[Karawang] [Fwd: [Nasional] ''Pembelaan'' dan Kritik Megawati]
karawang@polarhome.com
karawang@polarhome.com
Sat Jan 18 08:24:01 2003
-------- Original Message --------
Betreff: [Nasional] ''Pembelaan'' dan Kritik Megawati
Datum: Thu, 16 Jan 2003 00:15:44 +0100
Von: akang <garuda9876@yahoo.com>
Rückantwort: national@mail2.factsoft.de
An: nasional <national@mail2.factsoft.de>
-----------------------------------------------------------------------
Mailing List "NASIONAL"
Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap
Kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-----------------------------------------------------------------------
BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH
-----------------------------------------------------------------------
''Pembelaan'' dan Kritik Megawati
ADA dua pendapat menarik dari pidato Megawati Soekarnoputri saat menghadiri
ulang tahun ke-30 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) beberapa
waktu lalu. Yang pertama adalah ungkapannya yang mengatakan bahwa kenaikan
harga BBM, TDL dan tarif telepon merupakan pilihan yang harus dilakukan demi
membebaskan anak cucu kita dari kewajiban membayar utang luar negeri. Kedua
adalah kritiknya terhadap budaya ''mengemis'' (minta-minta) yang biasa
dilakukan oleh ''pihak'' daerah kepada pejabat pusat yang meminta diberikan
proyek pembangunan. Ungkapan penting yang ketiga sebenarnya juga ada ketika
Pemimpin Umum PDI-P tersebut minta agar dalam Pemilu 2004 nanti, rakyat
tidak memilih lagi anggota Dewan yang kerjanya cuma meminta duit saja tanpa
memperhatikan kinerjanya sebagai wakil rakyat. Tetapi, pendapat ketiga ini
barangkali merupakan ungkapan politis, yang tanggung jawab besarnya berada
pada partai itu sendiri dalam merekrut kader (calon anggota DPR) kelak.
''Pembelaan'' Megawati sebagai pemimpin pemerintahan yang menaikkan
harga-harga kebutuhan pokok itu, sepertinya mempunyai nilai logika yang
tinggi. Secara moral, satu generasi memang harus menuntaskan segala
urusannya sendiri tanpa menyisakan perkara kepada generasi berikutnya.
Generasi yang menyisakan perkara atau permasalahan kepada generasi
berikutnya, bisa dikatakan sebagai generasi konyol yang sangat tidak
mengerti dan memahami serta menghormati keturunan, anak cucu. Pemikiran ini
memang didasari atas landasan moral dan etika bahwa setiap manusia, atau
generasi, mempunyai persoalan sendiri-sendiri. Dengan demikian tidak
selayaknya jika persoalan itu dilempar kepada pihak lain.
''Pembelaan'' Megawati tersebut sangat identik dengan kasus Sipadan-Ligitan,
yang disengketakan Indonesia dengan Malaysia. Mengapa Indonesia setuju kasus
tersebut dibawa ke Mahkamah Internasional dan menerima segala keputusan yang
dikeluarkan? Dasar pemikirannya tidak lain adalah penghindaran perkara
tersebut kepada generasi mendatang. Jadi, meskipun kemudian Indonesia kalah,
tetap merasa menang karena generasi mendatang telah bebas dari perkara
dengan Malaysia.
Dalam ''pembelaan'' Megawati itu, memang harus ada pihak yang mengalah.
Pihak tersebut tidak lain adalah kita sendiri, generasi kita (terutama yang
lahir dan pada dekade lima puluhan, enam puluhan dan tujuh puluhan) yang
harus terbebani pajak tinggi dan harga-harga yang tinggi akibat naiknya
keperluan strategis itu. Generasi kitalah yang menerima kemiskinan bertambah
banyak itu. Utang luar negeri yang menumpuk lebih dari 100 milyar dolar AS
tersebut memang harus dibayar dalam keadaan bagaimana pun. Caranya, di
samping dengan meningkatkan pajak, adalah dengan menghapus segala subsidi
yang diberikan kepada barang-barang strategis. Jika upaya ini berhasil maka
generasi berikut, yakni anak-anak yang dilahirkan oleh generasi enam
puluhan, lima puluhan dan tujuh puluhan itu, akan terbebas dari pembayaran
utang-utang luar negeri. Logikanya, hidup mereka menjadi lebih fokus dan
lebih nyaman dari generasi sekarang.
Hanya, tetap ada kritik terhadap ''pembelaan'' Megawati itu. Bahwa tidak
selayaknya jika dalam satu kebijakan, kenaikan tersebut langsung mengena
pada tiga barang-barang/sektor-sektor paling strategis (telepon, listrik,
dan minyak). Pentahapan dari tiga sektor tersebut sangat dimungkinkan agar
tidak terlalu memberatkan rakyat dari segi pembayaran. Juga, tidaklah
populer jika menaikkan harga dan tarif tersebut pada bulan Januari. Di
samping seperti ''membajak'' rasa gembira rakyat menyambut tahun baru, juga
jika dibandingkan dengan pemerintahan lain, kebijakan menaikkan harga
tersebut, paling ideal adalah bulan April. Berikan dulu rakyat ''bernapas''
tiga bulan sebelum harga-harga naik.
***
Hal menarik kedua, yakni kritik Megawati terhadap kebiasaan minta-minta
proyek tersebut. Ini penting dikemukakan karena minta proyek itu sepertinya
telah merupakan budaya. Kalau diekstremkan bisa dikatakan sebagai budaya
''ngemis'' (minta-minta), yang tidak mengandalkan usaha. Hal demikian tidak
saja terjadi antara mereka dari struktur sosial rendah (maksudnya bawahan)
kepada mereka yang terstruktur lebih tinggi (seperti pejabat atasan,
misalnya) juga antara mereka yang secara materi lebih kurang mampu kepada
mereka yang lebih mampu. Jika ini dibiarkan terus, akan menjadi preseden
buruk bagi generasi berikutnya.
Budaya dan kebiasaan itu sebenarnya mempunyai dua sisi. Budaya bisa
merupakan cerminan dari lingkungan setempat. Di sini budaya itu merupakan
kristalisasi dari keadaan alam, geografi setempat. Orang Papua, misalnya,
mempunyai kebiasaan berburu karena alamnya memang menyediakan tempat seperti
itu dan karena tuntutan hidupnya memaksa mereka harus berburu agar bisa
eksis. Sebaliknya pada sisi yang lain, orang Aborigin di Australia tidak
akan bisa menandingi penduduk pendatang (bahkan yang dari Asia sekalipun),
karena suku asli Australia ini hidupnya suku bergerombol, statis, dan
sebagian besar menerima kehidupannya seperti itu.
Budaya meminta-minta, entah minta proyek, minta sumbangan, atau apa pun
namanya, juga bisa mencerminkan dua hal, yang keduanya bisa berkonotasi
negatif.
Pertama, budaya itu bisa saja merupakan kristalisasi dari keadaan lingkungan
yang miskin dan tidak mendukung atau ia bisa juga merupakan produk kebiasaan
dari seorang yang pemalas tanpa kreasi. Kedua, budaya tersebut akan
menghasilkan sikap malas dan tidak kreatif juga, apabila hal itu dibiarkan
terus hidup di tengah masyarakat.
Dalam konteks demikian, Megawati memang penting mengutarakan kritik terhadap
budaya minta-minta proyek tersebut. Sebab, jika budaya tersebut dibiarkan
terus akan bisa mengakibatkan munculnya generasi yang malas tanpa kreasi.
Padahal dalam zaman kesulitan seperti sekarang, yang paling dipentingkan itu
adalah sikap yang aktif dan kreatif, bukan meminta-minta. Hidup di zaman
modern mempunyai karakter khas, yakni kreatif dan inovatif tanpa
membeda-bedakan objek kreativitas.
Sayang sekali memang, untuk menyadarkan hal-hal sepele seperti itu,
masyarakat sepertinya harus menunggu kritikan dari seorang presiden, yang
kebetulan menjadi ketua umum partai politik pemegang kekuasaan. Padahal, di
tengah hiruk- pikuknya stasiun televisi, radio, koran dan sarana komunikasi,
mestinya ide-ide tentang kreativitas seperti itu, bisa dikutip dari sana.
* GPB Suka Arjawa (Bali Post, Kamis, 16 Januari 2003)
-------------------------------------------------------------
Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/
Anggota Nasional: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national
Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html
Nasional-m: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/
Nasional-a: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-a/
Nasional-e: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-e/
------------------Mailing List Nasional------------------