[Karawang] KARAWANG: Dampak Keterlambatan Tanam
karawang@polarhome.com
karawang@polarhome.com
Mon Feb 17 00:24:03 2003
-------- Original Message --------
Betreff: [Nasional] KARAWANG: Dampak Keterlambatan Tanam
Datum: Sun, 16 Feb 2003 21:52:35 +0100
Von: akang <garuda9876@yahoo.com>
Rückantwort: national@mail2.factsoft.de
An: nasional <national@mail2.factsoft.de>
-----------------------------------------------------------------------
Mailing List "NASIONAL"
Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap
Kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-----------------------------------------------------------------------
BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH
-----------------------------------------------------------------------
Dampak Keterlambatan Tanam
Petani Terjerat Utang
Karawang, Kompas - Keterlambatan tanam padi selama lebih dari dua bulan yang
terjadi di sejumlah desa di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, telah menguras
berbagai harta milik petani. Setelah gabah yang seharusnya digunakan untuk
stok benih maupun pangan habis, para petani terpaksa menjual harta benda,
seperti ayam, kambing, dan televisi, untuk kebutuhan makan. Mereka juga
sudah mencari pinjaman ke beberapa tetangganya.
Terkurasnya sumber pendanaan milik petani itu diperkirakan masih akan
berlanjut, karena hingga pekan lalu para petani di beberapa desa itu belum
bisa mulai menanam. Setelah kekeringan pada saat petani seharusnya mulai
menanam pada Desember lalu, mereka kini tertimpa banjir sehingga lahan yang
ada tidak bisa ditanami dalam waktu dekat.
"Bulan Desember lalu saya pinjam Rp 300.000 sama Pak Haji, soalnya enggak
punya uang lagi untuk beli beras. Bayarnya kembali nanti waktu panen," ujar
Taya (50), buruh tani di Desa Karya Bakti, Kecamatan Batujaya, Karawang,
Sabtu (15/2). Sudah dua bulan Taya menganggur karena tidak ada sawah yang
bisa ditanam dan dipanen.
Taya kini hanya hidup dengan mencari ikan di sawah yang tergenang air. Dalam
sehari bisa mendapat sembilan ekor ikan mujair dan ikan sepat yang biasa
dijual dengan harga Rp 2.000. Taya mengaku musim tanam tahun lalu ia tidak
perlu mengutang, karena begitu panen selesai bulan November, bulan
berikutnya sudah ada pekerjaan sebagai kuli tanam dengan upah Rp 20.000
sehari.
Uang pinjaman dari saudaranya itu sudah habis untuk makan. Ia juga sudah
menjual seekor kambing dari empat kambing miliknya yang didapat dengan cara
maro (memelihara, kemudian hasilnya dibagi dua dengan pemilik) untuk
menghidupi keluarganya yang terdiri dari istri dan empat anaknya. Minggu ini
ia berencana menjual satu ekor kambing lagi untuk biaya hidup.
Bila jadwal tanam tidak terlambat, Taya semestinya sudah bisa bekerja sejak
Desember sebagai kuli tanam. Akan tetapi karena waktu itu tidak ada air,
tidak ada pemilik sawah yang membutuhkan tenaganya hingga kemarin.
"Tahun-tahun sebelumnya, seperti sekarang ini sudah ada panen. Saya jadi
buruh panen di Rawamerta. Tetapi sekarang tidak ada panen," kata Taya.
Biasanya pada bulan Februari ia sudah pergi menuju desa-desa yang panen,
yang jaraknya lebih dari 20 kilometer.
Kenyataan yang dialami Taya itu juga terjadi pada petani lainnya, seperti
Jilet dan Tohir, di Desa Teluk Ambulu dan Toyong di Desa Karya Mulya. Petani
yang memiliki lahan cukup luas seperti Alim di Desa Karya Bakti pun sudah
kehabisan gabah yang digunakan untuk benih.
Jilet sudah tidak lagi memiliki gabah yang bisa digiling untuk makan sejak
Desember lalu. Padahal biasanya dia memiliki gabah yang cukup untuk makan
hingga musim panen berikutnya. Jilet sudah menjual habis tujuh ekor ayam dan
dua ekor kambing.
"Sebelum Lebaran Haji, saya jual seekor kambing dapet Rp 200.000 untuk biaya
tandur (tanam). Kemarin saya jual lagi untuk makan. Duit sudah habis," kata
Jilet yang ketika ditemui hanya memiliki uang Rp 30.000.
Ia tidak tahu setelah uang itu habis mau berusaha apa lagi. Laki-laki yang
menggarap sawah gadai seluas setengah hektar itu mengaku mendapat beras
untuk rakyat miskin (raskin) 10 kilogram. Namun, jumlah itu hanya cukup
untuk lima hari yang dikonsumsi bersama istri dan satu anaknya.
Jilet juga terpaksa ngemplang, tidak membayar uang sewa traktor yang sempat
digunakan Desember lalu saat ia coba memulai tanam. Namun, belum sempat
ditanami, tanah sudah keburu kering sehingga ditinggalkan begitu saja.
Ia kemudian mulai lagi menanam padi awal Februari ini. Untuk mengolah tanah
itu Jilet masih berutang Rp 125.000, sebagai biaya sewa traktor yang kedua
kalinya. Ia juga berutang pupuk kepada salah satu saudaranya.
"Nunggu ada yang ngajak jadi kuli tani. Kalau tidak ada, paling jual kambing
lagi," kata Jilet. Ia mengaku sampai sekarang belum mencari pinjaman, namun
kalau tidak ada jalan lain ia akan mencari pinjaman.
Penjualan harta benda miliknya dalam jumlah besar tidak pernah dilakukan
pada musim tanam sebelumnya, karena dengan hasil dari mengolah sawah
miliknya, Jilet mengaku masih bisa membiayai musim tanam berikutnya.
Bunga 25 persen
Aturan utang yang berlaku di tempat itu, pengutang terkena bunga sekitar 25
persen dan dibayar saat panen. Misalnya utang Rp 100.000 sebelum panen, pada
saat panen akan dibayar Rp 125.000 atau dibayar gabah dengan nilai yang
setara.
Sedangkan Tohir, petani yang memiliki sawah sendiri, mengaku setiap kali
panen biasanya dia masih bisa menyimpan gabah sebanyak 20 karung yang
digunakan untuk menghidupi keluarganya yang terdiri dari istri dan dua anak.
Dengan 20 karung gabah itu, ketika mulai tanam dia masih memiliki sekitar 14
karung yang bisa digunakan untuk biaya tanam dan untuk makan sampai menunggu
panen berikutnya.
Kini saat mulai tanam, dia hanya tinggal memiliki dua karung beras. Padahal
masa panen masih tiga bulan lagi. Selama masa tanam itu pun, ia harus
mengeluarkan biaya untuk pupuk dan pestisida serta biaya hidupnya.
Tohir mengatakan, kalau sampai kehabisan uang, para petani akan menjual apa
saja yang dimiliki termasuk televisi, bahkan sepeda motor. Mereka biasa
menjual barang-barang itu kepada penduduk setempat yang biasa bekerja di
kota besar. "Nanti kalau panen bisa dibeli lagi," katanya.
Alim, petani di Desa Karya Bakti yang memiliki sawah satu hektare, mengaku,
gabah yang biasanya digunakan untuk persediaan makan dan benih kini sudah
habis untuk makan semua. Untuk musim tanam mendatang, ia akan menjual itik
dan ayam miliknya untuk biaya tanam.
Sementara itu, Toyong, petani Desa Karya Mulya, menutupi kebutuhan hidupnya
dengan menjadi kuli di Jakarta. Ia mengaku saat sawah sudah selesai ditanami
padi, ia mulai berangkat ke Jakarta menjadi kuli bangunan.
"Kalau sawah sudah rapi, saya ke Jakarta. Mau di sini paling nganggur. Ke
Jakarta buat nutup makan sehari-hari," kata Toyong yang tinggal di rumah
keponakannya di Ciputat bila ia pergi ke Jakarta.
Sulit pinjam di bank
Para petani umumnya pasrah. Akan tetapi, mereka tidak mau meminjam uang di
bank ataupun menjual ijon. Mereka mengaku kesulitan untuk berhubungan dengan
bank.
"Pakai boreg (jaminan), periksanya lama," kata Tohir. Maksudnya, mereka
harus menyediakan jaminan. Bila jaminan sudah ada, petugas bank akan
memeriksa dan biasanya membutuhkan waktu yang lama sampai mendapat kredit.
Mereka juga tidak mau menjual dengan sistem ijon karena mereka sudah
mendengar dan mengerti akibatnya kalau terpaksa sampai mengijon. Mereka
memilih meminjam uang dari teman-teman atau tetangganya. (MAR/WAS)
-------------------------------------------------------------
Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/
Anggota Nasional: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national
Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html
Nasional-m: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/
Nasional-a: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-a/
Nasional-e: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-e/
------------------Mailing List Nasional------------------