[Karawang] Supremasi TNI Angkatan Darat dan Peristiwa Binjai

karawang@polarhome.com karawang@polarhome.com
Wed Oct 2 00:12:01 2002


Antara Kesaktian Pancasila, Supremasi TNI Angkatan Darat dan Peristiwa Binjai

Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, Presiden dan Wakil tidak
hadir dalam peringatan Kesaktian Pancasila. Tidak jelas sebab
ketidakhadiran Mega dan Hamzah dalam peringatan kemenangan TNI
Angkatan Darat, yang kala itu berperang dengan Partai Komunis Indonesia.
Dan entah kebetulan atau tidak, TNI Angkatan Darat dua hari lalu baru
saja berperang di Binjai, Sumatera Utara. Tapi musuhnya kini bukan PKI,
melainkan Polri, yang berujung peluluhlantakan markas polisi dan
menewaskan beberapa anggotanya. Apa hubungan antara Kesaktian
Pancasila dan Pertempuran TNI AD versus Polisi di Binjai? Radio Nederland
menghubungi pengamat politik Arbi Sanit dari Universitas Indonesia.

Arbi Sanit [AS]: Ya, yang menjadi masalah kan isunya, yang menjadi
kesaksian Pancasila itu. Yah kalau Angkatan Darat menang, silahkan saja.
Tapi kenapa harus Angkatan Darat jadi Pancasila. Itu kenapa? Kenapa
Angkatan Darat jadi wakil negara Indonesia? Kan itu tidak benar.

Radio Nederland [RN]: Sebenarnya peringatan Kesaktian Pancasila
itu, lebih mirip hari peringatan angkatan darat jadinya?

AS: Yah jelas dong. Itukan pertempuran Angkatan Darat dengan PKI. Itu
kan perebutan kekuasaan negara oleh AD dengan PKI. PKI kejeblok, AD
menang. Lalu dikatakan Kesaktian Pancasila, yang benar saja. Apa
urusannya. Itu kan clan-clan Soeharto saja dengan AD waktu itu. Mereka
yang membuat itu, jadi kenapa frame itu harus dipakai lagi? Kan tidak bisa.

RN: Jadi ketidakhadiran Megawati dalam peringatan Kesaktian
Pancasila ini, sebagai upaya menyatakan ini bukan lagi mitos
angkatan darat begitu?

AS: Ya. Artinya meluluhkan sejarah lah. Tiga tokoh utama tidak datang,
Presiden Wakil Presiden dan Ketua MPR. Yang datang Ketua DPR, itu cari
muka memang. Dan dia orang Orde Baru, jadi pantas saja.

RN: Kan selama ini Megawati dikenal dekat sekali dengan AD.
Apakah dengan tidak hadirnya Megawati bisa melukai para petinggi
AD?

AS: Bisa mereka kecewa, tapi kan tidak bisa marah. Apa yang bisa dibuat?
Ekses dari kemenangan Angkatan darat setelah PKI gagal, sekarang masih
agak besar. Di Binjai itu kan eksesnya.

RN: Bagaimana anda bisa mengaitkan ekses PKI '65 dan kasus di
Binjai pertempuran angkatan darat lawan polisi?

AS: AD kan menjadi tohjago. Menjadi alat menang sendiri. Polisi itu anak
bawang, mengapa kok sekarang ngatur-ngatur? Kan dia mengklaim
kemenangan atas negara ini dulu? Nah jiwa apa itu, sejarah kemenangan
itu masih lengket di hatinya orang-orang AD. Yah yang lain tidak boleh
melawan. Apalagi Polisi yang selama ini anak bawang.

RN: Tapi sebenarnya apa yang bisa kita tarik dari peristiwa ini
semua? Ketidakhadiran Megawati, kemudian runyamnya urusan TNI
dan Polisi ini?

AS: Sebenarnya kita harus tarik pertama adalah bahwa paradigma negara
Indoensia yang diciptakan Soeharto sekarang dirombak. Nah untuk itu
simbol-simbolnya, penghormatan-penghormatannya dan hari-hari besarnya
harus ditinjau ulang. Dan Soeharto bukan peletak sejarah Indonesia. Dan
Soeharto melakukan kesalahan yang mendasar, untuk apa dijadikan
tonggak-tonggak sejarah dan negara. Itu kan pertama.

Jadi ini harus ada pengkajian ulang secara historis dan juga secara politis,
bagaimana Indonesai membaca peristiwa tahun 1965 itu dan bagaimana
Indonesia memperlakukan peristiwa itu. Nah ini harus ditegakkan ulang
kembali. Saya kira dalam rangka pencarian, boleh dikatakan kebingungan,
untuk meletakkan posisi informasi di dalam peristiwa itu, maka saya kira
para petinggi negara sekarang mengambil jarak dulu.

Yang kedua adalah berkaitan dengan pertempuran antara polisi dan
tentara di mana-mana, bukan hanya di Binjai. Di Bogor juga barusan
sebelum itu ada juga. Nah itu kan upaya dari orang-orang AD untuk
mempertahankan ideologi atau sejarah di mana dia mendapat keunggulan
di tahun '65 sampai selama lebih kurang 30 tahun lebih. Nah sekarang
mereka kehilangan, atau katakanlah hendak memperlihatkan kembali citra
kemenangan dari PKI itu terhadap polisi, yang oleh presiden disamakan
dengan AD.

Jadi saya kira ada upaya ideologi di dalam kalangan AD terhadap polisi.
Bisa juga terhadap Angkatan Udara dan Laut. Yang memperlihatkan
bagaimana mereka selama ini sejak tahun '65 menegakkan hegemoni dan
dominasi di dalam negara Indonesia. Itu kan historis yang sudah
mengideologi di dalam kalangan prajurit AD. Nah sekarang itu harus diubah.
Karena itu ada yang kebingungan, ada yang putus asa, ada yang anaonim.
Sehingga bertindak menjadi semaunya.

Demikian pengamat politik Arbi Sanit.

Berita tertulis yang disiarkan oleh Radio Nederland Wereldomroep.