[Karawang] Affirmative Action Policy : Perlakuan Khusus atau Belas Kasihan?
He-Man
karawang@polarhome.com
Tue Aug 20 01:48:01 2002
Affirmative Action Policy
Perlakuan Khusus atau Belas Kasihan?
[06/05/02]
Baru-baru ini Presiden Megawati mengeluarkan statement yang menarik.
Bertepatan dengan peringatan Hari Kartini, Presiden meminta kepada
kaum perempuan untuk berhenti mengharapkan belas kasihan. Menurutnya,
saat ini kaum perempuan Indonesia mesti berusaha dan berjuang
meningkatkan harga dirinya sendiri. Presiden meminta perempuan
di tanah air mengindari perolehan dengan dasar permintaan pemberian
'kuota'.
Menariknya, Presiden juga meminta perempuan untuk terus menerus
meningkatkan kemampuannya agar tercipta kesetaraan. Artikel ini akan
mengekseminasi isu ketidaksetaraan perempuan dalam kerangka
kebijakan affirmative action. Apa yang semestinya dilakukan negara
untuk mencapai kesetaraan perempuan yang sejati?
Program affirmative action merupakan sebuah cara yang banyak
direkomendasikan untuk mencapai kesetaraan kaum perempuan.
Ketidaksetaraan perempuan terjadi di semua bidang akibat struktrur
patriarki di level publik dan privat. Dari sudut sejarah, istilah
affirmative
action diaplikasikan di level publik di mana negara dan institusi publik
mengeluarkan kebijakan yang memberikan peluang atau perlakuan
khusus kepada perempuan. Termasuk, kebijakan kuota di lembaga-
lembaga negara dan publik: parlemen, pemerintahan, institusi pendidikan
dan lapangan pekerjaan. Program ini dilakukan di banyak negara seiring
dengan gerakan perempuan yang bekerja di rana domestik dan internasional.
Istilah aksi afirmasi memiliki makna ideologis. Sama sekali bukanlah
politik 'belas kasihan'. Dalam literatur, term ini dipersamakan dengan
frase positive discrimination, favorable discrimination. Sementara dalam
hukum hak asasi internasional, term ini sering disebut dengan special
measures yang berkembang terutama pada periode pembahasan
draf Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(IESCR). Sebagai catatan, Indonesia belum meratifikasi Kovenan
induk ini. Sebelumnya, term special measure telah dikenal
dalam Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO, 1958).
Tom Campbell, seorang profesor yurisprudensi menyatakan bahwa
affirmative action sebagai "kebijakan yang dikeluarkan untuk grup
tertentu yang dinilai tidak memiliki representasi secara memadai
pada posisi-posisi penting di masyarakat sebagai akibat sejarah
diskrimasi".
Selanjutnya, Elizabeth S. Anderson, mendefiniskan term ini lebih luas
termasuk semua kebijakan yang bertujuan (a) mengupayakan penghilangan
hambatan dalam sistem dan norma terhadap kelompok sebagai akibat
sejarah ketidakadilan dan ketidaksetaraan, dan/atau; (b) mengupayakan
promosi masyarakat yang inklusif sebagai prasyarat demokrasi, integrasi,
dan pluralisme; (c) mengupayakan kesetaraan atas dasar pengklasifikasian
identitas (ras, gender, etnisitas, orientasi seksual, dsb).
Pro dan kontra
Ada baiknya melihat diskursus pro dan kontra terhadap kebijakan
affirmative action ini, dengan memakai kerangka Elizabeth Anderson.
Meskipun konsep ini bukanlah hal yang baru, perdebatan antara
kelompok pro dan kontra masih berlanjut. Kelompok yang kontra
terhadap kebijakan ini setidaknya mendasarkan diri pada isu bahwa
program ini mengancam nilai- nilai 'fairness, persamaan, dan
kesempatan demokratik.'
Pada faksi ini di antaranya beranggapan bahwa sistem dan mekanisme
pasar dapat menjawab persoalan diskriminasi terhadap perempuan.
Kebijakan ini dianggap melanggar praktek meritokrasi, yakni sebuah
sistem seleksi pada masyarakat yang demokratis. Konsep meritokrasi
dianggap dapat memberikan kesempatan yang genuine bagi semua orang
dan memperlakukan semua kandidat secara sama. Kandidat yang tebaik
akan muncul secara otomatis karena sistem ini telah menyediakan
parameter yang fair terhadap semua kandidat.
Lebih lanjut, kelompok kontra dapat diklasifikasikan setidaknya ke
dalam dua kelompok besar. Pertama, yang mendasarkan diri pada
argumen yang berkaitan dengan prinsip moralitas. Kelompok ini
mengklaim, kebijakan affirmative action melanggar sebuah prinsip
fundamental: perlindungan dan persamaan hukum. Karenanya,
kebijakan ini dianggap sebagai tipe baru diskriminasi (reserve
discrimination).
Kelompok ini beranggapan bahwa kebijakan principles of merit. Semua
orang, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki hak untuk
mendapatkan posisi yang diinginkannya. Kebijakan ini telah
gagal menjawab tiga persoalan pokok: (1) individu yang tidak
penah mengalami diskriminasi; (2) isu innocent victims.
Tidak semua orang terlibat atau melakukan praktek-praktek
diskriminasi; (3) kebijakan ini gagal merespon ukuran dan besar
kompensasi untuk tiap individu.
Kelompok yang lain menyandarkan argumennya pada isu konsekuensi buruk
yang diakibatkan oleh program affirmative action. Kelompok ini mengklaim,
faktanya tidak semua perempuan menginginkan perlakuan khusus (special
treatment). Kelompok ini percaya, kebijakan akan berakibat negatif
disebabkan kebijakan telah menstigma perempuan sebagai kelompok kurang
berkompeten dan tidak dapat berkompetisi secara sama.
Selanjutnya, kebijakan ini dianggap memiliki kontribusi terhadap
segregasi sosial. Di samping itu, secara ekonomi tidak efisien. Dalam
banyak kasus, kebijakan ini dianggap menurunkan standar pencapaian
dan akumulasi sumber daya manusia (human capital). Dalam bidang
pendidikan, kebijakan ini dipercaya telah menyumbangkan situasi yang
negatif: merusak ide dan nilai liberal serta melecehkan Western
civilization.
Sebaliknya, kelompok pro dapat diklasifikasikan ke dalam empat
kategori utama. Pertama, kelompok yang mendasarkan argumennya
pada fakta yang berkaitan dengan sexism di masa lalu dan yang terus
terjadi yang melahirkan ketidakadilan dan ketidakberuntungan perempuan.
Sebuah kritik terhadap konsep perspektif yang bias terhadap persoalan
persamaan dapat dikategorikan dalam faksi ini. Dengan kata lain,
affirmative action bertujuan sebagai kompesansi dan upaya koreksi
dari perlakuan sexism yang terjadi masa lalu dan saat ini.
Banyak komentator berpendapat bahwa pelakuan khusus (preferential
treatment) dalam lapangan pekerjaan dan pendidikan dilakukan
sebagai reparasi dari praktek-praktek diskriminasi dan ketidakadilan
struktural. Dalam faksi ini terdapat juga varian kelompok yang
menyarankan, pada tingkat implementasi, aksi sebaiknya dilaksanakan
berdasarkan pendekatan kelompok dan bukan dengan pendekatan
individual.
Kedua, argumen yang berlandaskan prinsip-prinsip demokrasi yang
mensyaratkan representasi yang proporsional kaum perempuan pada
struktur politik dan sosial. Dalam konteks ini, kebijakan dipandang
sebagai upaya merealisasikan sebuah masyarakat yang demokratis.
Program affirmative action mempromosikan diversivitas dan
keseimbangan kelompok-kelompok sosial dalam lembaga-
lembaga politik dan sosial, termasuk di jajaran pemerintahan dan
parlemen.
Ketiga, kelompok yang mendasarkan argumennya pada konsep social
utility dan koreksi terhadap biased criteria of merit. Kebijakan ini
dipercaya dapat memberikan keuntungan pada proses penguatan
kaum perempuan. Lewat program ini, proses pemantauan dan
'mentoring' kaum perempuan dapat dilaksanakan secara sistematis.
Program ini juga dipertimbangakan karena dapat memberikan
pelayanan profesional terhadap disadvantages groups.
Pada faksi ini, terdapat perspektif kebijakan affirmative action
disebabkan adanya situasi di mana perempuan seringkali dipandang
less qualified.Karenanya, kebijakan ditujukan untuk mengkoreksi
persepsi sexist yang bias dalam proses evalusi berdasarkan merit
system dan juga memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi
individu-individu yang memiliki bakat (the talented) di antara
kelompok yang tidak diuntungkan.
Kelompok yang terakhir, mendasarkan argumennya pada isu kebebasan
berbicara, isu pendidikan, dan konsep moral. Kebijakan ini tidak saja
sebagai kompensasi terhadap perlakuan diskriminasi di masa lalu dan
saat ini, tetapi juga memfokuskan diri pada ide nilai keberagaman
dalam bidang pendidikan.
Kebijakan ini dipandang dapat menciptakan situasi seimbang dalam
diskursus, penelitian dan proses belajar. Tujuannya, mempromosikan
misi internal dalam lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat yang
bersamaan, terdapat juga pandangan yang berdasar pada moralitas.
Statistik menunjukkan, kebijakan ini telah meningkatkan partisipasi
perempuan diberbagai bidang kehidupan. Karenanya, kebijakan ini
secara moral dibenarkan.
Politik minta belas kasihan?
Tidak jelas apa yang dimaksud dengan Presiden Megawati
ungkapan "perempuan hanya meminta belas kasihan". Yang jelas,
affirmative action policy telah menjadi perhatian masyarakat
internasional. Konsep dan prakteknya, saat ini diatur dalam banyak
dokumen hak asasi manusia internasional. Sebagai contoh,
dokumen-dokumen General Comment yang dikeluarkan Komite Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya (CESCR), Komite Hak Asasi Manusia
(HRC), dan konvensi dan deklarasi yang telah diadopsi oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(CEDAW, 1978) dengan tegas mengatur tujuan dan justifikasi kebijakan
affirmative action. Dalam Konvensi ini dinyatakan, praktek perlakuan
khusus yang dilakukan negara bertujuan untuk percepatan pencapaian
kesetaraan antara perempuan dan laki-laki secara de facto. Konvensi
menyatakan juga, kebijakan dan praktek seperti ini tidak dapat
dikategorikan sebagai sesuatu yang diskriminatif. Secara formal,
Indonesia telah meratifikasi konvensi ini.
Contoh lain, kebijakan dan praktek affirmative action dinyatakan dalam
Deklarasi tentang Persamaan Kesempatan dan Perlakuan bagi Pekerja
Perempuan, 1995. Dalam deklarasi ini dinyatakan "perlakuan khusus
yang positif selama masa transisi bertujuan untuk mencapai persamaan
yang efektif antara laki-laki dan perempuan bukan merupakan
tindakan diskrimatif." Selanjutnya, Sekretaris Jenderal PBB pernah
menyatakan, "telah menjadi kesepakatan umum bahwa larangan
diskriminasi tidak termasuk kebijakan dan praktek perlakuan
khsusus yang dilakukan berkaitan dengan disadvantaged groups.
Di tingkat regional, Hukum Komunitas Eropa (ECL) mengakui dan
mendukung perlakuan khusus terhadap perempuan. Banyak
komentator menyatakan perhatian negara-negara Eropa berkembang,
terutama setelah European Court of Justice mengeluarkan keputusan
'mendukung' kebijakan dan praktek ini dalam kasus Kalanke,
dan 'Marschal ruling'.
Keputusan ini selanjutnya membawa kontribusi terhadap kebijakan di
negara-negara Eropa seperti Jerman dan Belanda. Jika dibandingkan
negara-negara Eropa, bahkan negara Asia lainnya, tingkat keterwakilan
perempuan di posisi-posisi penting pada institusi negara dan publik
Indonesia masihlah perlu ditingkatkan.
Kembali pada pertanyataan Presiden Megawati, sebaiknya dipertanyakan
kembali, kebijakan dan program apa yang telah dikeluarkan dan
dilaksanakan dalam upaya mencapai kesetaraan perempuan. Jika sudah,
maka perlu dievaluasi dengan baik agar terjadi peningkatan kualitas.
Repotnya, kalau kebijakan sistematis memang belum dikeluarkan. Tidak
semua negara bangsa beruntung dipimpin perempuan. Indonesia
merupakan salah satunya. Namun demikan, tidak serta merta kebijakan
dan praktek affirmative action dilakukan dengan baik. Jangan-jangan,
kebijakan ini tidak dikeluarkan dan dipraktekan karena dianggap minta
belas kasihan!
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri , keluarga , maupun masyarakat
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Islami mailto:keluarga-islami@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
This mailing list has a special spell casted to reject any
attachement...
Your use of Yahoo! Groups is subject to http://docs.yahoo.com/info/terms/