[Karawang] TKI Ilegal dan Harga Diri Kita

Ambon karawang@polarhome.com
Tue Aug 27 23:51:14 2002


Kompas
Rabu, 28 Agustus 2002

TKI Ilegal dan Harga Diri Kita
Oleh Abdul Chalid

AKTA baru keimigrasian Malaysia memberlakukan hukum cambuk dan denda pada
pekerja asing ilegal. Kisah eksodus TKI ilegal kembali terulang dan ini yang
terbesar dalam sejarah.
Akta baru sebenarnya ini sudah disosialisasikan enam bulan lalu dan
disampaikan langsung kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Mennakertrans) Jacob Nuwa Wea. Karena itu, kita tak perlu merasa kebakaran
jenggot. Munculnya komentar yang beragam-di antaranya ada yang ngawur-lebih
menonjolkan emosi daripada mendalami permasalahan untuk menyelesaikan
masalah.
Hubungan kultural yang dalam di antara negara serumpun sama sekali tidak
rusak dengan kebijakan mereka. Kebijakan itu mereka buat semata-mata masalah
ekonomi. Intensitas kepekaan pada dataran politik antara dua negara sedikit
terganggu hanya karena budaya politik yang berbeda.
Pejabat Malaysia sekarang ini sebagian besar dari bagian utara Semenanjung,
seperti Kedah, Perlis, Kelantan, dan Terengganu. Secara kultur, mereka lebih
dekat dengan suku Patani di Thailand selatan. Negeri-negeri di selatan,
seperti Perak, Pahang, Selangor, Johor, Negeri Sembilan, Melaka, dan Johor,
berpenduduk sebagian besar dari suku Jawa, Bugis, Banjar, dan suku-suku di
Sumatera yang berdatangan pada awal abad ke-20.
Karena latar belakang sejarah ini, sering timbul sinisme di tingkat elite
politik Malaysia tentang buruh imigran kita. Andaikata pejabat penting
Malaysia berasal dari selatan Semenanjung, tentu penyelesaian yang muncul
akan berbeda, karena mereka mempunyai latar belakang yang sama dengan para
buruh migran tersebut.
Migran dan buruh Indonesia
Kisah buruh migran ini sudah ada sejak tahun 1972. Awalnya mereka sebagai
pekerja kebun akibat keberhasilan kebijakan agroindustri terutama kebun
sawit dan karet. Sebagian besar dari mereka diberi surat izin tinggal tetap
dan kebanyakan berasal dari Sumatera. Penduduk setempat bersimpati dengan
mereka karena pekerja kita rajin. Oleh karena itu, nama Indonesia sangat
harum ketika itu. Banyak guru, dokter, dan ustad dikirim oleh pemerintah
kita.
Ketika terjadi booming ekonomi dekade 1980-an dan 1990-an, migran buruh dari
pelosok Jawa berdatangan. Sedikit di antara mereka diberi surat izin tinggal
tetap dan permohonan ditutup tahun 1992 hingga sekarang. Penutupan
permohonan ini merupakan desakan dari partai etnik Cina dan India. Mereka
menganggap kebijakan itu sebagai taktik memenangkan kelompok Melayu dalam
percaturan politik di Malaysia. Namun, mereka yang tidak mempunyai surat
izin tinggal tetap dibuat permit kerja. Ada juga yang ilegal.
Simpati terhadap buruh migran makin hari makin berkurang karena kehidupan
buruh migran mulai membaik. Ini menimbulkan kecemburuan penduduk setempat,
ditambah lagi ulah pembantu rumah tangga asal Indonesia bekerja di rumah
keluarga non-Muslim atau di restoran Cina. Itu tidak lumrah dilakukan oleh
orang Melayu di sana. Bagi mereka, jarak antara agama dan budaya begitu
dekat. Pekerjaan itu dianggap sangat menjatuhkan harga diri orang Melayu,
yang notabene Islam. Akhirnya, mereka menganggap buruh imigran asal
Indonesia bukan saudara serumpun.
Untuk mengatasi buruh migran gelap ini, Malaysia sudah melakukan berbagai
cara, antara lain membuat permit kerja, penangkapan dan pemulangan,
pengetatan di pintu masuk resmi, pemegang paspor RI yang mau masuk
ditanyakan uang tunjuk, hukuman rotan pada tekong, dan hukuman denda pada
majikan yang memperkerjakan pekerja asing ilegal. Peraturan seperti itu
tidak efektif untuk menjerat pelakunya. Arus migran tetap terjadi sehingga
menimbulkan kecemasan keamanan dan ketenteraman masyarakat.
Permit kerja
Permit atau surat izin kerja yang dipungut Pemerintah Malaysia terlalu
besar. Untuk buruh bangunan setiap pekerja dipungut oleh majikan rata-rata
RM (ringgit) 225 per bulan selama setahun atau rata-rata RM 10 dari RM 30-RM
40 upah buruh kasar per hari. Untuk pekerja sektor lain lebih rendah karena
gajinya juga rendah.
Pengusaha juga merasa terlalu berat. Kalau memerlukan 50 buruh asing, mereka
harus mengeluarkan lebih dari RM 100.000 untuk memproses surat izin
tersebut. Untuk mengembalikan modal, pengusaha terpaksa mengeksploitasi
buruh secara tidak manusiawi. Banyak buruh lari dari majikan dan akhirnya
menjadi ilegal. Itu tidak seimbang untuk pekerja profesional asing hanya
dikenakan sekitar RM 500 untuk satu tahun dengan gaji jauh lebih besar.
Hasil pembangunan ekonomi mempunyai implikasi luas dalam struktur masyarakat
Melayu. Mereka mengisi jabatan profesional, teknisi, dan karyawan perusahaan
pemerintah dan swasta. Untuk kerja kasar, Malaysia sangat tergantung kepada
buruh Indonesia terutama sektor perkebunan dan bangunan. Kebijakan yang
berubah-ubah tentang pekerja asing ini selalu terjadi. Buruh migran pun
paham betul perilaku Pemerintah Malaysia tentang ini. Namun, hal itu sama
sekali tidak meru-gikan pihak Indonesia.
Sebagian besar pengusaha Malaysia memerlukan pekerja kita karena mudah
berkomunikasi, rajin, sopan, dan perjanjian kontrak kerja dengan pihak KBRI
tentang upah buruh sangat mudah dan murah.
Masalah ekonomi
Kebijakan tentang pekerja asing juga bersamaan dengan pasang surut ekonomi.
Bagaimana Pemerintah Malaysia mempekerjakan sekitar 12.000 TKI yang
didatangkan dari Jawa Timur (Jatim) untuk bekerja siang malam dalam
pembangunan pelabuhan udara baru (Seppang), ribuan lagi untuk pembangunan
kompleks olahraga (Bukit Jalil). Bahkan, kantor imigrasi pun berpindah ke
bandara untuk melegalkan TKI ketika persiapan menjadi tuan rumah Pekan
Olahraga Persemakmuran (Commonwealth Games).
Perlakuan seperti ini selalu di luar pemantauan pemerintah kita.
Kelihatannya mereka lebih "berkuasa" dalam urusan TKI daripada
Mennakertrans. Mereka cukup mengirim orang tertentu berurusan langsung
dengan masyarakat di Jatim dibanding berurusan pejabat di Jakarta yang
dianggap banyak ulah. Jadi, tidak heran kalau masalah buruh migran yang
ter-jadi sekarang ini pemerintah ti-dak bisa berbuat apa-apa. Pemerintah
Malaysia menganggap buruh kita seperti anak semang. Bila diperlukan tinggal
panggil saja.
Ketika Malaysia melaksanakan program agroindustri awal tahun 1970-an dan
Semenanjung menjadi hijau, kita hanya mampu menebang hutan dan tidak menanam
apa-apa. Lambatnya pembangunan infrastruktur seperti jalan highway (trans)
Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi; listrik yang ngos-ngosan, air
bersih, pendidikan, kesehatan, dan kelestarian lingkungan yang belum
memadai, hukum dan politik yang kurang stabil, membuat minat investasi asing
masuk Indonesia bukan pilihan yang terbaik. Sudah waktunya pemimpin kita
memiliki visi yang lebih jelas agar tidak ketinggalan jauh dari Malaysia.
IR ABDUL CHALID, Tinggal di Riau dan sebelumnya tinggal di Malaysia
Search :










Berita Lainnya :
•TAJUK RENCANA
•REDAKSI YTH
•Mimpi Agrobisnis
•QSAR, Puncak Gunung Es Problema Investasi Bagi Hasil
•TKI Ilegal dan Harga Diri Kita
•KARIKATUR
•POJOK