[Karawang] Jenazah para koruptor tidak patut disholati
admin
karawang@polarhome.com
Wed Aug 14 15:48:01 2002
"A. Umar Said" schrieb:
>
> ================================================================
>
> JENAZAH PARA KORUPTOR
> TIDAK PATUT DISHOLATI !
>
> (Oleh : A. Umar Said)
>
> Akhirnya, sesudah ditunggu-tuggu sejak puluhan tahun (!!!), maka datang
> jugalah satu perkembangan penting di kalangan ulama Indonesia. Yaitu, bahwa
> para alim ulama negeri kita dewasa ini menunjukkan, secara tegas, “greget”
> mereka untuk ikut memerangi korupsi, maksiat parah yang sudah lama membikin
> sakitnya akhlak bangsa kita. Ini tercermin dalam salah satu hasil Munas Alim
> Ulama dan Konferensi Besar NU yang digelar empat hari di Asrama Haji Pondok
> Gede Jakarta. Dalam pertemuan tersebut telah disepakati oleh para ulama
> bahwa para pejabat negara yang terbukti melakukan korupsi terhadap uang
> negara, boleh tidak disholatkan jenazahnya. Disebutkan juga bahwa menurut
> ajaran Islam, para koruptor layak untuk dihukum dari potong tangan hingga
> pidana mati, karena telah mengambil uang rakyat dan meninggalkan
> kesengsaraan bagi rakyat. Melalui Komisi Masail Waqi’iyah Siyahsiyah Munas
> Alim Ulama, disepakati bahwa utang negara dan korupsi termasuk perbuatan
> tercela, sehingga hukumannya pun berat. (Suara Pembaruan, 29 Juli 2002).
>
> Apa sajakah yang bisa kita coba simak dari berita ini? Dengan menyampingkan
> persoalan “potong tangan” yang disebut-sebut juga dalam kesepakatan itu,
> bisa dilihat adanya seruan moral yang luarbiasa “kerasnya” dari para ulama
> mengenai masalah korupsi. Sebab, dalam kesepakatan itu disebutkan bahwa
> “para pejabat negara yang terbukti melakukan korupsi terhadap negara, boleh
> tidak disholatkan jenazahnya”. Orang bisa mempunyai tafsiran yang
> macam-macam terhadap kalimat yang demikian itu. Antara lain, yalah bahwa
> pejabat negara yang terbukti melakukan korupsi sudah tidak berhak lagi untuk
> memperoleh penghargaan dari sesama anggota masyarakat, sehingga jenazahnya
> pun tidak pantas untuk disholati. Atau, bisa juga diartikan, bahwa orang
> yang semacam itu tidak patut lagi didoakan supaya arwahnya diterima di sisi
> Tuhan YME. Atau tafsiran-tafsiran lainnya lagi, barangkali.
>
> Kesepakatan para ulama terhadap para koruptor yang demikian ini benar-benar
> merupakan peringatan moral yang “dahsyat”, terutama bagi masyarakat di
> negeri kita yang, biasanya, memandang masalah upacara kematian sebagai suatu
> peristiwa yang amat penting. Oleh karena itu, mungkin masalah ini akan bisa
> menimbulkan perdebatan yang ramai di kemudian hari. Sebab, pastilah ada
> reaksi (terutama dari kalangan Islam sendiri), yang dengan berbagai dalih
> dan “tafsiran” keagamaan, akan menentang seruan moral tersebut.
>
> PERLU DISOSIALISASIKAN SECARA LUAS
>
> Apapun reaksi berbagai fihak, suatu hal yang jelas yalah bahwa seruan moral
> itu bisa merupakan sumbangan penting kepada perjuangan bersama untuk
> melawan kejahatan korupsi. Sebab, kalau kesepakatan ini bisa dikumandangkan
> secara besar-besaran, maka gemanya bisa (mudah-mudahan!) membikin “ngeri”
> para pejabat negara dan berbagai “tokoh” masyarakat lainnya, baik yang di
> tingkat tertinggi, sampai ke tingkat kementerian, provinsi, kabupaten,
> bahkan kecamatan. Bisalah kiranya kita perkirakan betapa “takutnya” para
> hakim, jaksa, pengacara, pimpinan kepolisian dan militer yang korup, ketika
> membayangkan bahwa (kalau mereka meninggal) jenazah mereka tidak akan
> disholatkan dan bahwa arwah mereka tidak akan diterima Tuhan YME. Ketika
> para koruptor selama ini kelihatannya sudah tidak takut lagi kepada hukum
> dan mencampakkan etika dan segala ajaran agama, maka seruan moral para ulama
> NU itu adalah suatu “terobosan” yang luar biasa.
>
> Oleh karena itu, alangkah baiknya kalau seruan moral ini bisa
> disebarluaskan, atau disosialisasikan secara besar-besaran, melalui berbagai
> cara dan jalan, oleh sebanyak mungkin orang. Para ulama, sebagai pemimpin
> ummat mereka masing-masing, perlu didorong untuk menjadikannya sebagai
> bagian dari kegiatan mereka sehari-hari. Seruan moral ini perlu digelorakan
> dalam mesjid-mesjid dan pesantren, yang jumlahnya ratusan ribu di negeri
> kita. Masalah ini perlu disosialisasikan lewat siaran televisi (dalam
> “kuliah subuh” di TV, umpamanya), atau lewat khotbah dalam mesjid, dan lewat
> segala macam pertemuan dengan para jemaah. Adalah penting sekali bahwa
> organisasi-organisasi Islam lainnya, seperti Muhammadiyah, Majlis Ulama
> Indonesia, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, ICMI dan lain-lainnya, juga
> ikut aktif menggelorakan seruan moral ini. Namun, apakah mereka mau
> melangkah ke arah itu, marilah sama-sama kita tunggu.
>
> SANKSI SOSIAL DAN MORAL YANG BERAT
>
> Menurut Suara Pembaruan itu juga, Ketua Pengurus Besar NU Cecep Syarifuddin
> menjelaskan bahwa kesepakatan itu merupakan seruan moral untuk mengatasi
> penyakit korupsi yang tak terselesaikan. Kesepakatan itu hanya seruan moral,
> atau lebih bersifat sanksi sosial, dan tidak memiliki ikatan hukum. Menurut
> dia, “apa yang dihasilkan dalam Munas Alim Ulama tersebut sangat positif,
> untuk mengingatkan siapapun, termasuk pejabat negara yang menjarah uang
> negara, bahwa korban dari tindakannya itu tidak lain adalah ummat sendiri.
> Para ulama telah meletakkan suatu landasan moral dalam rangka mengatasi
> penyakit korupsi di negeri ini”, tandasnya. Cecep berharap, dengan ancaman
> tidak disholatkannya jenazah para pejabat yang melakukan korupsi, bisa
> membuat jera para koruptor. “Kalau sampai tidak disholatkan jenazahnya,
> merupakan sanksi sosial yang sangat berat bagi dirinya sendiri, terlebih
> lagi bagi keluarga yang ditinggalkannya”, ujarnya.
>
> Secara terpisah praktisi hukum Luhut MP Pangaribuan juga menilainya sebagai
> hal positif. Menurut dia, pesan yang hendak disampaikan para ulama melalui
> seruan itu adalah bahwa pemerintah sebenarnya masih kurang serius menangani
> kasus-kasus korupsi. “Kasus-kasus korupsi yang masuk ke pengadilan ataupun
> koruptor yang masuk penjara sangat sedikit, bahkan hampir tidak ada. Itu
> bisa dilihat dari statistik pengadilan. Tindak pidana korupsi yang ditangani
> jauh lebih sedikit dibanding tindak pidana yang lain. Artinya, penegak hukum
> tidak serius”, tandasnya. Advokat itu berpendapat, seruan moral yang
> dikeluarkan oleh para ulama itu pada hakikatnya sejalan dengan hukum positif
> mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. “Dari sisi moral agama, itu
> jelas tidak bertentangan. Hukum positif itu pada dasarnya dijiwai oleh moral
> agama. Karena hukum yang tertinggi sebenarnya adalah moral” ucap Luhut.
>
> Menurut siaran dalam website PBNU tanggal 31 Juli (yang baru saja
> didirikan), Presiden Partai Keadilan Hidayat Nurwahid mendukung rekomendasi
> alim ulama NU ini, dan menyatakan bahwa “koruptor memang harus dihukum berat
> atau hukuman mati, dan jangan disholatkan bila mati”. Jadi, gema makin
> melebar atau bola sudah mulai menggelinding. Dan, mengingat bahwa korupsi
> ini sudah sejak lama sekali menjadi keprihatinan YANG SANGAT MENDALAM
> bangsa sehari-hari, maka dapat diperkirakan bahwa seruan moral para ulama
> ini akan bisa berbuntut panjang.
>
> MENGAPA SERUAN MORAL INI PENTING?
>
> Setiap orang bisa saja (dan juga punya haknya masing-masing!) untuk
> mempunyai pendapat tentang seruan moral para ulama tersebut di atas, atau
> menafsirkannya menurut keyakinan masing-masing. Selain itu, persoalan ini
> bisa disoroti dari berbagai sudut pandang. Antara lain, yalah bahwa banyak
> ulama yang tergabung dalam NU, dan banyak pula pengikut/anggota NU yang
> menjadi anggota berbagai partai politik (PPP dan partai-partai Islam
> lainnya). Walaupun tidak semuanya, para tokoh NU yang merupakan organisasi
> Islam terbesar di negeri kita ini, akhir-akhir ini menampilkan
> pandangan-pandangan yang lebih “menyejukkan hati” kepada masyarakat luas.
> Berlainan dengan tokoh-tokoh Islam lainnya (antara lain : sebagian dari MUI,
> Ahlus Sunnah Waljamaah, KISDI, FPI, Lasykar Jihad, Majlis Mujahidin
> Indonesia dll), mereka lebih mengutamakan hubungan yang damai antara
> berbagai kelompok atau golongan dalam masyarakat dan menjaga keamanan dan
> keutuhan negara dan bangsa. Pandangan mereka (terutama dari kalangan muda
> NU) tentang Syariat Islam juga bisa membikin lebih tenteramnya fikiran
> banyak orang.
>
> Sekarang ini, dengan seruan moral yang keras terhadap korupsi, para ulama
> itu sedang mengangkat kejahatan besar yang - secara kongkrit dan
> jelas-jelas !- sudah menyebabkan kerusakan-kerusakan parah sekali di bidang
> akhlak (terutama kalangan “atas”). Kerusakan akhlak inilah yang telah
> membikin busuknya sistem hukum dan peradilan negeri kita, dan yang
> menyuburkan segala macam pelanggaran hukum dan HAM. Kerusakan akhlak ini
> pulalah yang telah membikin menggunungnya utang luarnegeri dan dalamnegeri
> kita. Kerusakan akhlah ini jugalah yang melahirkan korupsi besar-besaran dan
> menyeluruh di negeri kita. Dan korupsi inilah yang telah merusak iman banyak
> orang di negeri kita, termasuk di kalangan Islam sendiri. Jelaslah, bahwa
> korupsi adalah musuh kongkrit yang harus dilawan bersama, karena selama
> puluhan tahun sudah nyata-nyata merugikan ummat.
>
> Ketika sebagian golongan Islam selama ini diam seribu bahasa terhadap
> kejahatan para koruptor, tetapi lebih getol mengumbar suara tentang masalah
> pentingnya jilbab, atau tentang masalah minum bir, atau tentang perlunya
> pentrapan Syariah Islam dan “jihad” terhadap apa yang non-Muslim (dll dll!),
> maka sikap tegas (dan keras!) para ulama NU terhadap para koruptor,
> merupakan pertanda bahwa mereka lebih mengutamakan kepentingan orang banyak
> lewat penyelamatan akhlak bangsa.
>
> PENJELASAN RAIS SYURIAH PBNU
>
> Dalam rangka ini, adalah menarik untuk disajikan dalam tulisan ini kutipan
> berita koran Duta Masyarakat yang disiarkan juga oleh website PBNU (tanggal
> 13 Agustus 2002), yang lengkapnya adalah sebagai berikut :
>
> REMBANG,PBNU Online-- Rais Syuriah PBNU KH Mustofa Bisri yang akrab disapa
> Gus Mus itu mengakui bahwa dalam sejarah perjalanan NU, baru kali ini
> mengeluarkan fatwa yang cukup keras yakni soal tak wajib menyalati jenazah
> koruptor. “Ini hukuman luar biasa. Bayangkan kalau seorang tokoh besar atau
> seorang konglomerat atau siapapun dia — bekas publik figur – lalu meninggal
> dan tidak disalati karena korup, maka dia tidak beda dengan orang kafir,”
> ungkapnya..
>
> Menurut Gus Mus, hakim bisa saja membebaskan koruptor. Tapi, rakyat bisa
> menghukumnya lewat fatwa ulama. Kalau masih lolos maka hukum Allah SWT tetap
> akan menjeratnya. Diakuinya, soal korupsi telah menjadi salah satu fenomena
> yang cukup menonjol di Indonesia. Tragisnya, mereka hampir tak tersentuh
> hukum atau bahkan kebal hukum. Hal itu disebabkan oleh berbagai elemen
> penting, seperti birokrat (eksekutif), legislatif, yudikatif (termasuk
> istitusi Polri), maupun para pengacara banyak yang bermental korup.
>
> “Akhirnya, yang namanya koruptor seolah tidak terjaring hukum, itu karena
> mental yudikatif kita juga korup. Pendek kata mental korup ini sudah
> menggurita ke segenap lini dan, sudah dibudayakan selama puluhan tahun,
> untuk mereformasi butuh keberanian dan niat baik dari berbagai pihak,”
> tegasnya. Dalam kondisi yang memprihatinkan ini kyai tidak bisa tinggal
> diam. Karenanya, Munas dan Konbes alim ulama (NU) di Jakarta, merasa perlu
> mengeluarkan fatwa – sebagai jurus – untuk melawan koruptor. Saking
> semangatnya untuk memberantas korupsi, sehingga para ulama NU, mengeluarkan
> fatwa, isinya tidak wajib hukumnya mensalati koruptor yang meninggal dunia”.
> Diakui oleh Gus Mus, bahwa sikap atau fatwa ulama NU ini, merupakan sikap
> yang paling keras sepanjang sejarah berdirinya republik ini.
>
> Reformasi, lanjut kyai yang juga budayawan, esensinya adalah merupakan
> perubahan yang menyeluruh setiap tatanan/produk yang selama ini
> disalahgunakan atau, menyimpang selama puluhan tahun. Tapi, kenyataannya,
> sekarang justru makin runyam. Gegeran di panggung politik di tingkat elit
> Jakarta, merembet ke daerah-daerah yang, unjung-ujungnya juga perebutan
> kekuasaan yang bermuara keduniawian semata. “Mereka-mereka itu semakin
> terlena dengan kekuasaan, sehingga tidak disadari betapa kian jauhnya kita
> dengan Tuhan. Jika para koruptor tetap melenggang karena `dipayungi`
> kekuasaan sehingga tidak terjerat hukum dunia, maka hukum akhirat-lah yang
> akan berbicara. Mereka tidak akan bisa lari dari hukum Allah,” katanya.
> ”Di mata Tuhan meski cuma serupiah, kalau itu hasil korupsi, tetap akan
> ditagih Allah di akhirat kelak. Uang hasil korupsi, kata Gus Mus, tidak beda
> dengan uang hasil curian. Dan karena hak ‘adami‘ (milik orang lain/rakyat)
> maka harus dikembalikan, tidak berbeda dengan hutang yang harus dibayar,
> sampai di liang kubur sekalipun. Karena itu, penekanan ulama terhadap pelaku
> koruptor ini, diharapkan dapat mengembalikan iman, agar mau menyerahkan
> harta hasil korupsinya kepada negara, meskipun realitanya mereka bersembunyi
> dibalik ‘ketiak‘ kekuasaan (kutipan selesai).
>
> PERENUNGAN DI KALANGAN ISLAM SOAL KORUPSI
>
> Sekarang ini, masih sulit untuk diperkirakan sampai di manakah pengaruh
> atau dampak seruan moral para ulama NU tersebut. Namun, kalau
> pensosialisasiannya bisa berjalan secara luas, maka mungkin akan bisa
> merupakan sanksi sosial atau sanksi moral yang kuat sekali terhadap masalah
> korupsi. Dapatlah kiranya dibayangkan betapa “ngerinya” para koruptor
> ketika memikirkan bahwa, kalau mereka meninggal, jenazah mereka tidak akan
> disholati, atau tidak dihadiri oleh sanak-saudaranya dan para sahabat serta
> kenalan mereka. Effek sanksi sosial dan sanksi moral “fatwa” para ulama ini
> bisa menimbulkan keengganan banyak orang untuk menjenguk jenazah para
> koruptor sebagai tanda penghormatan terakhir. Juga bisa menimbulkan
> “ketakutan” bagi banyak orang untuk ikut mendoakan supaya arwah para
> koruptor itu bisa diterima oleh Tuhan. Ini bisa merupakan pukulan bathin
> yang berat sekali bagi istri, anak, cucu, orangtua, dan saudara-saudara
> dekat lainnya para koruptor. Sebab, dengan demikian, pada hakekatnya, banyak
> orang akan menganggap koruptor itu hanya sebagai binatang saja, atau bahkan
> sebagai sampah belaka.
>
> Ketika selama puluhan tahun Orde Baru korupsi sudah merusak iman begitu
> banyak orang, dan banyak usaha lewat undang-undang dan peraturan untuk
> memberantasnya tidak bisa berhasil, maka “ancaman” para ulama NU ini
> mempunyai arti yang penting dewasa ini. Memang, persoalan korupsi yang
> dikaitkan dengan tidak patutnya disholatinya jenazah para koruptor, bisa
> menimbulkan perdebatan dalam masyarakat, termasuk, dan terutama (!), di
> kalangan Islam. Namun perdebatan yang serius - dan perenungan bersama yang
> mendalam - di kalangan Islam soal korupsi adalah sesuatu yang sudah makin
> sangat diperlukan oleh bangsa dan negara kita. Sebab, kebanyakan korupsi
> yang sudah “membudaya” begitu lama di negeri ini, (dan yang menimbulkan
> kerugian besar kepada sesama ummat dan juga kerusakan parah di berbagai
> bidang kehidupan negara dan bangsa) telah dilakukan justru oleh orang-orang
> yang menyatakan diri sebagai pemeluk agama Islam.
>
> Dengan mempertimbangkan itu semuanya, maka nampaklah dengan jelas, bahwa
> seruan moral para ulama, seperti yang tercermin diatas, mengandung pesan dan
> arti besar bagi perjuangan bersama kita, dalam usaha membrantas korupsi di
> negeri kita.
>
> Paris, musim panas, 13 Agustus 2002
>
> (Catatan : tulisan ini bebas untuk diteruskan kepada siapa saja, dan juga
> bebas untuk digunakan selayaknya. Bagi yang berminat untuk membaca
> tulisan-tulisan lainnya yang sudah pernah disiarkan, dapat ditemukan dengan
> membuka Google dengan mencantumkan : kontak@club-internet fr
> Penulis adalah, sampai September 1965, pemimpin redaksi suratkabar Harian
> EKONOMI NASIONAL (Jakarta), anggota pengurus PWI Pusat periode kongres 1963,
> dan pengurus Sekretariat Persatuan Wartawan Asia-Afrika).
>
> * * *