[GMNI] PDI-P dan Trisakti, antara harapan dan kenyataan

Don Corleone syailendhra at yahoo.com
Sat Mar 19 23:37:42 CET 2005


Tak terasa, sudah hampir 60 tahun Indonesia telah
merdeka atas penjajahan asing. Suatu kemerdekaan yang
mengandung konsekuensi. Kita mengenal adagium "Lebih
mudah merebut daripada mempertahankan", yang bolehlah
dianggap sebagai salah satu konsekuensi kemerdekaan
"De Jure" ini. Sebuah adagium yang kemudian mempunyai
nilai korelatif jika menilik perkembangan terkini,
yang mengarah pada distorsi atas kedaulatan NKRI oleh
bangsa lain yang ditopang oleh kekuatan NEKOLIM (Neo
Kolonialisme & Neo Imerialisme). NEKOLIM adalah
manifestasi dari kapitalisme global yang punya
kecenderungan menindas secara ekonomi maupun politik.
Kecenderungan NEKOLIM niscaya menjadi keprihatinan
bersama, jika kita menelaah konsekuensi dari
kecenderungan tsb yang ternyata berbanding lurus
dengan kesengsaraan negara-negara antitesa NEKOLIM
dimana NKRI termasuk didalamnya. 
Nekolim bukanlah sebuah ideologi melainkan sebuah
system yang selaras dengan ketergantungan manusia atas
kekuatan kapital, dan dengan demikian memunculkan
resistensi dan antitesa-antitesa idelologis. Induk
semang resistensi ideologis atas Kapitalisme dgn
Nekolimnya kita kenal dengan SOSIALISME yang digagas
Filsuf Materialisme jerman, Karl Marx & Engels.

MARHAENISME

Sosialisme sendiri telah melahirkan berbagai varian
ideologi yang disesuaikan dengan kondisi geopolitik
dan tatanan sosial masyarakat yang khas. Di Rusia ada
sosialisme Marxistik (komunisme), di Prancis ada
Sosialis Demokrat, di China ada Sosialisme Maois
(walau belakangan China menjalankan Liberalisasi
Ekonomi yang di Prakarsai Chou En Lai), dan di
Indonesia kita mengenal Marhaenisme. 
Marhaenisme yang diajarkan Soekarno (Bung Karno: Bapak
Marhaen) dianggap unik karena merupakan ideologi yang
digali dari kultur masyarakat Indonesia yang telah
kenyang di jajah, dengan menggunakan Marxisme sebagai
pisau bedah analisisnya. Marhaenisme secara umum di
definisikan sebagai "cara perjuangan untuk mewujudkan
tatanan masyarakat SOSIALIS RELIGIUS berdasarkan
Pancasila". Sedangkan kaum Marhaen (yang harus
diperjuangkan) adalah kaum papa yang dimiskinkan oleh
cara produksi yang menindas dan termasuk didalamnya
adalah kaum buruh/proletar.
Ajaran Marhaenisme sendiri dirangkum dari beberapa
konsepsi/teori yang saling bersinergi yang dikenal
sebagai pilar2 Marhaenisme, dan salah satu yang
terkenal adalah konsep TRISAKTI.

Trisakti, latar historis dan definisi

Konsep Trisakti merupakan konsep ke 4 dari 5 konsep
Bung Karno, yang beliau nyatakan sebagai azimat ke 4.
Penggunaan kata azimat semata2 untuk menekankan
pentingnya ajaran, bukan meng-azimat-kan ajaran tsb.
Kelima konsep tersebut a.l; 1. Nasakom, 2. Pancasila,
3. Manipol USDEK, 4. Trisakti/TAVIP dan 5. Berdikari. 
Sebagaimana telah disinggung pada prolog tulisan,
kesadaran akan konsekuensi logis dari sebuah
kemerdekaan de jure telah melahirkan konsep Trisakti
ini. Trisakti merupakan rumusan yang digali Bung Karno
selama menghadapi usaha-usaha imperialis yang ingin
menghancurkan Indonesia. Trisakti kemudian dijabarkan
dalam pidato Bung Karno tanggal 17 Agustus 1964 yang
berjudul "Tahun ViverePericoloso" disingkat TAVIP.
Pidato ini disampaikan Bung Karno ketika Indonesia
telah berhasil mengembalikan Irian Barat ke pangkuan
Ibu Pertiwi, dan juga tengah menghadapi usaha
imperialis (terutama Inggris) membangun apa yang
dikenal sebagai proyek Federasi Malaysia.
Trisakti dijabarkan sebagai "Berdaulat dalam bidang
politik", "Berdikari dalam bidang Ekonomi", dan
"Berkepribadian dalam kebudayaan".

Pergeseran paradigma dan reaktualisasi Trisakti

Ketika kekuasaan Orde Lama ambruk, ajaran2 berhaluan
SOSIALIS kemudian dilarang. Marhaenisme sendiri, meski
oleh ORBA tak sampai di TAP MPRS-kan pelarangannya
tetap saja mengalami nasib serupa.
Organisasi-organisasi berhaluan Marhaenisme dihambat
perkembangannya dengan mekanisme kontrol yang super
ketat dan intervensi-intervensi. Mandeg-nya ideologi
resisten yang disengaja ini dan kentalnya hegemoni
penguasa, secara psikologis telah melahirkan
pergeseran paradigma berpikir dan bersikap yang
cenderung kapitalistik. Dan Teori kausalitas tak
terkecuali menghinggapi konfigurasi psikologis semacam
ini, yang berakibat lahirnya -lagi2- konsekuensi baru
yang lebih buruk: Apatisme.
Apatisme telah menciptakan akumulasi kapital asing di
NKRI lengkap dengan berbagai tuntutannya. Privatisasi,
yang membuat industri2 strategis negara atau yang
menguasai hajat hidup orang banyak, oleh apatisme
telah dibiarkan untuk dikuasai kemodalan asing dan
kita telah pahami bersama konsekuensinya. Embargo
peralatan militer yang membuat Serdadu kita tak
berwibawa, provokasi di Ambalat dan kenaikan BBM. Jika
kita menganggap bahwa, misalnya, privatisasi adalah
sudah seharusnya dikarenakan KKN telah merajalela atas
industri2 hajat hidup orang banyak itu, maka bukankah
apatisme juga turut andil menciptakan KKN itu?
Secara politis, apatisme lebih membuka ruang bagi
pragmatisme politik jangka pendek yang berkolaborasi
dengan kepentingan kapitalis daripada kepentingan
ideologis jangka panjang.
Dengan demikian, di era keterbukaan ini konsep
Trisakti kemudian seolah menemukan momentumnya.
Ditingkat grass-root, kesadaran mulai terbangun bahwa
berdaulat, berdikari, dan berkepribadian adalah
sungguh perlu. Antusiasme terhadap Ambalat adalah
contohnya. 
Re-aktualisasi Trisakti perlu terus dilakukan guna
meng-eliminir sikap apatisme, dan menunjukkan bahwa
Trisakti masih punya korelasi selama Indonesia masih
Bangsa Kuli, dengan rakyat yang menjadi kuli di
tanahnya sendiri. Persoalannya sekarang, siapa yang
harus ber-kampanye dan ber-diskursus?

Harapan

Saya, anda dan siapapun yang memiliki panggilan nurani
untuk melaksanakan cita-cita Bangsa yang Adil dan
Makmur berdasarkan Pancasila, yang memahami bahwa
cita-cita Bangsa ini tidak berhenti sebagai cita-cita
belaka. Yang menghindarkan diri dari virus apatisme
dan meyakini bahwa masyarakat adil dan makmur sama
rasa-sama rata bukan tujuan retoris. Kitalah yang
seharusnya mempelopori diskursus dan kampanye ini.
Secara kelembagaan PDI-P merupakan organisasi yang
niscaya mengambil peran lebih besar karena ciri khas
organisasi-nya yang lebih dekat ke ajaran-ajaran Bung
Karno, dan masih mendapat kepercayaan mewadahi
konstituen nasionalis yang jumlahnya masih signifikan.
Kongres PDI-P ke II di Bali pada 28 Maret hingga 2
April nanti diharapkan dapat menjadi titik tolak
re-aktualisasi ajaran2 Marhaenisme termasuk Trisakti,
dan diharapkan juga untuk dapat merumuskan formulasi
parksis ajaran2 tsb. Kami sangat berapresiasi terhadap
dukungan politik PDI-P yang diberikan kepada
pemerintahan sebelumnya (Megawati) yang ditengah
keterbatasannya, dalam beberapa hal telah mengambil
langkah-langkah yang bermartabat dan telah menunjukkan
bahwa Indonesia tidak seharusnya tergantung kepada
kaum imperialis.
Keberpihakan terhadap rakyat adalah harus, dan PDI-P
harus segera mengkonsolidasi diri untuk kembali ke
karakter ini. Semoga.

Samenbundelling van alle revolutionaire krachten.
Merdekaa! Marhaen menang,..!!

lam dame,


+Corleone+

Sumber: dari berbagai sumber plus arsip GMNI.

**"Tuhan berdiam diri dalam akal budi, serta bertindak dengan rasa. Dan karena engkau adalah nafas ciptaan Tuhan, sepucuk daun pepohonan rimba Tuhan, maka juga kaupun hendaklah; Berhening diri dalam akal budi,..Bergerak dalam gelora rasa." (Kahlil Gibran)**


		
__________________________________ 
Do you Yahoo!? 
Yahoo! Small Business - Try our new resources site!
http://smallbusiness.yahoo.com/resources/ 


More information about the GMNI mailing list