[Karawang] [Fwd: [Nasional] SELAMATKAN DAN KEMBANGKAN PROSES REFORMASI DIATAS REL
DEMOKRASI DANKONSTITUSI]
karawang@polarhome.com
karawang@polarhome.com
Sun Feb 9 07:00:42 2003
-------- Original Message --------
Betreff: [Nasional] SELAMATKAN DAN KEMBANGKAN PROSES REFORMASI DIATAS REL
DEMOKRASI DANKONSTITUSI
Datum: Sat, 08 Feb 2003 19:29:08 +0100
Von: akang <garuda9876@yahoo.com>
Rückantwort: national@mail2.factsoft.de
An: nasional <national@mail2.factsoft.de>
-----------------------------------------------------------------------
Mailing List "NASIONAL"
Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap
Kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-----------------------------------------------------------------------
BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH
-----------------------------------------------------------------------
SELAMATKAN DAN KEMBANGKAN PROSES REFORMASI DIATAS REL DEMOKRASI DAN KONSTITUSI
Oleh :M.D.Kartaprawira *)
Kesulitan yang kita hadapi akibat pemerintahan rezim Soeharto besar sekali,
sehinggaperjuangan reformasi yang kita lakukan tidaklah mudah mencapai sukses
sebagai yang kita idealkan. Apalagi sejak semula perjuangan reformasi
sudahterkena batu sandungan, yang mempersulit gerakannya. Meskipun demikian,
percikan nilai-nilai demokrasi masih nampak di berbagai bidang kehidupan
bermasyarakat dan bernegara: kebebasan berpendapat, kebebasan pers, kehidupan
kepartaian dan lembaga-lembaga negara, dll.
Batu sandungan perjuangan reformasi tersebut ditengarai dengan pecahnya gerakan
mahasiswa/pemuda ketika melancarkan aksinya melawan kekuasaan rezim Soeharto di
MPR/DPR pada th. 1998. Di satu pihak menghendaki terus dituntaskannya perjuangan
melawan Orba, meskipun diktator Soeharto sudah lengser dari tahtanya. Di pihak
lainnya menghendaki dihentikannya gerakan mahasiswa/pemuda tersebut, sebab telah
terbentuk pemerintahan Habibie yang dijajakan sebagai pembawa aspirasi muslim
(untuk mempertentangkan dengan Soeharto yang dianggap sebagai muslim abangan),
yang akan menyelamatkan Negara dan bangsa dari kehancuran. Inilah, menurut hemat
saya, kesalahan mendasar gerakan reformasi, yang terpenggal dengan ilusi
pendukungan rezim Habibie. Pemerintahan Habibie, apapun agama yang disandang
tidak mungkin melaksanakan cita-cita reformasi, sebab pemerintahan tersebut
merupakan rezim neo-orba, yang nota bene adalah rezim orba minus Soeharto, yang
kekuatannya masih tetap utuh di mana-mana dengan sumber daya-manusia dan sumber
daya-logistik yang kuat (juga sampai sekarangini).
Dewasa ini agaknya telah terjadipembalikan pandang yang sengaja direkayasa oleh
kelompok-kelompok tertentu. Sehingga pemerintahan di bawah pimpinan Presiden
Megawati mereka jadikan sasaran serangan frontal, yang mereka pandang sebagai
sumber segala macam kesulitan di Indonesia. Mereka mengincar semua
langkah-langkah pemerintahan Mega-Hamzah agar bisadijadikan penyulut ketidak
puasan rakyat dengan maksud untuk menjatuhkan nama pemerintahan Mega-Hamzah, dan
tokoh Megawati sendiri. Pepatah Jawa mengatakan “Entek amek” (Habis, mencari)
artinya kalau sudah tidak ada lagi hal-hal yang bisa dijelek-jelekkan, dicari
alasan apa saja yang bisa dipakai untuk menjelek-jelekkan lawannya. Paradigma
demikianlah yang kini sedang dianut oleh lawan-lawan politik Pemerintah
Megawati, PDI Perjuangan dan Megawati sendiri, demi kepentingan politik mereka.
Memang harus diakui, bahwa pemerintahan Megawati tidak banyak memperbaiki
keadaan krisis di Indonesia. Tapi seharusnya memaklumi bahwa pemerintahan
Megawati adalah “pemerintahan cuci piring” setelah pesta ria
pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Utang luar negeri yang menggunung, yang
sukar dibayangkan sampai generasi ke berapa bisa dilunasi,kekayaan alam yang
ludes karena dijual kepada asing, kas negara yang kosong karena dijarah oleh
penguasa orba, BLBI yang diciptakan oleh orba untuk menyelamatkan konglomerat,
budaya KKN yang sudah mengakar di dalam kehidupan masyarakat terutama di
lembaga-lembaga negara, timbulnya masalah disintegrasi, kerusuhan etnis dan
suku-bangsa yang merupakan akibat kekuasaan orba dan masih banyak lagi
kotoran-kotoran yang harus dibersihkan. Secara singkat: siapa saja pemerintahnya
tidak akan bisa menanggulangi akibat musibah tersebut di atas secara cepat.
Menyadari hal tersebut di atas tidak berarti kita harus menimpakan segala
kegagalan perjuangan dalam era reformasi selalu dan terus menerus kepadaOrde
Baru, yang dosanya terhadap rakyat dan negara memang besar sekali. Sebab dalam
proses melaksanakan reformasi, melaksanakan pembenahan negara dan bangsa, kita
pun tidak luput dari kegagalan dan kekurangan yang mungkin bahkan menambah
kesulitan rakyat yang sudah sulit. Tapi kitapun seharusnya berkepala dingin
meskipun hati mendidih supaya bisa menilai kenyataan secara proporsional dan
obyektif, sehingga tidak menumpahkan segala kesalahan hanyalah kepada pemerintah
Mega-Hamzah saja. Apalagi, seperti telah dikatakan di atas, pemerintah
Mega-Hamzah sesungguhnya adalah “pemerintahan cuci piring” sehabis pesta ria
dari pemerintah-pemerintah pendahulunya, yangtidak mudah dibersihkan oleh siapa
saja pemerintahnya.
Memang harus diakui adanya ketidak tepatan kebijakan pemerintah dalam menetapkan
mana yang harus lebih diprioritaskan. Menurut pendapat penulis, sesungguhnya
masalah BLBI inilah yang harus dinomor satukan penyelesaiannya. Sebab dalam
kenyataannya dengan diciptakannya BLBI (oleh Soeharto!) pemerintah telah
memberikan ’subsidi’ kepada konglomerat-nakal dalam jumlah yang luar biasa
besarnya, dibanding dengan subsudi untuk BBM, TDL dan Telepon. (Lihat: Elly
Burhaini Faizal “Release and Discharge. Asal Bayar, Bebas Pidana dan Perdata”,
SUARA PEMBARUAN, edisiKamis, 6/2/2003 )
Jadi pencabutan “subsidi” BLBI inilah yang seharusnya diprioritaskan
penyelesaiannya.
Dalam kaitan masalah keputusan R&D tampak ketidak-tepatan kebijakan pemerintah,
yang bisa menyinggung rasa keadilan dan merusak sistem hukum di Indonesia.
Penerapan R&D seharusnya hanya pada bidang perdata saja. Pemerintah tidakpunya
wewenang untuk menerapkan R&D di bidang pidana. Dus, kalau ternyata ada bukti
bahwa yang bersangkutan melanggar norma hukum pidana (mis. KKN) yang
bersangkutan harus dihadapkan kemuka pengadilan pidana. Pemerintah tidak bisa
bermurah hati membebaskan mereka dari tuntutan pidana, sebab bukan merupakan
delik aduan.
Prinsip hukum pidana tersebut dengan tegas secara tekstual diterapkan dalam
Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa pengembalian kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan delik bersangkutan.
Jadi jaksa harus tetap melimpahkan tersangka debitur BPPN ke pengadilan,
walaupun sudah mendapatkan R&D dari BPPN. Hal itu diperkuat dengan UU Kejaksaan
Nomor 5 Tahun 1991 di mana presiden tidak dapat memberi perintah Kejaksaan untuk
membebaskan seseorang yang terdapat cukup bukti untuk diduga melakukan tindak
pidana korupsi. Baru setelah ada vonis hakim pidana barulah Presiden bisa
memberikan kemurahan hati (pembebasan) yang berwujud grasi atau amnesti sesuai
pasal14 ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945.
Kita tidak boleh mengulangi praktek-praktek jaman rezim Soeharto, di mana
menteri-menteri yang terindikasi dan jelas melakukan korupsi (tindak pidana),
dibebaskan oleh presiden Soeharto dengan alasan kesalahan administrasi yang
sudah diselesaikan oleh presiden.
Maka seyogyanya Inpres No.8 Tahun 2002 tentang Release and Dischaarge (R&D)
ditinjau kembali, sebagaimana peninjauan kembali terhadap masalah BBM, TLD dan
Telepon.
Tapi sebaliknya status “Pencuci piring” di atas tidak dapat selalu dijadikan
alat pembenaran dan alat berlindung dari ketidaktepatan/kesalahan
kebijakan-kebijakan tertentu pemerintahan sekarang ini. Semuanya harus dilihat
secara obyektif dan proporsional. Misalnya, masalah pencabutan subsidi dan
kenaikan harga BBM, TDL dan Telepon, BLBI, R&D dan sebagainya. Agaknya situasi
demikian itulah yang lama ditunggu-tunggu oleh lawan-lawan politik
Megawati/PDIP. Tidak mengherankan kalau ada kalangan yang mempertanyakan mengapa
pemerintah sampai kecolongan dengan kebijakan yang tidak tepat demikian. Apakah
adamusuh dalam selimut di dalam pemerintahan Mega-Hamzah? Lepas dari itu,
agaknya ada skenario kotor dari kelompok KN (Kebelet Naikkuasa) yang tak
segan-segan menggunakan dan menunggangimasalah kenaikan BBM, TDL dan Telepon
tersebut untuk kepentingan politiknya.
Menyinggung masih maraknya aksi-aksi demonstrasi saat ini, sesungguhnya
aksi-aksi demonstrasi yang menentangkebijakan pemerintah tsb. adalah wajar saja
selama dilakukan di atas rel demokrasi dan sesuai konstitusi. Di samping itu
pemerintah pun tampak responsive atas tuntutan rakyat agar mengubah kebijakan
semula. Tapi tuntutan pendemo telah jauh melenceng dari masalah BBM, TLD dan
Listrik menuju kepada gerakan inkonstitusional. Mereka menyerukan penggulingan
Pemerintahan Mega-Hamzah, menyebarkan isu revolusi sosial, pembentukan
“presidium” yang dicanangkan akan mengganti pemerintahan sekarang ini.
Adalah suatu keberhasilan reformasi bahwa dewasa ini semua penyelenggara negara
(eksekutif, legislatif dan yudikatif) dapat diawasi dan dikontrol langsungoleh
rakyat, yang pada zaman era Soeharto tidak mungkin terjadi.Kebijakan-kebijakan
pemerintah yang dirasakan, atau dianggap bertentangan atau merugikan kepentingan
rakyat, bisadikritisi, diprotes, bahkan kalau perlu didemonstrasi dsb. Tapikita
tidak boleh menghancurkan hasil-hasil positif proses reformasi yang tercermin
dari nilai-nilai demokrasi dan konstitusi yang kini berjalan. Dalam hubungan ini
ada beberapa masalah yang perlu mendapat perhatian.
Pertama, adalah disayangkan seruan-seruan untuk menggulingkan Pemerintahan
Mega-Hamzah. Hal itu tidak saja menunjukkan bahwa tidak memahami bahwa kita
hidup bernegara dan berbangsa dengan dasar konstitusi, tapi telah menjurus
kepada menempuh cara-cara kekerasan dan anarkhis. Apakah tidak terpikirkan,
siapakah yang akan mengganti setelah Pemerintahan Mega-Hamzah jatuh? Membentuk
Pemerintahan Rakyat? Apa ini bukan omong kosong? Apakah tidak dimengerti oleh
kelompok-kelompok “revolusioner” bahwa presiden/pemerintah bisa jatuh hanya
sesuai ketentuan yang tercantum dalamkonstitusi?
Agaknya “ politisi” Indonesia dewasa ini sudah kehilangan pegangan bagaimana
melakukan perjuangan untuk reformasi dalam atmosfer demokrasi dan
konstitusional.
Atau mungkin sudah sengaja meninggalkannya, yang penting bertujuan menjatuhkan
pemerintahan Mega-Hamzah, nama Megawati dan PDI Perjuangan.
Tantangan Mega untuk beradu di pemilu pun diartikan sebagai tindakan jelek yang
kata mereka “Mega tidak mawas diri, hanya mengandalkan kekuatannya”( Ini juga
termasuk dalam “Entek amek”!). Padahal seharusnya tantangan Mega diartikan
sebagai ajakan berkompetisi melaksanakan proses demokrasi dalammemperjuangkan
aspirasi rakyat untuk menegakkan/melaksanakan reformasi di atas rel
konstitusional. Bukan anarkhisan, dengan unjuk kekuatan dan unjuktenggorokan,
apalagi dengan cara-cara menunggangi situasi kesulitan rakyat.Sejak semula PDIP
telah mencanangkan perjuangannya melalui jalur hukum, bukan jalur kekuatan. Jadi
bukan barang baru apa yang diserukan oleh Megawati tersebut.
Kita sudah mempunyai konstitusi (UUD 45 yang telah diamandemen), yang mana
setiap politisi dan mereka yang menamakan diri golongan intelektual/mahasiswa
seharusnya mengetahui bahwa pemerintahan presidensial Mega-Hamzah tidak dapat
digulingkan, selain berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam UUD
45. Tapi toh mereka terus berteriak “Gulingkan Pemerintahan Mega-Hamzah”. Apakah
tidak menyadari bahwa tindakan mereka adalah inkonstitusional? Menunggangi
rakyat (yang dalam keadaan sulit) untuk menimbulkan kerusuhan dan instabilitas
politik di dalam negara. Berilah pemerintah kesempatan untuk melaksanakan
tugasnya, berilah kritik dan pengawasan terhadap kebijakannya berdasarkan aturan
main yang konstitusional. Dan akhirnya, berilah penilaian atau putusan/vonis
kepadanya dalam pemilu yang akan datang. Inilah aturan main yang demokratis dan
konstitusional yang berlaku di negara-negara demokrasi. Dan yang juga sangat
penting, berilah rakyat kesempatan atau bahkan kita sendiri untuk “belajar
berdemokrasi”.
Sungguh sangat tidak masuk akal seruan penggulingan Pemerintah Mega-Hamzah.
Seandainya pemerintah Mega-Hamzah ini terguling, siapakah yang akan
menggantikannya? Padahal sebagian besar parpol-parpol tidak menghendaki
dijatuhkannya pemerintahan saat ini. Apalagi sebentar lagi akan ada pemilihan
umum untuk presiden dan anggota DPR/DPD. Apakah mereka yang berteriak-teriak
tersebut sudah percaya diri akan bisa menjadi penggantinya? Tentu saja jauh
tidak mungkin, kalau kita mau melihat peta politik di Indonesia dewasa ini. Jadi
maunya apa? Hanya sekedar membikin situasi tambah resah di dalam masyarakat yang
sedang ketimpa kesulitan?
Kedua, dikoar-koarkannya isu revolusi oleh sementara oknum atau kelompok adalah
tindakan yang tidak bertanggung jawab. Langsung atau tidak langsung mereka itu
ingin membakar rakyat untuk melakukan kerusuhan.Sungguh suatu tindakan sangat
tercela. Bukankah kalau sudah ada kerusuhan nasional mesti ada “golongan kuat”
yang akan bertindak sebagai “penyelamat” negara dan bangsa? Nah di sinilah kita
harus waspada siapa yang berkoar-koar tersebut. Kalau ada oknum/kelompok
revolusioner merasa sok tahu revolusi, sesungguhnya mereka perlu belajar pada
Pemimpin-pemimpin Revolusi Dunia, yang masalahnya tidak semudah mengumbar
suara.
Keadaan tanah air yang sudah begitu sulit kini terus dipersulit dengan ulah
sekelompok pseudo-revolusioner sok pembela rakyat yang agaknya tak malu-malu
berkoalisi dengan kekuatan orba yang ingin revance dengan tujuan menjatuhkan
pemerintahan Mega-Hamzah.Ibaratnya rumput kering di musim kemarau, apabila
disulut dengan api apa saja wujudnya, maka akan terbakarlah. Demikian kira-kira
gambaran rakyat Indonesia yang menderita kesulitanyang selalu disulut untuk
meramaikan gerakan mereka.
Pengalaman gerakan mahasiswa/pemuda tahun 1998 di gedung MPR/DPR janganlah
dijadikan ukuran, tanpa melihat faktor-faktor lainnya. Jangan dikira bahwa
kekuatan rezim Soeharto pada waktu itu sudah lenyap. Sama sekali tidak. Mereka
hanya melakukan taktik licik dengan menggunakan Habibie yang berbaju reformasi
sebagai pelanjutnya dengan teriakan-teriakan reformasi, tapi di dalamnya tetap
tidak berubah.
Jangan dikira rezim orba pada tahun 1998 tidak bisa membuat “peristiwa Tian An
Mien” di Jakarta. Persoalannya jelas mengapa rezim orba lengser, sebab sudah
tidak mendapat dukungan lagi dari Amerika Serikat dan negara-negara barat
lainnya, yang sudah bosan melihat tingkah Soeharto yang otoritarian dan KKN.
Jadi gerakan mahasiswa bukan satu-satunya penyebab mengapa Soeharto lengser.
Kita akan sangat kerdillah kalau mengatakan gerakan mahasiswa yang disusul
dengan peristiwa pelengseran Soeharto tersebut sebagai revolusi.
Pemunculan isu revolusi sosial oleh kalangan tertentu juga menunjukkan
keputus-asaan akan cara-cara demokratik dan konstitusional untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan negara dan bangsa. Karena mereka tidak bisa dan tidak mampu
bertarung dalam arena demokrasi, dipakainya jalan pintas membakar rakyat untuk
“berevolusi” menumbangkan pemerintah yang ada: Pemerintah Mega-Hamzah. Mereka
telah salah memilih kacamatasehingga tampak pemerintah Mega-Hamzah sebagai musuh
nomor satu, yang harus digulingkan. Pada hal di samping lembaga eksekutif
/Presiden(pemerintah), masih ada lembaga-lembaga negara lainnya sebagai
penyelenggara kenegaraan di mana tetap penuh kekuataan orba seperti dulu.
Ketiga, digelindingkannya isu pembentukan Presidium sebagai pengganti
Pemerintahan Mega-Hamzah adalahjuga suatu cara sengaja untuk menimbulkan situasi
instabilitas politik di Indonesia. Jelas tindakan tersebut adalah
inkonstitusional. Agaknya lawan-lawan politik Megawati tersebut sudah nekad
melahirkan kerusuhan dengan segala cara dan bentuknya. Lepas siapa
tokoh-tokohnya yang tersangkutdalam isu masalah pembentukan presidium,
berdasarkan pengalaman sejarah (misalnya pada zaman Soekarno)bahwa
kelompok-kelompokyang itu-itu sajalah yang selalu mendalangi kerusuhan dengan
menunggangi gerakan mahasiswa.
Sesudah isu pembentukan Presidium digulirkan, menyusul diteriakkannya
penggulingan Pemerintahan Mega-Hamzah. Orangpun tidak tahu “binatang apa
gerangan” Presidium yang akan menggantikan Pemerintahan Mega-Hamzah. Rakyat
terus menerus digiring kepada pemikiran-pemikiran dan tindakan-tindakan yang
inkonstitusional, bertentangan dengan UUD. Kapan kita mulai belajar
berdemokrasi, kalau konstitusi dan demokrasi terus menerus dilanggar? Mengapa
gagasan pembentukan “Presidium” tidak mereka perjuangkan (setidak-tidaknya
dilontarkan) di MPR ketika proses amandemen berjalan? Tentu menunggu momentum
yang dapat ditunggangi!
Sudah tersebar kabar angin baik di media massa maupun media internet bahwa di
belakang gerakan-gerakan demo menentang Pemerintah tersebut berdiri Wiranto
(jenderal kader Soeharto), Fuad Bawazir (mantan menteri Keuangan rezim
Soeharto), Adi Sasono (ketua ICMI dan mantan menteri rezim neo-orba Habibie)dan
Eros Jarot (bekas tokoh PDIP, yang nyempal). Tapi mereka satu persatu
mengingkari keterlibatannya dalam demo-demo tersebut. Lepas apakah mereka
jugaterkait dengan isu pembentukan Presidium atau tidak, tapi jelas lembaga
Presidium tersebut tidak dikenal di dalam UUD 1945, baik sebelum atau sesudah di
amandemen. Dus pembentukan Presidium merupakan tindakan yang inkonstitusional,
sebagai jalan pintas untuk mencapai kekuasaan dengan menghindari aturan main
yang telah ditentukan dalam UUD 1945. Apakah itu termasuk makar atau bukan,
biarlah hal tersebut menjadi obyek kajian bagi para peneliti dan pakar hukum.
Yang sangat ajaib dalam era reformasi kini isu Presidium tersebutdidukung oleh
unsur-unsur kelompok ekstrem kanan, ekstrem kiri, kekuatan orba legal dan
illegal, dan kelompok sakit-hati/iri-hati, sehingga merupakan suatu koktail yang
aneh “ingredient”nya dan sangat mencurigakan kelezatannya. Tunggu saja tanggal
mainnya siapa yang berani minum pertama kali.
Gerakan kaum nasionalis di Indonesia dewasa ini tampak menghadapi rival yang
cukup memerlukan perhatian yang serius, sebab mereka telah menggunakan
modus-modus yang bertentangan dengan nilai demokrasi dan konstitusi. Tapi yang
sangat disayangkan kubu nasionalis sendiri telah mengalami keretakan dan
sebagian menghanyutkan diri ke dalam gerakan inkostitusional dalam melawan
Pemerintah Megawati, PDIP dan Megawati sendiri. Sangat disayangkanbahwa di
antara kita yang konsekuen pada Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan kerukunan dalam
kehidupan beragama, antar suku dan etnik tidak cermat melihat peta politik
Indonesia dewasa ini, sehingga salah memilih siapa kawan siapa lawan. Juga
sangat disayangkan sekali mereka gagal melihat prioritas dan menentukan sasaran
pokok perjuangan kaum nasionalis dewasa ini. Bisa dipertanyakan, betulkah
pemerintahan Megawati ini sudah sejelek pemerintahan Soeharto, yang antara lain
telah melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM besar (misalnya seperti pembunuhan
massal 1965-1966, penjeblosan ribuan orang tanpa proses hukum di pulau Buru,
Cilacap dan lain-lainnya), menjadikan Indonesia negara miskin karena hutangnya
menggunung?
Tanpa mengingkari kekurangan-kekurangan pemerintah Mega-Hamzah, sekali lagi kita
perlu menyadari:
- bahwa pemerintah Mega-Hamzah adalah “pemerintahan cuci piring” setelah pesta
ria pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, kotorannya tidak mudah dibersihkan
dengan cepat olehpemerintah Mega-Hamzah dan siapapun yang memerintah kemudian;
- bahwa pemerintah dibawah pimpinan Presiden Megawati (yang juga adalah Ketua
Umum DPP PDI Perjuangan) adalah merupakan benteng penegakkan Pancasila, NKRI,
UUD 1945 yang tak tergoyahkan;
- bahwa seruan-seruan untuk menggulingkan Pemerintah Mega-Hamzah, revolusi
sosial dan pembentukan Presidium adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab
yang bisa menimbulkan instabilitas bangsa dan negara;
- bahwa seruan-seruan tersebut tidak saja inkonstitusional, tapi juga tidak
memberikan pendidikan kepada rakyat untuk hidup bermasyarakat dan bernegara yang
demokratik dan konstitusional.
Maka mereka yang konsekuen akan Pancasila, NKRI, UUD 1945 dankerukunan
masyarakat pluralis dalam agama, suku, etnik, bahasa, dan budaya di dalam
mengontrol dan mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah hendaknya tidak
terperosok kepada tindakan-tindakan bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi
dan konstitusi yang akan berakibat timbulnyaanarkhisme yang akan mengacaukan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebaliknya kita harus lebih waspada dan
bersatu menghadapi situasi sulit dan kompleks dewasa ini. Perlu dicamkan
instruksi Megawati yang menghimbau agar kader PDIP tidak terprovokasi oleh
penyebaran informasi, isu dan tindakan yang dilakukan oleh orang-orang tidak
bertanggung jawab untuk merusak situasi sosial politik negara. Marilah kita
curahkan tenaga kita untuk menyelamatkandan mengembangkan proses reformasi agar
berjalan di atas rel demokrasi dan konstitusi.
Nederland, 01 Februari 2003
*) Sekretaris Korwil PDIP Negeri Belanda
-------------------------------------------------------------
Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/
Anggota Nasional: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national
Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html
Nasional-m: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/
Nasional-a: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-a/
Nasional-e: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-e/
------------------Mailing List Nasional------------------