[Karawang] [Fwd: [Nasional] Korupsi dan Kemiskinan Rakyat]

karawang@polarhome.com karawang@polarhome.com
Fri Jan 24 02:12:02 2003


-------- Original Message --------
Betreff: [Nasional] Korupsi dan Kemiskinan Rakyat
Datum: Thu, 23 Jan 2003 23:45:01 +0100
Von: "Ambon" <sea@swipnet.se>
Rückantwort: national@mail2.factsoft.de
An: <Undisclosed-Recipient:@mailserv.factsoft.de;>

-----------------------------------------------------------------------
Mailing List "NASIONAL"
Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap
Kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-----------------------------------------------------------------------
BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH
-----------------------------------------------------------------------

Korupsi dan Kemiskinan Rakyat
Hendardi

udah umum berkembang anggapan bahwa korupsi di Indonesia merajalela. Dengan
anggapan ini sebetulnya banyak orang yang bisa dituduh atas kejahatan
korupsi. Tapi yang terjadi adalah sangat sedikit yang dapat di proses hukum
atas kejahatan korupsi tersebut.

Dengan mudah pula bisa ditelusur bahwa komitmen kerja pemerintah dan aparat
penegak hukum telah gagal memberantas korupsi. Keroposnya komitmen ini
pantas untuk diberi "angka merah" dalam rapor kerja pemerintah dan aparat
penegak hukum.

Tentu saja, korupsi yang merajalela itu tak hanya berdampak pada kehidupan
usaha, melainkan yang lebih menderita lagi adalah rakyat kecil. Perkembangan
ini tercermin dari keputusan menaikkan harga BBM, listrik dan telepon secara
serentak, yang segera memunculkan gelombang protes yang meluas.


Politik dan Korupsi

Birokrasi pemerintahan sekarang adalah warisan Orde Baru Soeharto baik
birokrasi sipil maupun militer. Salah satu faktor penyebab krisis ekonomi
yang membangkrutkan keuangan negara adalah penguapan dana Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI) yang mencapai Rp 144 triliun sehingga dengan pukulan
krisis moneter, kehancuran ekonomi tak dapat dihindarkan.

Birokrasi negara memang sangat akrab dengan kebocoran dana pembangunan dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagian besar kebocoran ini
telah menguap tanpa dapat dipertanggungjawabkan. Semua departemen
pemerintah, tak terkecuali Departemen Agama, telah dilaporkan berlangsung
berbagai kebocoran.

Irama kerja birokrasi yang lamban, bertele-tele dan tak becus, semakin
mengikis fungsinya untuk memberikan pelayanan bagi warga negara. Sebaliknya,
watak birokrasi ini telah berkembang menjadi birokrasi yang justru harus
dilayani warga negara.

Aparat peradilan pun bukan lagi tempat orang untuk dilayani dalam meraih
keadilan, melainkan telah diubah menjadi "sarang mafia peradilan".
Pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung telah ditengarai sebagai pasar
jual-beli perkara. Harapan akan suatu peradilan yang bebas dan tidak
memihak, telah digerogoti oleh praktik suap dan korupsi.

Kenyataannya, tangan-tangan kotor pelaku korupsi kelas kakap tak jarang
malah dilepaskan dari jerat hukum atau memperoleh hukuman yang ringan,
bahkan tidak sedikit menikmati putusan bebas. Institusi kejaksaan dan
pengadilan lebih dikenal sebagai "mesin binatu" yang siap bekerja mencuci
tangan-tangan kotor itu menjadi bersih kembali.

Ketika pemerintah berganti, birokrasi negara masih tetap seperti sediakala.
Pada masa pemerintahan Habibie memang pernah menonaktifkan Jaksa Agung Andi
Muhammad Ghalib dan Abdurrahman Wahid mencopot Marzuki Darusman serta
beberapa menteri yang diduga terlibat KKN atau dianggap tidak becus, namun
korupsi dalam tubuh birokrasi tak juga berkurang. Bahkan bertambah-tambah
dengan berjalannya "proyek otonomi daerah" serta kebutuhan dana
partai-partai politik yang menikmati politik pasca-Soeharto.

Sekarang, sepanjang pemerintahan Megawati, Jaksa Agung MA Rachman yang
diketahui publik memiliki rumah yang tidak dilaporkan kepada Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), masih saja menikmati kursi
empuknya tanpa tanda-tanda akan dicopot. Begitu juga yang dinikmati Gubernur
BI Syahril Sabirin. Kendati penyimpangan BLBI menjadi salah satu penyebab
bangkrutnya ekonomi Indonesia, tapi Syahril Sabirin masih terus menduduki
jabatannya, bahkan kini menikmati kebebasan dengan vonis bebas dari majelis
hakim.

Akbar Tandjung pun seperti tanpa halangan untuk terus menduduki jabatan
Ketua DPR. Putusan hakim pengadilan yang memutuskannya bersalah atas perkara
penyelewengan dana nonbujeter Bulog, tetap saja menikmati keistimewaan
dengan kursi Ketua DPR-nya.

Bahkan Presiden Megawati sendiri sempat dikait-kaitkan dengan dugaan
terlibat dalam kasus Asramagate dan Wakil Presiden Hamzah Haz dengan PT
QSAR. Tapi hingga kini tak ada kejelasan pengusutan mengenai dugaan
keterlibatan dalam kasus tersebut.

Sebelum, di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid sempat terungkap sejumlah
yayasan bisnis dan koperasi yang dikelola TNI dan Polri tapi kini kembali
menguap tanpa dikutak-katik lagi. Bahkan yang terhangat kasus pengerukan
pasir laut yang diekspor ke Singapura juga tak jelas ujung penyelesaian
hukumnya.

Sementara itu, partai-partai politik besar yang juga pernah diungkapkan
melakukan pelanggaran dalam Pemilihan Umum 1999 melalui "politik uang"
(money politics), namun tak satu pun diproses untuk mempertanggungjawabkan
perbuatan mereka.

Sebagian besar elite partai-partai itu kini telah menikmati kursi DPR dan
DPRD, dan sebagian ada yang menjadi pejabat pemerintah. Tapi mereka telah
merasuk dalam lingkungan politik di mana prosesnya lebih condong pada
"politik dagang sapi" ketimbang upaya-upaya melembagakan demokrasi.

Perilaku mereka tercermin dari tindakan sering bolos sidang sambil tetap
menerima uang rapat, menikmati "hadiah" mesin cuci, uang kavling, uang
perjalanan ke daerah, bahkan studi banding ke luar negeri. Dampaknya antara
lain mereka gagal membentuk Pansus Bulog II serta lemahnya komitmen atas
kasus Trisakti-Semanggi. Hal yang sama juga terjadi bagi anggota-anggota
DPRD di daerah. Dengan lingkungan politik seperti itu, pemerintah dan DPR
maupun partai politik di pusat maupun di daerah, pada umumnya tak dapat
menunjukkan komitmen yang kuat atas dua hal yang dibahas.

Pertama, gagal memenuhi komitmen kerja dalam memberantas korupsi demi
pemulihan ekonomi untuk kepentingan menciptakan kembali iklim investasi yang
kondusif serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Malah perhatian mereka
lebih terfokus untuk memburu pengumpulan dana bagi kelanjutan
jabatan-jabatan mereka pada pemilihan umum 2004.

Kedua, penciptaan proses pelembagaan demokrasi melalui penguatan partisipasi
rakyat dalam politik justru telah dipatahkan oleh lingkungan koruptif dan
"politik dagang sapi". Demokrasi hanya sekadar politik wacana, bukan
bergerak dalam pelaksanaan proses pelembagaannya.


Kemiskinan Rakyat

Pemerintah, dengan dana pembangunan dan APBN di tangannya, seyogianya
dituangkan secara ketat dan terukur dalam program pemulihan ekonomi. Selain
itu, melalui sasaran yang tepat, dilakukan program peningkatan kesejahteraan
rakyat yang terencana. Tapi dengan perilaku DPR dan DPRD maupun
partai-partai politik, pengawasan atas jalannya program pemerintah acap
gagal dikontrolnya.

Korupsi, kebocoran-kebocoran dana pembangunan dan APBN, serta pungutan yang
merajalela, telah menjadi penghalang bagi penciptaan iklim investasi yang
kondusif. Harapan untuk meningkatkan daya saing ekspor perusahaan-perusahaan
nasional, telah dihadang korupsi.

Kondisi merajalelanya korupsi itu membuat Indonesia menjadi tak menarik
sebagai ajang investasi. Akibatnya ada sebagian yang memilih hengkang ke
luar negeri, tapi tak sedikitpun yang terancam gulung tikar.

Kepentingan dunia usaha yang telah memberikan sumbangan penting bagi
penerimaan pajak, justru tak diperbaiki dengan komitmen dan kinerja
pemerintah untuk memberantas korupsi dan pungutan liar. Terganggunya
kepentingan dunia usaha ini membuat mereka mengancam untuk memboikot
membayar pajak.

Memang tahun ini pemerintah berupaya mengeruk dana yang besar untuk menutupi
defisit APBN sebesar Rp 27 triliun. Pemerintah menganggap penerimaan pajak
Rp 180 triliun belum mampu menutupi defisit APBN. Namun akibat merajalelanya
korupsi dan kebocoran dana, serta ditambah lagi kinerja pemerintah yang
buruk dan kebijaksanaan yang tak efektif, telah membuat dunia usaha tak bisa
bergairah. Pada gilirannya kegiatan usaha mereka semakin terancam.

Selama 4 tahun krisis, rakyat telah berkorban demi langkah efektif
pemerintah untuk mengatasinya. Tapi kini rakyat kian kritis dan merasa telah
diperlakukan tidak adil.

Dengan situasi yang terus memburuk itu, Indef memperkirakan akan bertambah
2,9 juta orang miskin. Hasil yang lain dapat diprediksi, banyak buruh yang
bekerja tanpa upah yang layak, puluhan ribu pekerja nelayan dan pekerja
industri terancam kehilangan pekerjaan, sementara jutaan orang mulai
menderita rawan pangan, kurang gizi, jutaan anak putus sekolah, sopir
angkutan kota telah bersuara nyaring menuntut kenaikan tarif angkutan.


Penulis adalah Ketua PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia).

Last modified: 23/1/2003

-------------------------------------------------------------
Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/
Anggota Nasional: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national
Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html
Nasional-m: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/
Nasional-a:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-a/
Nasional-e:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-e/
------------------Mailing List Nasional------------------