[Karawang] [Nasional] Mega Tolak Komentari Vonis Akbar

karawang@polarhome.com karawang@polarhome.com
Fri Sep 6 13:26:05 2002


-----------------------------------------------------------------------
Mailing List "NASIONAL"
Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-----------------------------------------------------------------------
STOP Exodus TKI !!  STOP Exodus bangsa kita  !!   STOP Exodus TKI !!
-----------------------------------------------------------------------
Vonis Akbar terlalu berat? 
Itu 'kan kata Pakar hukum pidana dari Universitas Trisaksi Jakarta Prof
Dr Andi Hamzah.
Bagaimana menurut pendapat Pakar-pakar hukum pidana dari
universitas-universitas lainnya?

-------

Mega Tolak Komentari Vonis Akbar
Vonis Akbar Terlalu Berat

Jakarta (Sinar Indonesia Baru, Jum'at, 06 September 2002)
Presiden Megawati Soekarnoputri menolak mengomentari vonis Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat terhadap mantan Mensesneg Akbar Tanjung yang
menjatuhkan hukuman penjara tiga tahun."Pemerintah tidak punya wewenang
untuk bicara tentang hal itu" kata Mengawati dalam jumpa pers dengan
belasan wartawan Indonesia usai penutupan KTT Pembangunan Berkelanjutan
di Johannesberg Kamis dinihari.

Megawati yang didampingi Menko Perekonomian Dorojatun Kuncorojakti,
Sekretaris Negara Bambang Kesowo serta Menteri Luar Negeri Hasan
Wirayuda itu, kemudian mengatakan, "Tolong tanya saja pada proses
peradilan tersebut".

Megawati mengatakan, vonis terhadap Akbar Tanjung tersebut merupakan
wewenang pengadilan sehingga Pemerintah sebagai lembaga eksekutif tidak
berwenang untuk mencampuri atau mengomentarinya.

ISYARATKAN AKBAR MUNDUR

Sementara itu, dua orang Wakil Ketua MPR yaitu KH Cholil Bisri dari
Fraksi Kebangkitan Bangsa, dan Sutjipto dari Fraksi PDI Perjuangan
mengisyaratkan agar Akbar Tandjung yang dijatuhi hukuman tiga tahun
penjara segera mundur dari jabatan sebagai Ketua DPR RI.

Sesaat setelah tiba di Gedung MPR/DPR Senayan Jakarta, Kamis, Cholil
Bisri mengatakan, meskipun keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu
belum menjadi keputusan tetap, namun secara moral sebaiknya Akbar
Tandjung mundur dari jabatan ketua DPR.

"Secara moral dan akhlak, mundur lebih bagus. Karena kalau ada suara di
luar bahwa DPR dipimpin oleh seorang narapidana, ini kan tidak baik,"
katanya. Ia juga menyarankan agar DPR segera membentuk Dewan Kehormatan
sesuai mekanisme yang ada untuk memproses kasus Akbar Tandjung tersebut.
Senada dengan itu, di tempat yang sama Sutjipto mengatakan meski Akbar
telah mengambil sikap naik banding, namun sebelum ada keputusan banding
itu maka keputusan sementaranya adalah vonis tiga tahun yang dijatuhkan
PN Jakpus.
"Kalau pemahaman saya, mestinya yang dilihat adalah vonis sementara ini
(tiga tahun). Kecuali kalau nanti dianulir oleh keputusan bandingnya,"
katanya.

Karena itu, Sutjipto mengatakan, dirinya agak berbeda dengan pendapat
sebagian orang mengenai pengertian azas praduga tak bersalah yang
menganggap Akbar tidak bersalah sampai ada keputusan tetap pengadilan. 
"'Lha wong' sudah vonis hakim kok masih dianggap tidak bersalah. Kalau
sudah vonis hakim, menurut saya dianggap bersalah dulu, bahwa nanti
dianulir saat banding, itu soal lain," katanya.

AMIEN RAIS : TERGANTUNG HATI NURANI

Ketua MPR-RI Amien Rais mengatakan, mundur-tidaknya Akbar Tandjung dari
jabatan Ketua DPR-RI tergantung pada hati nurani anggota DPR, sikap
fraksi-fraksi, dan hati nurani Akbar Tandjung sendiri.
"Jawaban saya standar saja, itu tergantung hati nurani DPR, pak Akbar
sendiri dan tergantung nurani fraksi-fraksi," kata Amien setiba di
gedung MPR/DPR Jakarta, Kamis.

Menurut Amien, meskipun dirinya sebagai Ketua MPR, tetapi juga adalah
anggota DPR, hingga dirinya juga akan mengikuti sikap rekan-rekannya di
DPR, terutama fraksinya sendiri (Fraksi Reformasi).
Dalam persoalan ini, Amien mengatakan akan melihat situasi yang
berkembang, "Walaupun saya punya pendirian sendiri terhadap masalah itu,
tapi saya tidak akan ungkapkan, nanti dikira jumawa," katanya. Sementara
itu Ketua Fraksi Partai Bulan Bintang Ahmad Sumargono menyatakan, Akbar
Tandjung belum perlu mundur dari jabatan Ketua DPR, mengingat sistem
hukum di Indonesia masih memungkinkan untuk naik banding setelah vonis,
sampai ada keputusan yang bersifat tetap.
Namun ia memberikan catatan Mahkamah Agung harus segera mengambil
keputusan terhadap masalah ini agar tidak memberi peluang terjadinya
konflik yang berkepanjangan.
"Kepastian hukum harus cepat diputuskan, saya minta MA tidak
berkepanjangan menggantung masalah ini," ujarnya.
Sementara Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar mengatakan, ada dua cara
untuk menentukan mundur tidaknya Akbar Tandjung dari posisinya sebagai
Ketua DPR setelah dia divonis tiga tahun penjara dalam kasus
penyalahgunaan dana non bujeter Bulog.

"Dalam kasus ini bisa diselesaikan dengan dua cara, yakni lewat dewan
kehormatan atau para anggota DPR menggunakan haknya (untuk mengusulkan
penggantian Ketua DPR)," kata Muhaimin seusai menjadi saksi dalam kasus
gugatan pemecatan Matori dari posisi Ketua Umum PKB, di PN Jaksel,
Kamis. Muhaimin menjelaskan, sampai saat ini memang sudah banyak
pernyataan dari fraksi lain yang meminta Akbar mengundurkan diri, namun
hal itu masih menjadi pertanyaan.

"Apakah itu baru sebatas pernyataan pribadi semata, karena secara resmi
fraksi-fraksi memang belum ada," katanya.

PK Minta Akbar Nonaktif

Partai Keadilan (PK) menilai, desakan agar Akbar Tandjung mengundurkan
diri sebagai Ketua DPR sulit terwujud. Karena itu, PK meminta Akbar
untuk menonaktifkan dirinya sebagai pimpinan lembaga tinggi negara itu.
"PK hanya meminta agar Akbar  menonaktifkan diri dari seluruh
aktifitasnya di DPR. Dengan demikian, Akbar tidak membebani DPR dengan
citra terpidana dan DPR tetap bisa tampil sebagai lembaga negara yang
berwibawa," kata Presiden PK Hidayat Nurwahid kepada wartawan di
sela-sela acara workshop yang digelar PK di Graha Niaga, Jl. Sudirman,
Jakarta, Kamis (5/9).

Dengan menonaktifkan diri, lanjut Hidayat, Akbar nantinya akan punya
waktu lebih banyak untuk menyiapkan diri dalam memenangkan peradilannya.
"Saya kira ini menjadi hal yang sangat penting. Sebab sudah menjadi
opini di tengah masyarakat, jika Akbar tetap menjadi anggota DPR, maka
citra negatif akan melekat di DPR. Dan itu akan menjadikan DPR tidak
kondusif bagi Golkar sendiri maupun Akbar Tandjung," ungkapnya.

Terlepas dari ada dan tidaknya kepentingan politik terhadap putusan
Akbar, PK menilai, masalah penegakan hukum merupakan sesuatu yang tidak
bisa ditangguhkan. Karena itu, PK mengkritisi masalah ini hingga masalah
terakhir.

Tak Perlu Tunggu Hasil Banding

Soetardjo Soejogoeritno juga berpendapat untuk membentuk Dewan
Kehormatan yang akan membahas status Ketua DPR Akbar Tandjung tidak
perlu menunggu hasil bandingnya. Vonis Pengadilan Negeri (PN) Jakarta
Pusat yang mengganjar 3 tahun penjara pada Akbar sudah cukup kuat untuk
membentuk Dewan Kehormatan.
"Untuk membentuk Dewan Kehormatan harus ada usulan dari anggota atau
fraksi. Namun masalahnya, kalau telah vonis apa itu belum cukup
dibentuk? Apakah harus menunggu banding, kasasi dan PK lagi?" protes
Soetardjo Sementara anggota FPBB, Hamdan Zoelva setuju dibentuk Dewan
Kehormatan untuk membahas etis tidaknya Akbar yang sudah divonis PN
masih menjabat Ketua DPR.
Dia berpendapat Dewan Kehormatan lebih baik membicarakan subtansi
daripada formal hukum kasus Akbar Tandjung.

Bila berdasarkan formal hukum, Akbar belum bisa dinyatakan bersalah
sebab dia tengah banding. "Orang dinyatakan bersalah jika ada kekuatan
hukum tetap, jadi kalau putusan Pengadilan Negeri (PN) dilakukan banding
atau kasasi itu berarti dia belum bersalah," kata Hamdan. 

Dari segi subtansi, adanya vonis PN sebenarnya alasan untuk membentuk
Dewan Kehormatan sudah cukup kuat. Dari sudut subtansi, kata Hamdan,
Akbar telah melanggar kode etik. "Kita lebih baik membentuk dewan
kehormatan untuk membicarakan subtansi bukan formal hukum. Dan ini bisa
menjadi preseden yang baik untuk masa yang akan datang," demikian
Hamdan.

Akbar Tetap di DPR, DK Tidak Relevan

Ketua DPR RI Akbar Tandjung Kamis sekitar pukul 11:35 WIB, kembali
melaksanakan tugasnya sebagai Ketua DPR.
"Saya akan terus melaksanakan tugas-tugas saya, baik sebagai Ketua DPR
maupun sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar," katanya di Gedung DPR/MPR
Senayan.
Sedangkan menanggapi pertanyaan mengenai citra DPR yang kini dipimpin
oleh orang yang divonis tiga tahun penjara oleh pengadilan, Akbar
mengatakan, hal itu kembali harus dijelaskan bahwa dirinya belum
bersalah sampai ada keputusan final  pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap. Soal usulan pembentukan Dewan Kehormatan (DK) untuk mengkaji
posisinya selaku Ketua DPR, Akbar menilai hal itu tidak relevan.
Alasannya, DK tidak berkaitan dengan kasus yang dihadapinya.

Menurut Akbar, yang ditemui wartawan di gedung DPR/MPR, Senayan,
Jakarta, Kamis (5/9), pembentukan DK menyangkut kinerja seorang anggota
DPR. "Saya berpendapat itu tidak berkaitan dengan kasus yang saya
hadapi," kata Akbar yakin. Tentang alasan pembentukan DK karena sudah
ada putusan PN Jakarta Pusat kemarin, mantan Mensesneg tersebut
menegaskan bahwa dirinya sudah mengajukan banding. "Itu terserah
anggota. Cuma apa relevan pembentukan DK dikaitkan dengan kasus saya?
Pertanyaan saya itu saja," singgung Akbar.
"Saya katakan keputusan itu belum final karena saya mengajukan banding.
Kita harus menghormati dong dan saya minta diperlakukan sebagai orng
yang tidak bersalah," tambah pria bernama lengkap Djanji Akbar
Zaharuddin Tandjung tersebut.

Akbar menjelaskan, sebelum ada keputusan hukum yang berlaku tetap,
dirinya akan tetap bertugas sebagai Ketua DPR. "Saya akan tetap
melaksanakan tugas saya karena saya naik banding sehingga keputusan
kemarin itu belum final," tegas ketua umum DPP Partai Golkar tersebut.
Lebih lanjut, Akbar mengaku, tim penasihat hukumnya kini sedang
mempersiapkan alasan-alasan hukum untuk diajukan dalam memori banding.
"Kami juga sedang berusaha mendapatkan vonis resminya dari pengadilan
dan sedang dipelajari oleh lawyer saya," demikian Akbar.

Divonis Tiga Tahun, Akbar Mengaku Tak Ada Mimpi

Akbar Tanjung, mengaku tidak ada mimpi atau petunjuk pada malam sebelum
menghadapi sidang pembacaan vonis. Dirinya merasa akan dijatuhi hukuman
ketika sidang diskors pada pukul 17.00 Wib.
"Saya tidak ada mimpi tentang vonis. Yang jelas memang saya kurang
tidur," ujar Akbar kepada wartawan di kediamannya Jl Widya Chandra III,
Rabu (4/9) malam.

Ia menjelaskan firasat akan dihukum tersebut sempat dilontarkan kepada
anggota penasihat hukum ketika diskors untuk sholat asar itu. "Mereka
juga mengatakan mungkin. Sebab itu bisa dilihat dari diktum yang
dibacakan hakim,"  katanya.

Selanjutnya, ketua umum Partai Golkar ini menambahkan dirinya tidak
menyangka putusan dari hakim seperti itu. "Saya kaget dengar keputusan
itu meski sebenarnya saya siap menghadapi apapun juga. Putusan itu sama
sekali tidak diduga. Vonis itu tidak diramal," ucapnya.
Ketika ditanya apakah tidak takut vonis ini akan menjadi senjata lawan
politiknya, ketua DPR ini mengatakan siap menghadapi masalah tersebut.
"Kita lihat saja nanti," demikian Akbar.

VONIS AKBAR Terlalu berat

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisaksi Jakarta Prof Dr Andi Hamzah
berpendapat, vonis tiga tahun penjara untuk Akbar Tandjung terlalu berat
mengingat Akbar sebenarnya hanya melanggar hukum administrasi dan bukan
melanggar tindak pidana korupsi.
"Penjara tiga hari saja bagi orang yang sebenarnya tidak berslah
sangatlah berat, apalagi tiga tahun. Itu lama sekali," kata dalam
diskusi "Tinjauan Vonis terhadap Akbar Tandjung" di Jakarta, Kamis.
Andi Hamzah mengatakan, seharusnya apa yang diputuskan majelis hakim
dalam memutus perkara adalah sesuai surat dakwaan jaksa. Jangan sampai
memutus perkara di luar yang didakwakan jaksa. 
"Mau divonis berapapun sebenarnya tidak masalah, asalkan sesuai aturan
main," katanya.

Dalam surat dakwaan ketiga terdakwa, yaitu Akbar Tandjung, Dadang
Sukandar dan Winfred Simatupang didakwa memperkaya diri dan orang lain,
namun hakim dalam putusannya menyatakan, ketiganya tidak memperkaya diri
dan orang lain.
Pada disi lain, hakim justru menyatakan ketiganya terbukti melakukan
tindak pidana. Karena itu, ada semacam keraguan pada hakim karena
terdakwa dianggap melanggar tindak pidana korupsi, namun tidak terbukti
memperkaya diri.
Andi Hamzah yang juga penasihat Jaksa Agung Baharuddin Lopa juga
berpendapat, vonis hakim itu terbalik. "Mengapa Akbar Tandjung yang
Mensesneg ketika itu hanya sebagai perantara justru dihukum tiga tahun,
sementara pelaksananya, yaitu Dadang dan Winfred yang melaksanakan
proyek itu hanya 1,5 tahun," katanya.
Ia mengatakan, tugas Akbar Tandjung dalam proyek itu adalah sebatas
urusan administrasi. Namun justru hukum terberat diterima Akbar
dibanding Winfred dan Dadang.

"Sebaiknya hakim jangan menghukum orang di luar kesalahannya. Kalau itu
terjadi, itu namanya mendzalimi," katanya.
Ketika ditanya peserta diskusi tentang vonis hakim yang kemungkinan
didasarkan pada kebohongan publik, Andi Hamzah menyatakan kebohongan
tidak masuk dalam surat dakwaan. Kalau pun ada, maka sebuah kebohongan
tidak bisa diadili secara pidana.

"Kebohongan memang suatu tindakan yang buruk, namun tidak termasuk tidak
pidana. Sulit menerapkan pasal KUHP untuk suatu kebohongan," katanya.
Ia juga menyatakan menghukum orang harus berdasarkan ketentuan UU dan
jangan menghukum dengan hukum rimba. "Saya tidak pernah menyatakan bahwa
Akbar Tandjung tidak bersalah. Akbar bersalah, tetapi dari segi hukum
administrasi," katanya.

Ia mengatakan posisi akbar Tandjung dalam kasus itu bukan sebagai
pelaksana. Winfred dan orang di luar apa yang ia perbuat," katanya. 
Mengenai adanya tekanan agar Akbar mundur dari jabatannya sebagai Ketua
DPR, Nasrullah berpendapat hal itu adalah persoalan politik. "Pasal 8 UU
tentang Kehakiman menyebutkan seseorang tidak bisa dianggap bersalah
sebelum ada keputusan hukum tetap. Sampai sekarang Akbar masih terdakwa
sampai ada keputusan kasasi dari MA," katanya. Berdasarkan pasal-pasal
hukum, Akbar Tandjung juga masih bisa mengikuti Pemilu sampai ada
keputusan hukum tetap. (Ant/Dtc/Snc)

-------------------------------------------------------------
Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/
Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national
Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html
Nasional-m: http://redhat.polarhome.com/pipermail/nasional-m/
Nasional-a: http://redhat.polarhome.com/pipermail/nasional-a/
Nasional-f:http://redhat.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-f
------------------Mailing List Nasional----------------------