng dalam aksi bajak laut di Selat Malaka.
Namun, sama seperti pernyataan Rumsfeld, penjelasan ini tidak segera dapat menghilangkan kekhawatiran yang sempat dipublikasikan pers Barat mengenai kemungkinan serangan teroris di sektor pelayaran.
Apalagi disebut-sebut Hambali bersama Kelompok Jemaah Islamiyah pernah merencanakan menyerang instalasi Angkatan Laut AS di Singapura tahun 2000.
RUMSFELD maupun Laksamana Fargo mungkin benar, AS tidak berencana menempatkan pasukannya di Selat Malaka. Sebab, AS ternyata telah menjajaki kemungkinan menempatkan pasukannya di perbatasan RI-Australia.
Majalah kajian strategis AS, Stratfor, edisi 8 Juni 2004, menulis, AS sedang mempersiapkan penempatan personel dan peralatan militernya di Australia. Ini dimaksudkan sebagai bentuk tekanan pada Indonesia agar bertindak lebih keras terhadap kelompok militan.
Stratfor, yang menjadi acuan analisis intelijen bagi para pakar hubungan internasional, mengutip keterangan Rumsfeld dan Menteri Pertahanan Australia Robert Hill, setelah keduanya bertemu di Singapura (5/6). Disebutkan, pembicaraan antara Washington dan Canberra sudah mendekati kesepakatan mengenai penggunaan fasilitas latihan militer di utara Australia.
Kemungkinan besar fasilitas itu berada di Queensland atau The Northern Territory. Ada dua pilihan, yaitu Royal Airforce Base Tindal, yang lokasinya 200 mil sebelah tenggara Darwin, Northern Territory, dan Shoalwater Bay Military Training Area, dekat Yeppoon, Queensland.
Bagi Pemerintah AS, Indonesia bersama Pakistan dan Arab Saudi merupakan teater yang sangat penting dalam meredam kelompok militan. Di Indonesia, tulis Stratfor, kelompok ini berada di bawah payung Kelompok Jemaah Islamiyah.
Dengan menggelar kekuatan militer sepanjang perbatasan Indonesia, AS telah mentransfer strategi militernya, yang saat ini sedang diaplikasikan menekan Pemerintah Arab Saudi dan Pakistan agar bertindak tegas terhadap jaringan Al Qaeda.
Penempatan pasukan AS di Australia jelas tidak sama daya magnetisnya dengan di Timur Tengah, yang merupakan zona perang. Namun, demikian menurut Stratfor, pesan yang disampaikan sama saja, yakni Washington sedang mempersiapkan aksi militer jika Jakarta masih membiarkan kelompok militan bebas bergerak.
Kekuatan militer AS dapat menjangkau Indonesia melalui fasilitasnya di Singapura dan Filipina. Dengan adanya pangkalan militer sementara di Australia, AS mempunyai titik akses dari timur laut, barat laut, dan selatan Nusantara.
Sebenarnya, tulis Stratfor, AS sudah terlibat langsung di Filipina memburu kelompok Abu Sayyaf. Demikian pula di Thailand dalam memburu Hambali. Bahkan dengan Thailand dijajaki kemungkinan membangun pangkalan militer. Semua itu dimaksudkan untuk menekan Indonesia agar lebih serius memburu kaum militan.
Namun, analisis Stratfor menyimpulkan, penekanan dengan strategi demikian tidak menjamin Jakarta akan mengubah kebijakannya. Sebab, situasi di Indonesia mirip dengan Pakistan. Washington sulit bertindak karena khawatir posisi Jenderal Musharraf akan goyah dan membuka peluang bagi kelompok militan.
Yang mengejutkan, laporan iyu ditutup dengan kalimat, di Indonesia sebagian besar lapisan rakyatnya pasti bersikap antagonis terhadap pemerintah yang menjadikan kelompok militan sebagai target.
Maka laporan itu lalu menyebut nama seorang jenderal purnawirawan, yang adalah calon presiden. Disebutkan, jika jenderal itu memenangi pemilu, AS akan mempunyai sekutu di Jakarta, yang berotot politik dan memegang otoritas militer agresif dalam menghadapi Kelompok Jemaah Islamiyah. *
---------------------------------
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail - 50x more storage than other providers!
-------------- next part --------------
An HTML attachment was scrubbed...
URL: http://www.polarhome.com/pipermail/gmni/attachments/20040721/180f7725/attachment.html
More information about the GMNI
mailing list