[Marinir] Lagi, Guru Diculik di Aceh
Hong Gie
marinir@polarhome.com
Mon, 17 Nov 2003 11:01:41 +0700
This is a multi-part message in MIME format.
------=_NextPart_000_00FC_01C3ACFA.2E348060
Content-Type: text/plain;
charset="iso-8859-1"
Content-Transfer-Encoding: quoted-printable
-----------------------------------------------------------------------
Mailing List "NASIONAL"
-----------------------------------------------------------------------
----- Original Message -----
From: HKSIS
To: Undisclosed-Recipient:;
Sent: Friday, November 14, 2003 2:53 AM
Subject: Lagi, Guru Diculik di Aceh
http://www.kompas.com/index.htm
Jumat, 14 November 2003
Lagi, Guru Diculik di Aceh
Banda Aceh, Kompas - Aparat keamanan hingga hari Rabu (12/11) belum
menemukan seorang guru sekolah dasar di Kecamatan Peureulak, Kabupaten =
Aceh
Timur, yang diculik kelompok bersenjata. Sementara itu, kontak tembak =
terus
terjadi, yang menyebabkan tewasnya tujuh orang yang diklaim TNI sebagai
personel Gerakan Aceh Merdeka.
Pihak kepolisian maupun Komando Operasi Tentara Nasional Indonesia =
(Koops
TNI) menyatakan guru yang diculik itu adalah Mizwar (37). Menurut Juru
Bicara Koops TNI Letkol Ahmad Yani Basuki, pada 10 November lalu korban
diculik empat anggota GAM di Desa Leuge, Kecamatan Peureulak.
Keberadaannya belum terdeteksi, begitu juga motif penculikan. Juru =
Bicara
Polda NAD Komisaris Besar Sayed Hoesainy menduga penculikan itu bermotif
pemerasan.
Menurut data Dinas Pendidikan NAD, lebih dari 100 guru telah menjadi =
korban
selama konflik Aceh. Ratusan sekolah juga dibakar. Aktivitas
belajar-mengajar berjalan dengan menggunakan tempat-tempat darurat. =
Selama
Ramadhan, aktivitas sekolah di Aceh libur.
Sementara itu, kontak tembak dalam dua hari terakhir dilaporkan Koops =
TNI
terjadi tiga kali. Di Aceh Utara, Selasa, kontak senjata meletus di
Kecamatan Tanah Luas. Empat personel GAM dilumpuhkan. Tentara menyita =
satu
senjata AK, satu M-16, satu GLM, satu pistol, dan amunisi.
Di Aceh Barat Daya pada hari yang sama juga terjadi kontak tembak antara =
TNI
yang tengah berpatroli dan GAM di Kampung Silop, Kecamatan Tangantangan.
Seorang pria, Abdurrahman (22), tewas, sementara dua lainnya, Zulkifli =
(55)
dan Mukhlis (25), ditangkap.
Di Kabupaten Pidie, kontak tembak meletus di Desa Meunasah Blang Bunot,
Kecamatan Bandar Baru. Sepucuk senjata GLM dan amunisinya dirampas =
bersama
radio komunikasi dan tujuh karung beras.
Hari itu aparat keamanan juga menyergap kelompok GAM di Busu, Kecamatan
Mutiara. Seorang pria yang diklaim anggota GAM, Hasbullah Budiman (35),
tewas dan seorang lainnya, Ramli (30), luka tertembak.
Juru Bicara GAM Wilayah Peureulak Teungku Mansor mengatakan, penyerangan
pos-pos TNI oleh GAM sering dituduh sebagai perusakan gedung sekolah =
oleh
TNI. Menurut dia, penyerangan itu terjadi lantaran gedung sekolah =
dijadikan
pos TNI, misalnya gedung SMP Paya Meuligo dan Sarang Pinang di kawasan
Peureulak. (NJ)
Jumat, 14 November 2003
Lakukan Gencatan Senjata dan Kembali Berunding
Jakarta, Kompas - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mendesak pemerintah =
agar
melakukan gencatan senjata dengan Gerakan Aceh Merdeka dan kembali =
menempuh
perundingan untuk mencari jalan keluar konflik di Nanggroe Aceh =
Darussalam.
Konflik di NAD terbukti telah menyebabkan banyak pelanggaran hak asasi
manusia dan hukum humaniter internasional.
"Jika konflik bersenjata di Aceh tidak dapat segera diselesaikan,
penyelenggaraan Pemilu 2004 sebagai salah satu sarana pemenuhan HAM akan
sangat terganggu," ujar Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara =
dalam
pernyataan resmi tentang evaluasi kondisi HAM di Aceh, Kamis (13/11).
Pernyataan resmi itu dihasilkan dari rapat pleno yang digelar kemarin di
Jakarta, yang dihadiri seluruh anggota Komnas HAM.
Dalam konflik bersenjata di Aceh yang berlangsung enam bulan terakhir
saja-selama status darurat militer pertama-berbagai pelanggaran HAM dan
hukum humaniter telah terjadi. Tercatat sedikitnya 319 penduduk sipil =
tewas,
140 orang luka, 151 orang hilang, dan 600 sekolah terbakar. Dari pihak =
GAM
900 orang tewas dan dari TNI 66 gugur.
"Diperkirakan, jumlah jatuhnya korban dan kerugian di atas akan =
meningkat
jika konflik bersenjata berlangsung. Jika terus berlanjut, selain
terlanggarnya hak hidup sebagai non-derogable rights, konflik di Aceh =
juga
menyebabkan tidak terpenuhinya hak asasi manusia lain," ujar Abdul =
Hakim.
Untuk menciptakan kondisi lebih manusiawi dan mencegah berlanjutnya
pelanggaran HAM, Komnas HAM menyarankan pemerintah melakukan gencatan
senjata dan kembali ke meja perundingan.
Tidak direkayasa
Secara terpisah, Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono membantah =
pernyataan
aktivis LSM dan pengamat yang menyatakan bahwa permintaan rakyat Aceh =
agar
darurat militer diperpanjang merupakan hasil rekayasa atau mobilisasi
rapat-rapat.
Kantor Kementerian Polkam, kata Yudhoyono, menerima 44 pengajuan atau
permohonan untuk perpanjangan darurat militer. Ada organisasi =
nonpemerintah,
pemerintah, swasta murni, perseorangan, DPRD, dan pemerintah daerah yang
nadanya sama, meminta perpanjangan darurat militer.
"Jadi, jangan direduksi seolah-olah keputusan pemerintah itu hanya atas
permintaan rakyat Aceh dan permintaan rakyat Aceh itu hanya diwakili =
dengan
rapat-rapat akbar. Keputusan itu diambil dengan mempertimbangkan semua
faktor, termasuk aspirasi rakyat Aceh," ujar Yudhoyono seusai rakor =
polkam
di Jakarta, Kamis.
Hal senada dikatakan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Ryamizard Ryacudu =
bahwa
perpanjangan darurat militer adalah sepenuhnya keinginan rakyat Aceh. =
TNI
tidak bisa memutuskan soal perpanjangan status darurat militer di Aceh.
Persoalan darurat militer harus diserahkan kepada rakyat Aceh.
"Kita jangan ngomong apa perlu memperpanjang atau memperpendek darurat
militer di Aceh. Tanya kepada rakyat Aceh sendiri. Jangan tanya sama =
orang
Bandung, Jakarta, apalagi orang Ambon, enggak ngerti persoalan," tandas
Ryamizard seusai berbuka puasa dengan 500 anak yatim piatu di Bandung, =
Kamis
malam.
Mengenai sikap anggota DPR untuk memperpendek darurat militer, KSAD
menyatakan menghargai usulan itu, tetapi TNI tidak mau berpolemik.
Gagal ambil putusan
Di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sikap tentang perpanjangan darurat =
militer
di NAD ternyata tidak juga putus. Perbedaan pendapat di tubuh DPR masih
cukup tajam. Akibatnya, rapat Komisi I hari Kamis gagal membuat =
keputusan
menyikapi perpanjangan darurat militer di Aceh.
Dalam rapat tertutup itu, Fraksi Partai Golkar (F-PG) dan Fraksi =
Kebangkitan
Bangsa (F-KB) meminta perpanjangan darurat militer diadakan empat bulan,
sedangkan tujuh fraksi lain mendukung perpanjangan darurat militer enam
bulan.
Pada akhir rapat, sesungguhnya sempat mengerucut pandangan darurat =
militer
diperpanjang enam bulan dengan catatan akan dilaksanakan evaluasi =
setelah
empat bulan. Tetapi, karena F-PG berkeras dan meminta waktu diberi
kesempatan berkonsultasi dengan pimpinan fraksi, akhirnya rapat ditunda.
Anggota Komisi I Permadi menilai, sikap F-PG meminta perpanjangan =
darurat
militer empat bulan didasarkan pada kepentingan politik. "Golkar
menginginkan darurat sipil supaya gubernur yang berperan di pemilu," =
kata
Permadi.
Namun, Ketua Komisi I Ibrahim Ambong membantah hal itu. Menurut dia,
pertimbangan Golkar semata-mata agar pemilu tidak diadakan dalam kondisi
darurat militer. "Tidak pernah ada kesimpulan dari komisi yang =
mengatakan
turunnya status Aceh ke darurat sipil agar Gubernur Puteh berperan," =
tegas
Ambong.
Anggota DPRD Diadili
Sementara itu, dari Aceh dilaporkan, anggota DPRD Jantho bernama Marwan =
bin
Muhammad (44) dari Partai Golkar, kemarin, diadili Pengadilan Negeri =
Jantho,
Aceh Besar.
Dalam sidang yang dipimpin majelis hakim yang diketuai Ismail Hidayat, =
jaksa
Dudi Mulyakusumah mendakwa Marwan telah melakukan tindak pidana makar, =
yakni
ia terlibat sebagai penyandang dana untuk kelompok GAM di wilayah itu. =
Ini
terjadi sejak tahun 2000.
Panglima GAM Aceh Rayeuk Abu Tanzura, menurut jaksa, adalah salah =
seorang
yang menerima dana dari Marwan. Besar bantuan dana yang disumbangkan
bervariasi, Rp 10.000- Rp 2.000.000. Selain itu, ia juga pernah =
mengikuti
ceramah GAM bersama anggota DPRD lain di perbukitan Gunong Siron, Aceh
Besar. (NJ/zal/sut/lok/INU)
http://www.suarapembaruan.com/News/2003/11/13/index.html
SUARA PEMBARUAN DAILY
Elite Politik Membiarkan Masalah Aceh
JAKARTA - Para elite politik saat ini membiarkan masalah yang terjadi di
Aceh tanpa ada upaya mencari penyelesaian lebih menyeluruh. Para elite
politik itu, terutama yang duduk di pemerintahan lebih memikirkan upaya
memenangkan Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 daripada mencari solusi yang
diharapkan rakyat Aceh.
Pendapat itu disampaikan Ketua Fraksi Reformasi DPR, Ahmad Farhan Hamid
dalam diskusi yang membahas keputusan pemerintah memperpanjang status
darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), di Jakarta, =
Rabu
(12/11). Pembicara lain dalam diskusi itu adalah praktisi hukum Todung =
Mulya
Lubis dan Direktur Eksekutif Imparsial, Munir.
"Para elite politik membiarkan masalah Aceh itu tanpa ada upaya =
penyelesaian
alternatif secara menyeluruh. Akibatnya, penyelesaian masalah Aceh
diserahkan kepada TNI dan dijadikan satu-satunya cara menyelesaikan =
Aceh.
Para elite juga tidak peduli mau darurat militer atau tidak," katanya.
Alasan lain, kata Farhan, karena suara rakyat Aceh pada Pemilu 2004 =
nanti
tidak begitu signifikan hanya dua persen dari suara seluruh rakyat =
Indonesia
yang berhak memilih. Selain itu, Aceh hanya menjadi satu daerah =
pemilihan.
Farhan juga membantah adanya kecurigaan sebagian kalangan tentang
kemungkinan terjadi kolaborasi antara TNI dan para elite politik. Sebab,
katanya, kewenangan untuk memutuskan apakah pemilu di Aceh dilaksanakan,
ditunda atau diulang ada di tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sementara itu, menurut Munir, ada keuntungan yang diperoleh elite =
politik
dan pejabat pemerintahan di Aceh dengan perpanjangan darurat militer =
itu.
Sebab, dengan kewenangan luas yang diberikan kepada militer dalam status
darurat militer menghancurkan kekuatan sipil seperti lembaga swadaya
masyarakat.
"Awalnya, birokrasi di Aceh tidak setuju dengan darurat militer. =
Ternyata,
setelah merasakan, darurat militer ternyata menguntungkan mereka. =
Kekuatan
sipil hancur sehingga tidak ada protes terhadap para birokrat di sana.
Contohnya, rakyat Aceh yang menentang kepemimpinan Abdullah Puteh =
dianggap
tidak NKRI," kata Munir.
Terkait pelaksanaan pemilu di Aceh, Munir menduga tingkat partisipasi =
warga
Aceh akan lebih besar dibanding daerah lain. Namun, masalahnya, tingkat
partisipasi itu bukan atas kesadaran rakyat Aceh sendiri tapi cenderung
bersifat dimobilisasi. Artinya, kata Munir, tidak ada partisipasi rakyat
Aceh dalam pemilu yang dilaksanakan secara jujur. Tingkat partisipasi
seperti itu juga akan dijadikan parameter kemenangan oleh TNI dalam =
merebut
hati dan pikiran rakyat Aceh.
"Parpol juga akan melakukan self censorship saat melakukan kampanye di =
Aceh.
Isu-isu seputar masalah penegakan hak asasi manusia pasti tidak akan
disinggung dalam kampanye parpol," katanya.
Sementara itu, Todung Mulya Lubis menyambut baik pernyataan Menko Polkam
Susilo Bambang Yudhoyono yang berjanji akan melaksanakan pemilu secara
demokratis dan akan memberi izin pemantau pemilu, baik dari dalam dan =
luar
negeri. Namun, dia agak meragukan niat baik itu karena status darurat
militer di Aceh tetap dipertahankan.
Sebab, menurut Mulya pernyataan Menko Polkam itu bertentangan dengan
kewenangan yang diberikan kepada Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) =
yang
tercantum dalam UU Nomor 23/1959 tentang Keadaaan Darurat. Banyak =
larangan
yang dapat dibuat PDMD di Aceh yang juga mematikan prinsip-prinsip
demokrasi.
"Pada Pemilu 1999 dimana belum diberlakukan status darurat militer, =
sudah
banyak daerah yang tidak bisa melaksanakan pemilu. Anggota tim pemantau
pemilu di Aceh juga mendapat tekanan dan larangan-larangan dari aparat
keamanan," katanya. Oleh karena itu, dia mendesak pemerintah untuk
menjelaskan landasan hukum terhadap janji-janji bahwa pemilu di Aceh =
akan
berlangsung sesuai prinsip-prinsip demokrasi.
Tidak Demokratis
Di tempat terpisah, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nazaruddin =
Sjamsuddin
kembali mengatakan, selama Aceh berada dalam keadaan darurat militer =
pemilu
tidak akan berlangsung demokratis. Pada prinsipnya pemilu adalah sebuah
proses demokratis sedangkan darurat militer adalah sebuah proses yang =
tidak
demokratis. Kendati demikian, wewenang untuk mencabut dan tidak mencabut
keadaan darurat militer di NAD adalah wewenang pemerintah.
"Saya lihat demokrasi itu ibarat air dan darurat militer seperti minyak.
Bagaimana air dan minyak bisa bersatu," tegas Ketua Komisi Pemilihan =
Umum
(KPU) Nazaruddin Sjamsuddin di Jakarta, Rabu (12/11).
Nazaruddin menilai, kritik berbagai kalangan yang mengatakan bahwa =
pemilu
tidak dapat berjalan di NAD bila wilayah itu masih berada dalam keadaan
darurat militer adalah sesuatu yang wajar. Karena itu dia memaklumi juga
bila ada negara-negara asing atau kelompok-kelompok pro demokrasi di
Indonesia yang terus menerus mengatakan hal seperti itu. "Hal itu bukan
suatu teori melainkan semacam aksioma," ujarnya.
Kendati demikian, dia bertekad akan tetap melaksanakan pemilu di daerah
konflik itu kendatipun dalam keadaan darurat militer. Hanya saja =
hasilnya
kemungkinan tidak sesuai dengan yang diharapkan publik. Karena semua =
elemen
penyelenggara pemilu tidak bisa bergerak bebas untuk menyelenggarakan =
pemilu
langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) serta jujur dan adil =
(jurdil).
Ketika ditanya lebih lanjut apakah darurat militer di NAD bisa =
mencederai
pemilu yang demokrtis Nazaruddin enggan berkomentar. "Saya tidak =
mengatakan
itu (darurat militer) mencederai pemilu. Yang saya katakan adalah pemilu
yang demokratis tidak akan berjalan mulus di NAD," tegas guru besar
Universitas Indonesia (UI) itu. (0-1/A-21)
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0311/13/opi02.html
Arti Perpanjangan Darurat Militer di Aceh
Oleh Kustigar Nadeak
Sidang Kabinet terbatas yang berlangsung Senin 3 November akhirnya
memutuskan untuk memperpanjang status Darurat Militer di daerah provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Keputusan tersebut diambil berdasarkan
rekomendasi hasil rapat Polkam (Politik dan Keamanan) yang berlangsung
beberapa jam sebelumnya, atau hanya 16 hari sebelum mencapai 6 bulan
berlakunya Darurat Militer di Aceh. Dalam rapat Polkam terungkap, bahwa
perpanjangan itu merupakan jawaban terhadap usul Gubernur provinsi NAD
Abdullah Puteh.
Apabila perpanjangan ini dikaitkan dengan penjelasan Menko Polkam Susilo
Bambang Yudhoyono hari Rabu 1 Oktober (2003) dapat disimpulkan, bahwa =
secara
militer operasi terpadu belum mencapai target. Bahkan, menurut =
perhitungan
Menko Polkam hingga bulan Oktober target yang dicapai selama 6 bulan =
Operasi
Terpadu baru mencapai 50 persen. Berdasarkan perhitungan itu, maka untuk
menumpas tuntas pemberontak GAM diperlukan waktu enam bulan lagi. Data
tersebut tampaknya dijadikan pemerintah sebagai landasan untuk =
memperpanjang
4-6 bulan Darurat Militer di Aceh.
Menurut data sebelum operasi militer dilancarkan 19 Mei lalu, kekuatan
bersenjata GAM mencapai 5.265 anggota pasukan (SH, Jumat 9 Mei 2003) =
atau
5.225 menurut versi Kompas Minggu 4 Mei 2003. Sementara jumlah senjata =
yang
dimiliki sekitar 2.088 pucuk. Jika baru 50 persen yang berhasil =
ditumpas,
maka kekuatan GAM masih mencapai sekitar 2.500 personel (bersenjata) =
belum
dihitung berapa jumlah GAM yang tidak bersenjata.
Kebijakan pemerinah untuk menumpas GAM sudah tepat. Teori politik
membenarkan setiap pemerintahan memerlukan stabilitas. Untuk itu setiap
individu atau kelompok yang melakukan aksi kekerasan bersenjata harus
ditumpas. Efektivitas pemerintahan harus diukur dari kapabilitasnya
mengatasi kekuatan kelompok-kelompok agresif (bersenjata), pembangkangan
sipil (aksi kekerasan) dan kelompok destruktif seperti yang belakangan =
ini
lebih dikenal dengan terorisme.
Kemampuan pemerinah menciptakan stabilitas sangat terkait dengan =
pemulihan
ekonomi. Karena Indonesia sudah terlanjur dicap sebagai negara teroris =
oleh
negara-negara Barat, maka investor negara-negara Barat tidak kunjung =
datang
ke Indonesia, bahkan tidak sedikit investor yang meninggalkan Indonesia.
Bank Dunia dalam rekomendasinya berjudul "Indonesia Maintaing Stability,
Deepening Reforms" (Report.No.25330.IND/2003) menekankan tentang =
mendesaknya
stabilitas politik dan keamanan diciptakan demi pemulihan ekonomi.
Duri dalam daging NKRI
Patut dicatat, bahwa GAM merupakan duri dalam daging Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). GAM analog dengan IRA (Irish Republican =
Army).
Pemerinah Inggris menyebut IRA sebagai organisasi teroris yang harus
dihancurkan melalui kebijakan "Prevention of Terrorism" yang disahkan
menjadi Undang-Undang 29 November 1974. Sementara tindakan darurat =
perang di
Aceh dilakukan berdasarkan UU No.3/2002 tentang Pertahanan Negara dan UU
Keadaan Bahaya No.23/1959.
Terlepas dari dasar-dasar hukum yang melandasi Operasi Terpadu di Aceh,
tulisan ini dirancang untuk mencuplik sejumlah kasus di balik =
perpanjangan
status Darurat Militer. Patut dicatat bahwa Darurat Militer di Aceh =
tidak
semata-mata untuk menumpas GAM secara militer, tetapi lebih penting dari
itu, bahwa pendekatan yang direncanakan dalam mengimplementasikan =
Darurat
Perang adalah Operasi Terpadu yang mencakup penegakan hukum, pembenahan
pemerintahan daerah Aceh, operasi kemanusiaan dan operasi keamanan. =
Artinya
tidak satu elemen pun di antara Operasi Terpadu itu yang dapat =
dipisahkan
satu dan lain untuk mengukur keberhasilan Darurat Militer bisa saja =
personel
bersenjata GAM dihancurkan tapi kalau rakyat Aceh tetap miskin, maka =
Operasi
Terpadu dapat disebut gagal.
Kalau dilihat dari segi perimbangan kekuatan antara GAM dan pasukan
militer/polisi yang dikerahkan ke daerah itu, sebenarnya tidak ada =
alasan
bagi perpanjangan darurat militer. Tidak kurang dari 26.000 anggota =
pasukan
bersenjata TNI/Polri dikerahkan untuk menumpas GAM (data Kompas 4 Mei =
2003).
Paling tidak setiap prajurit menghabiskan dana 100.000 rupiah per hari. =
Jika
dihitung selama 6 bulan maka jumlah dana yang habis diperkirakan telah
mencapai 448 miliar rupiah. Data ini kurang lebih sama dengan dana yang
diminta TNI 1,2 triliun rupiah (SH,11 September 2003) yang 600 miliar =
rupiah
di antaranya digunakan untuk membeli peralatan militer termasuk senjata =
dan
kendaraan taktis. Padahal kekuatan GAM dengan senjatanya hanya sekitar =
5.000
personel.
Tapi kenapa TNI/Polri tidak berhasil mencapai target? Salah satu kasus =
yang
dapat dicatat adalah "Operasi di Aceh dinodai korupsi dana pengungsi"
(pengakuan Komandan Satuan Tugas Penerngan Penguasa Darurat Militer =
Daerah
(PDMD) Kolonel Ditya Soedarsono, Senin 22 September 2003). Menurut =
laporan
dana ini diselewengkan oleh oknum-oknum aparat pemerintah daerah.
Dari segi teknis militer, memang sangat terkesan, personel militer tidak
semilitan pasukan GAM. Mungkin karena fasilitas yang lebih dari cukup
membuat mereka tidak militan. Sebab pada hakikatnya justru orang yang
terjepitlah yang dapat menjadi orang militan. Jadi penampilan militer =
kita
tidak seperti yang dibayangkan oleh para pengamat militer asing yang
menggambarkan, "a more professional military would lead to greater =
national
security".
Enam bulan operasi militer tidak mencapai target. Karena itu, posisi
TNI/Polri di Aceh "in the point of no return". Bila GAM tidak berhasil
ditumpas, maka konsekuensinya, rakyat Aceh yang miskin akan dengan mudah
direkrut untuk bergabung dengan GAM. Dengan demikian GAM akan melakukan
konsolidasi kekuatan, jika Darurat Militer tidak diperpanjang. GAM yang
dianalogikan sebagai kelompok teroris idealnya harus ditumpas sampai
akar-akarnya.
Keadilan
Tapi yang terkesan dilupakan, adalah prinsip bahwa menumpas GAM tidak
mungkin berhasil tanpa implementasi secara komprehensif, intensif dan
konsisten, prinsip Operasi Terpadu. Mungkin dalam hal ini juga termasuk
prinsip keadilan. Kalau Presiden Megawati Soekarnoputri menyatakan di
Majelis Umum PBB Selasa 23 September (2003), bahwa ketidakadilan =
merupakan
salah salah satu penyebab maraknya terorisme, maka sudah semestinya
Pemerintah Daerah dan Penguasa Darurat Perang di Aceh merenungkan
dalam-dalam apakah ketidakadilan bukan salah satu sebab =
ketidakberhasilan
sasaran Darurat Militer? Teori membenarkan kemakmuran merupakan salah =
satu
cara mengurangi aksi kekerasan. Ketika keadilan itu ditegakkan, rakyat =
akan
lebih mudah dapat diajak untuk turut berpean menciptakan keamanan dan =
turut
berperan memerangi GAM.
Ketidakadilan itu menjadi isu sentral, setelah pemerintah pusat =
memberikan
dana 6,6 triliun rupiah (pengumuman resmi pemerintah 22 Agustus 2002) =
kepada
Aceh sementara sudah lama disinyalir tidak seluruhnya dana tersebut
digunakan untuk operasi kemanusiaan? Ke mana dana tersebut menguap tidak =
ada
pihak institusi kontrol yang memberikan jawaban konkret.
Salah satu substansi Operasi Terpadu berdasarkan Keppres No.28/2003 =
adalah
Operasi Pemantapan Jalannya Pemerintahan. Otoritas Penguasa Darurat =
Perang
di Aceh tidak bisa dipisahkan dari upaya pembenahan pemerintahan. Karena
sebelum operasi itu dilaksanakan sudah terbetik berita berupa dugaan
Gubernur NAD Abdullah Puteh terlibat kasus korupsi 50 miliar rupiah =
seperti
yang diungkapkan oleh Koordinator Samak (Solidaritas Masyarakat =
Antikorupsi)
Kamal Farza 5 Mei (2003). Tetapi sampai sekarang walaupun Komisi =
Pemeriksa
Kekayaaan Penyelenggara Negara (KPKPN) pernah menjanjikan akan melakukan
pemeriksaan, tapi tidak ada follow upnya.
Merosotnya kredibilitas dan legitimasi otoritas politik di Aceh sekarang =
ini
dapat mengingatkan publik tentang kegagalan Orde Baru menumpas =
pemberontakan
di Aceh, terutama karena operasi yang dikenal dengan DOM (Daerah Operasi
Militer) tidak dilaksanakan dengan sepenuh hati.
Dilaporkan kepentingan bisnis militer di Aceh sebagian besar pada bisnis
perkayuan, Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau menjadi beking sebuah =
perusahaan
besar, PT Kayu Timbers umpamanya merupakan perusahaan yang didominasi
kepemilikannya oleh kalangan militer.
Dugaan penyimpangan merupakan stigma dalam Operasi Terpadu dan bukan =
tidak
mungkin menyeret Operasi Terpadu ke jurang kegagalan, jika tidak =
cepat-cepat
diambil tindakan secara konprehensif. Mengakhiri tulisan ini pertanyaan =
yang
barangkali saja dapat mengusik pemikiran semua pihak yang terkait dengan
Darurat Militer di Aceh. Pertama, apakah perpanjangan Darurat Militer =
tidak
justru memperpanjang daftar kasus korupsi? Kedua, apakah tidak =
memperpanjang
daftar penderitaan rakyat, terutama 31.926 jiwa pengungsi yang kurang =
makan
dan terserang penyakit?
Penulis adalah wartawan
senior Sinar Harapan.
------=_NextPart_000_00FC_01C3ACFA.2E348060
Content-Type: text/html;
charset="iso-8859-1"
Content-Transfer-Encoding: quoted-printable
<!DOCTYPE HTML PUBLIC "-//W3C//DTD HTML 4.0 Transitional//EN">
<HTML><HEAD>
<META http-equiv=3DContent-Type content=3D"text/html; =
charset=3Diso-8859-1">
<META content=3D"MSHTML 5.50.4134.100" name=3DGENERATOR>
<STYLE></STYLE>
</HEAD>
<BODY bgColor=3D#ffffff>
<DIV><FONT face=3D"Book Antiqua" size=3D2><FONT face=3D"Times New Roman" =
size=3D3>----------------------------------------------------------------=
-------<BR>Mailing=20
List=20
"NASIONAL"<BR>-----------------------------------------------------------=
------------<BR><BR>-----=20
Original Message -----<BR>From: HKSIS<BR>To: =
Undisclosed-Recipient:;<BR>Sent:=20
Friday, November 14, 2003 2:53 AM<BR>Subject: Lagi, Guru Diculik di=20
Aceh<BR><BR></FONT><A href=3D"http://www.kompas.com/index.htm"><FONT=20
face=3D"Times New Roman"=20
size=3D3>http://www.kompas.com/index.htm</FONT></A><BR><FONT=20
face=3D"Times New Roman" size=3D3>Jumat, 14 November =
2003<BR><BR><BR>Lagi, Guru=20
Diculik di Aceh<BR>Banda Aceh, Kompas - Aparat keamanan hingga hari Rabu =
(12/11)=20
belum<BR>menemukan seorang guru sekolah dasar di Kecamatan Peureulak, =
Kabupaten=20
Aceh<BR>Timur, yang diculik kelompok bersenjata. Sementara itu, kontak =
tembak=20
terus<BR>terjadi, yang menyebabkan tewasnya tujuh orang yang diklaim TNI =
sebagai<BR>personel Gerakan Aceh Merdeka.<BR>Pihak kepolisian maupun =
Komando=20
Operasi Tentara Nasional Indonesia (Koops<BR>TNI) menyatakan guru yang =
diculik=20
itu adalah Mizwar (37). Menurut Juru<BR>Bicara Koops TNI Letkol Ahmad =
Yani=20
Basuki, pada 10 November lalu korban<BR>diculik empat anggota GAM di =
Desa Leuge,=20
Kecamatan Peureulak.<BR>Keberadaannya belum terdeteksi, begitu juga =
motif=20
penculikan. Juru Bicara<BR>Polda NAD Komisaris Besar Sayed Hoesainy =
menduga=20
penculikan itu bermotif<BR>pemerasan.<BR>Menurut data Dinas Pendidikan =
NAD,=20
lebih dari 100 guru telah menjadi korban<BR>selama konflik Aceh. Ratusan =
sekolah=20
juga dibakar. Aktivitas<BR>belajar-mengajar berjalan dengan menggunakan=20
tempat-tempat darurat. Selama<BR>Ramadhan, aktivitas sekolah di Aceh=20
libur.<BR>Sementara itu, kontak tembak dalam dua hari terakhir =
dilaporkan Koops=20
TNI<BR>terjadi tiga kali. Di Aceh Utara, Selasa, kontak senjata meletus=20
di<BR>Kecamatan Tanah Luas. Empat personel GAM dilumpuhkan. Tentara =
menyita=20
satu<BR>senjata AK, satu M-16, satu GLM, satu pistol, dan amunisi.<BR>Di =
Aceh=20
Barat Daya pada hari yang sama juga terjadi kontak tembak antara =
TNI<BR>yang=20
tengah berpatroli dan GAM di Kampung Silop, Kecamatan =
Tangantangan.<BR>Seorang=20
pria, Abdurrahman (22), tewas, sementara dua lainnya, Zulkifli =
(55)<BR>dan=20
Mukhlis (25), ditangkap.<BR>Di Kabupaten Pidie, kontak tembak meletus di =
Desa=20
Meunasah Blang Bunot,<BR>Kecamatan Bandar Baru. Sepucuk senjata GLM dan=20
amunisinya dirampas bersama<BR>radio komunikasi dan tujuh karung =
beras.<BR>Hari=20
itu aparat keamanan juga menyergap kelompok GAM di Busu, =
Kecamatan<BR>Mutiara.=20
Seorang pria yang diklaim anggota GAM, Hasbullah Budiman (35),<BR>tewas =
dan=20
seorang lainnya, Ramli (30), luka tertembak.<BR>Juru Bicara GAM Wilayah=20
Peureulak Teungku Mansor mengatakan, penyerangan<BR>pos-pos TNI oleh GAM =
sering=20
dituduh sebagai perusakan gedung sekolah oleh<BR>TNI. Menurut dia, =
penyerangan=20
itu terjadi lantaran gedung sekolah dijadikan<BR>pos TNI, misalnya =
gedung SMP=20
Paya Meuligo dan Sarang Pinang di kawasan<BR>Peureulak. (NJ)<BR>Jumat, =
14=20
November 2003<BR><BR><BR><BR>Lakukan Gencatan Senjata dan Kembali=20
Berunding<BR>Jakarta, Kompas - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia =
mendesak=20
pemerintah agar<BR>melakukan gencatan senjata dengan Gerakan Aceh =
Merdeka dan=20
kembali menempuh<BR>perundingan untuk mencari jalan keluar konflik di =
Nanggroe=20
Aceh Darussalam.<BR>Konflik di NAD terbukti telah menyebabkan banyak =
pelanggaran=20
hak asasi<BR>manusia dan hukum humaniter internasional.<BR>"Jika konflik =
bersenjata di Aceh tidak dapat segera diselesaikan,<BR>penyelenggaraan =
Pemilu=20
2004 sebagai salah satu sarana pemenuhan HAM akan<BR>sangat terganggu," =
ujar=20
Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara dalam<BR>pernyataan resmi =
tentang=20
evaluasi kondisi HAM di Aceh, Kamis (13/11).<BR>Pernyataan resmi itu =
dihasilkan=20
dari rapat pleno yang digelar kemarin di<BR>Jakarta, yang dihadiri =
seluruh=20
anggota Komnas HAM.<BR>Dalam konflik bersenjata di Aceh yang berlangsung =
enam=20
bulan terakhir<BR>saja-selama status darurat militer pertama-berbagai=20
pelanggaran HAM dan<BR>hukum humaniter telah terjadi. Tercatat =
sedikitnya 319=20
penduduk sipil tewas,<BR>140 orang luka, 151 orang hilang, dan 600 =
sekolah=20
terbakar. Dari pihak GAM<BR>900 orang tewas dan dari TNI 66=20
gugur.<BR>"Diperkirakan, jumlah jatuhnya korban dan kerugian di atas =
akan=20
meningkat<BR>jika konflik bersenjata berlangsung. Jika terus berlanjut,=20
selain<BR>terlanggarnya hak hidup sebagai non-derogable rights, konflik =
di Aceh=20
juga<BR>menyebabkan tidak terpenuhinya hak asasi manusia lain," ujar =
Abdul=20
Hakim.<BR>Untuk menciptakan kondisi lebih manusiawi dan mencegah=20
berlanjutnya<BR>pelanggaran HAM, Komnas HAM menyarankan pemerintah =
melakukan=20
gencatan<BR>senjata dan kembali ke meja perundingan.<BR>Tidak=20
direkayasa<BR>Secara terpisah, Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono =
membantah=20
pernyataan<BR>aktivis LSM dan pengamat yang menyatakan bahwa permintaan =
rakyat=20
Aceh agar<BR>darurat militer diperpanjang merupakan hasil rekayasa atau=20
mobilisasi<BR>rapat-rapat.<BR>Kantor Kementerian Polkam, kata Yudhoyono, =
menerima 44 pengajuan atau<BR>permohonan untuk perpanjangan darurat =
militer. Ada=20
organisasi nonpemerintah,<BR>pemerintah, swasta murni, perseorangan, =
DPRD, dan=20
pemerintah daerah yang<BR>nadanya sama, meminta perpanjangan darurat=20
militer.<BR>"Jadi, jangan direduksi seolah-olah keputusan pemerintah itu =
hanya=20
atas<BR>permintaan rakyat Aceh dan permintaan rakyat Aceh itu hanya =
diwakili=20
dengan<BR>rapat-rapat akbar. Keputusan itu diambil dengan =
mempertimbangkan=20
semua<BR>faktor, termasuk aspirasi rakyat Aceh," ujar Yudhoyono seusai =
rakor=20
polkam<BR>di Jakarta, Kamis.<BR>Hal senada dikatakan Kepala Staf TNI =
Angkatan=20
Darat Ryamizard Ryacudu bahwa<BR>perpanjangan darurat militer adalah =
sepenuhnya=20
keinginan rakyat Aceh. TNI<BR>tidak bisa memutuskan soal perpanjangan =
status=20
darurat militer di Aceh.<BR>Persoalan darurat militer harus diserahkan =
kepada=20
rakyat Aceh.<BR>"Kita jangan ngomong apa perlu memperpanjang atau =
memperpendek=20
darurat<BR>militer di Aceh. Tanya kepada rakyat Aceh sendiri. Jangan =
tanya sama=20
orang<BR>Bandung, Jakarta, apalagi orang Ambon, enggak ngerti =
persoalan,"=20
tandas<BR>Ryamizard seusai berbuka puasa dengan 500 anak yatim piatu di =
Bandung,=20
Kamis<BR>malam.<BR>Mengenai sikap anggota DPR untuk memperpendek darurat =
militer, KSAD<BR>menyatakan menghargai usulan itu, tetapi TNI tidak mau=20
berpolemik.<BR>Gagal ambil putusan<BR>Di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), =
sikap=20
tentang perpanjangan darurat militer<BR>di NAD ternyata tidak juga =
putus.=20
Perbedaan pendapat di tubuh DPR masih<BR>cukup tajam. Akibatnya, rapat =
Komisi I=20
hari Kamis gagal membuat keputusan<BR>menyikapi perpanjangan darurat =
militer di=20
Aceh.<BR>Dalam rapat tertutup itu, Fraksi Partai Golkar (F-PG) dan =
Fraksi=20
Kebangkitan<BR>Bangsa (F-KB) meminta perpanjangan darurat militer =
diadakan empat=20
bulan,<BR>sedangkan tujuh fraksi lain mendukung perpanjangan darurat =
militer=20
enam<BR>bulan.<BR>Pada akhir rapat, sesungguhnya sempat mengerucut =
pandangan=20
darurat militer<BR>diperpanjang enam bulan dengan catatan akan =
dilaksanakan=20
evaluasi setelah<BR>empat bulan. Tetapi, karena F-PG berkeras dan =
meminta waktu=20
diberi<BR>kesempatan berkonsultasi dengan pimpinan fraksi, akhirnya =
rapat=20
ditunda.<BR>Anggota Komisi I Permadi menilai, sikap F-PG meminta =
perpanjangan=20
darurat<BR>militer empat bulan didasarkan pada kepentingan politik.=20
"Golkar<BR>menginginkan darurat sipil supaya gubernur yang berperan di =
pemilu,"=20
kata<BR>Permadi.<BR>Namun, Ketua Komisi I Ibrahim Ambong membantah hal =
itu.=20
Menurut dia,<BR>pertimbangan Golkar semata-mata agar pemilu tidak =
diadakan dalam=20
kondisi<BR>darurat militer. "Tidak pernah ada kesimpulan dari komisi =
yang=20
mengatakan<BR>turunnya status Aceh ke darurat sipil agar Gubernur Puteh=20
berperan," tegas<BR>Ambong.<BR>Anggota DPRD Diadili<BR>Sementara itu, =
dari Aceh=20
dilaporkan, anggota DPRD Jantho bernama Marwan bin<BR>Muhammad (44) dari =
Partai=20
Golkar, kemarin, diadili Pengadilan Negeri Jantho,<BR>Aceh =
Besar.<BR>Dalam=20
sidang yang dipimpin majelis hakim yang diketuai Ismail Hidayat, =
jaksa<BR>Dudi=20
Mulyakusumah mendakwa Marwan telah melakukan tindak pidana makar, =
yakni<BR>ia=20
terlibat sebagai penyandang dana untuk kelompok GAM di wilayah itu.=20
Ini<BR>terjadi sejak tahun 2000.<BR>Panglima GAM Aceh Rayeuk Abu =
Tanzura,=20
menurut jaksa, adalah salah seorang<BR>yang menerima dana dari Marwan. =
Besar=20
bantuan dana yang disumbangkan<BR>bervariasi, Rp 10.000- Rp 2.000.000. =
Selain=20
itu, ia juga pernah mengikuti<BR>ceramah GAM bersama anggota DPRD lain =
di=20
perbukitan Gunong Siron, Aceh<BR>Besar. =
(NJ/zal/sut/lok/INU)<BR></FONT><A=20
href=3D"http://www.suarapembaruan.com/News/2003/11/13/index.html"><FONT=20
face=3D"Times New Roman"=20
size=3D3>http://www.suarapembaruan.com/News/2003/11/13/index.html</FONT><=
/A><BR><FONT=20
face=3D"Times New Roman" size=3D3>SUARA PEMBARUAN =
DAILY<BR><BR><BR><BR>Elite Politik=20
Membiarkan Masalah Aceh<BR><BR>JAKARTA - Para elite politik saat ini =
membiarkan=20
masalah yang terjadi di<BR>Aceh tanpa ada upaya mencari penyelesaian =
lebih=20
menyeluruh. Para elite<BR>politik itu, terutama yang duduk di =
pemerintahan lebih=20
memikirkan upaya<BR>memenangkan Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 daripada =
mencari=20
solusi yang<BR>diharapkan rakyat Aceh.<BR>Pendapat itu disampaikan Ketua =
Fraksi=20
Reformasi DPR, Ahmad Farhan Hamid<BR>dalam diskusi yang membahas =
keputusan=20
pemerintah memperpanjang status<BR>darurat militer di Provinsi Nanggroe =
Aceh=20
Darussalam (NAD), di Jakarta, Rabu<BR>(12/11). Pembicara lain dalam =
diskusi itu=20
adalah praktisi hukum Todung Mulya<BR>Lubis dan Direktur Eksekutif =
Imparsial,=20
Munir.<BR>"Para elite politik membiarkan masalah Aceh itu tanpa ada =
upaya=20
penyelesaian<BR>alternatif secara menyeluruh. Akibatnya, penyelesaian =
masalah=20
Aceh<BR>diserahkan kepada TNI dan dijadikan satu-satunya cara =
menyelesaikan=20
Aceh.<BR>Para elite juga tidak peduli mau darurat militer atau tidak,"=20
katanya.<BR>Alasan lain, kata Farhan, karena suara rakyat Aceh pada =
Pemilu 2004=20
nanti<BR>tidak begitu signifikan hanya dua persen dari suara seluruh =
rakyat=20
Indonesia<BR>yang berhak memilih. Selain itu, Aceh hanya menjadi satu =
daerah=20
pemilihan.<BR>Farhan juga membantah adanya kecurigaan sebagian kalangan=20
tentang<BR>kemungkinan terjadi kolaborasi antara TNI dan para elite =
politik.=20
Sebab,<BR>katanya, kewenangan untuk memutuskan apakah pemilu di Aceh=20
dilaksanakan,<BR>ditunda atau diulang ada di tangan Komisi Pemilihan =
Umum=20
(KPU).<BR>Sementara itu, menurut Munir, ada keuntungan yang diperoleh =
elite=20
politik<BR>dan pejabat pemerintahan di Aceh dengan perpanjangan darurat =
militer=20
itu.<BR>Sebab, dengan kewenangan luas yang diberikan kepada militer =
dalam=20
status<BR>darurat militer menghancurkan kekuatan sipil seperti lembaga=20
swadaya<BR>masyarakat.<BR>"Awalnya, birokrasi di Aceh tidak setuju =
dengan=20
darurat militer. Ternyata,<BR>setelah merasakan, darurat militer =
ternyata=20
menguntungkan mereka. Kekuatan<BR>sipil hancur sehingga tidak ada protes =
terhadap para birokrat di sana.<BR>Contohnya, rakyat Aceh yang menentang =
kepemimpinan Abdullah Puteh dianggap<BR>tidak NKRI," kata =
Munir.<BR>Terkait=20
pelaksanaan pemilu di Aceh, Munir menduga tingkat partisipasi =
warga<BR>Aceh akan=20
lebih besar dibanding daerah lain. Namun, masalahnya, =
tingkat<BR>partisipasi itu=20
bukan atas kesadaran rakyat Aceh sendiri tapi cenderung<BR>bersifat=20
dimobilisasi. Artinya, kata Munir, tidak ada partisipasi rakyat<BR>Aceh =
dalam=20
pemilu yang dilaksanakan secara jujur. Tingkat partisipasi<BR>seperti =
itu juga=20
akan dijadikan parameter kemenangan oleh TNI dalam merebut<BR>hati dan =
pikiran=20
rakyat Aceh.<BR>"Parpol juga akan melakukan self censorship saat =
melakukan=20
kampanye di Aceh.<BR>Isu-isu seputar masalah penegakan hak asasi manusia =
pasti=20
tidak akan<BR>disinggung dalam kampanye parpol," katanya.<BR>Sementara =
itu,=20
Todung Mulya Lubis menyambut baik pernyataan Menko Polkam<BR>Susilo =
Bambang=20
Yudhoyono yang berjanji akan melaksanakan pemilu secara<BR>demokratis =
dan akan=20
memberi izin pemantau pemilu, baik dari dalam dan luar<BR>negeri. Namun, =
dia=20
agak meragukan niat baik itu karena status darurat<BR>militer di Aceh =
tetap=20
dipertahankan.<BR>Sebab, menurut Mulya pernyataan Menko Polkam itu =
bertentangan=20
dengan<BR>kewenangan yang diberikan kepada Penguasa Darurat Militer =
Daerah=20
(PDMD) yang<BR>tercantum dalam UU Nomor 23/1959 tentang Keadaaan =
Darurat. Banyak=20
larangan<BR>yang dapat dibuat PDMD di Aceh yang juga mematikan=20
prinsip-prinsip<BR>demokrasi.<BR>"Pada Pemilu 1999 dimana belum =
diberlakukan=20
status darurat militer, sudah<BR>banyak daerah yang tidak bisa =
melaksanakan=20
pemilu. Anggota tim pemantau<BR>pemilu di Aceh juga mendapat tekanan dan =
larangan-larangan dari aparat<BR>keamanan," katanya. Oleh karena itu, =
dia=20
mendesak pemerintah untuk<BR>menjelaskan landasan hukum terhadap =
janji-janji=20
bahwa pemilu di Aceh akan<BR>berlangsung sesuai prinsip-prinsip=20
demokrasi.<BR>Tidak Demokratis<BR>Di tempat terpisah, Ketua Komisi =
Pemilihan=20
Umum (KPU) Nazaruddin Sjamsuddin<BR>kembali mengatakan, selama Aceh =
berada dalam=20
keadaan darurat militer pemilu<BR>tidak akan berlangsung demokratis. =
Pada=20
prinsipnya pemilu adalah sebuah<BR>proses demokratis sedangkan darurat =
militer=20
adalah sebuah proses yang tidak<BR>demokratis. Kendati demikian, =
wewenang untuk=20
mencabut dan tidak mencabut<BR>keadaan darurat militer di NAD adalah =
wewenang=20
pemerintah.<BR>"Saya lihat demokrasi itu ibarat air dan darurat militer =
seperti=20
minyak.<BR>Bagaimana air dan minyak bisa bersatu," tegas Ketua Komisi =
Pemilihan=20
Umum<BR>(KPU) Nazaruddin Sjamsuddin di Jakarta, Rabu =
(12/11).<BR>Nazaruddin=20
menilai, kritik berbagai kalangan yang mengatakan bahwa pemilu<BR>tidak =
dapat=20
berjalan di NAD bila wilayah itu masih berada dalam keadaan<BR>darurat =
militer=20
adalah sesuatu yang wajar. Karena itu dia memaklumi juga<BR>bila ada=20
negara-negara asing atau kelompok-kelompok pro demokrasi di<BR>Indonesia =
yang=20
terus menerus mengatakan hal seperti itu. "Hal itu bukan<BR>suatu teori=20
melainkan semacam aksioma," ujarnya.<BR>Kendati demikian, dia bertekad =
akan=20
tetap melaksanakan pemilu di daerah<BR>konflik itu kendatipun dalam =
keadaan=20
darurat militer. Hanya saja hasilnya<BR>kemungkinan tidak sesuai dengan =
yang=20
diharapkan publik. Karena semua elemen<BR>penyelenggara pemilu tidak =
bisa=20
bergerak bebas untuk menyelenggarakan pemilu<BR>langsung, umum, bebas, =
dan=20
rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil).<BR>Ketika ditanya lebih =
lanjut=20
apakah darurat militer di NAD bisa mencederai<BR>pemilu yang demokrtis=20
Nazaruddin enggan berkomentar. "Saya tidak mengatakan<BR>itu (darurat =
militer)=20
mencederai pemilu. Yang saya katakan adalah pemilu<BR>yang demokratis =
tidak akan=20
berjalan mulus di NAD," tegas guru besar<BR>Universitas Indonesia (UI) =
itu.=20
(0-1/A-21)<BR><BR></FONT><A=20
href=3D"http://www.sinarharapan.co.id/berita/0311/13/opi02.html"><FONT=20
face=3D"Times New Roman"=20
size=3D3>http://www.sinarharapan.co.id/berita/0311/13/opi02.html</FONT></=
A><BR><FONT=20
face=3D"Times New Roman" size=3D3>Arti Perpanjangan Darurat Militer di=20
Aceh<BR><BR>Oleh Kustigar Nadeak<BR><BR>Sidang Kabinet terbatas yang =
berlangsung=20
Senin 3 November akhirnya<BR>memutuskan untuk memperpanjang status =
Darurat=20
Militer di daerah provinsi<BR>Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Keputusan =
tersebut=20
diambil berdasarkan<BR>rekomendasi hasil rapat Polkam (Politik dan =
Keamanan)=20
yang berlangsung<BR>beberapa jam sebelumnya, atau hanya 16 hari sebelum =
mencapai=20
6 bulan<BR>berlakunya Darurat Militer di Aceh. Dalam rapat Polkam =
terungkap,=20
bahwa<BR>perpanjangan itu merupakan jawaban terhadap usul Gubernur =
provinsi=20
NAD<BR>Abdullah Puteh.<BR>Apabila perpanjangan ini dikaitkan dengan =
penjelasan=20
Menko Polkam Susilo<BR>Bambang Yudhoyono hari Rabu 1 Oktober (2003) =
dapat=20
disimpulkan, bahwa secara<BR>militer operasi terpadu belum mencapai =
target.=20
Bahkan, menurut perhitungan<BR>Menko Polkam hingga bulan Oktober target =
yang=20
dicapai selama 6 bulan Operasi<BR>Terpadu baru mencapai 50 persen. =
Berdasarkan=20
perhitungan itu, maka untuk<BR>menumpas tuntas pemberontak GAM =
diperlukan waktu=20
enam bulan lagi. Data<BR>tersebut tampaknya dijadikan pemerintah sebagai =
landasan untuk memperpanjang<BR>4-6 bulan Darurat Militer di =
Aceh.<BR>Menurut=20
data sebelum operasi militer dilancarkan 19 Mei lalu, =
kekuatan<BR>bersenjata GAM=20
mencapai 5.265 anggota pasukan (SH, Jumat 9 Mei 2003) atau<BR>5.225 =
menurut=20
versi Kompas Minggu 4 Mei 2003. Sementara jumlah senjata =
yang<BR>dimiliki=20
sekitar 2.088 pucuk. Jika baru 50 persen yang berhasil ditumpas,<BR>maka =
kekuatan GAM masih mencapai sekitar 2.500 personel (bersenjata)=20
belum<BR>dihitung berapa jumlah GAM yang tidak bersenjata.<BR>Kebijakan=20
pemerinah untuk menumpas GAM sudah tepat. Teori politik<BR>membenarkan =
setiap=20
pemerintahan memerlukan stabilitas. Untuk itu setiap<BR>individu atau =
kelompok=20
yang melakukan aksi kekerasan bersenjata harus<BR>ditumpas. Efektivitas=20
pemerintahan harus diukur dari kapabilitasnya<BR>mengatasi kekuatan=20
kelompok-kelompok agresif (bersenjata), pembangkangan<BR>sipil (aksi =
kekerasan)=20
dan kelompok destruktif seperti yang belakangan ini<BR>lebih dikenal =
dengan=20
terorisme.<BR>Kemampuan pemerinah menciptakan stabilitas sangat terkait =
dengan=20
pemulihan<BR>ekonomi. Karena Indonesia sudah terlanjur dicap sebagai =
negara=20
teroris oleh<BR>negara-negara Barat, maka investor negara-negara Barat =
tidak=20
kunjung datang<BR>ke Indonesia, bahkan tidak sedikit investor yang =
meninggalkan=20
Indonesia.<BR>Bank Dunia dalam rekomendasinya berjudul ”Indonesia =
Maintaing=20
Stability,<BR>Deepening Reforms” (Report.No.25330.IND/2003) =
menekankan tentang=20
mendesaknya<BR>stabilitas politik dan keamanan diciptakan demi pemulihan =
ekonomi.<BR><BR>Duri dalam daging NKRI<BR>Patut dicatat, bahwa GAM =
merupakan=20
duri dalam daging Negara Kesatuan<BR>Republik Indonesia (NKRI). GAM =
analog=20
dengan IRA (Irish Republican Army).<BR>Pemerinah Inggris menyebut IRA =
sebagai=20
organisasi teroris yang harus<BR>dihancurkan melalui kebijakan =
”Prevention of=20
Terrorism” yang disahkan<BR>menjadi Undang-Undang 29 November =
1974. Sementara=20
tindakan darurat perang di<BR>Aceh dilakukan berdasarkan UU No.3/2002 =
tentang=20
Pertahanan Negara dan UU<BR>Keadaan Bahaya No.23/1959.<BR>Terlepas dari=20
dasar-dasar hukum yang melandasi Operasi Terpadu di Aceh,<BR>tulisan ini =
dirancang untuk mencuplik sejumlah kasus di balik perpanjangan<BR>status =
Darurat=20
Militer. Patut dicatat bahwa Darurat Militer di Aceh =
tidak<BR>semata-mata untuk=20
menumpas GAM secara militer, tetapi lebih penting dari<BR>itu, bahwa =
pendekatan=20
yang direncanakan dalam mengimplementasikan Darurat<BR>Perang adalah =
Operasi=20
Terpadu yang mencakup penegakan hukum, pembenahan<BR>pemerintahan daerah =
Aceh,=20
operasi kemanusiaan dan operasi keamanan. Artinya<BR>tidak satu elemen =
pun di=20
antara Operasi Terpadu itu yang dapat dipisahkan<BR>satu dan lain untuk =
mengukur=20
keberhasilan Darurat Militer bisa saja personel<BR>bersenjata GAM =
dihancurkan=20
tapi kalau rakyat Aceh tetap miskin, maka Operasi<BR>Terpadu dapat =
disebut=20
gagal.<BR>Kalau dilihat dari segi perimbangan kekuatan antara GAM dan=20
pasukan<BR>militer/polisi yang dikerahkan ke daerah itu, sebenarnya =
tidak ada=20
alasan<BR>bagi perpanjangan darurat militer. Tidak kurang dari 26.000 =
anggota=20
pasukan<BR>bersenjata TNI/Polri dikerahkan untuk menumpas GAM (data =
Kompas 4 Mei=20
2003).<BR>Paling tidak setiap prajurit menghabiskan dana 100.000 rupiah =
per=20
hari. Jika<BR>dihitung selama 6 bulan maka jumlah dana yang habis =
diperkirakan=20
telah<BR>mencapai 448 miliar rupiah. Data ini kurang lebih sama dengan =
dana=20
yang<BR>diminta TNI 1,2 triliun rupiah (SH,11 September 2003) yang 600 =
miliar=20
rupiah<BR>di antaranya digunakan untuk membeli peralatan militer =
termasuk=20
senjata dan<BR>kendaraan taktis. Padahal kekuatan GAM dengan senjatanya =
hanya=20
sekitar 5.000<BR>personel.<BR>Tapi kenapa TNI/Polri tidak berhasil =
mencapai=20
target? Salah satu kasus yang<BR>dapat dicatat adalah ”Operasi di =
Aceh dinodai=20
korupsi dana pengungsi”<BR>(pengakuan Komandan Satuan Tugas =
Penerngan Penguasa=20
Darurat Militer Daerah<BR>(PDMD) Kolonel Ditya Soedarsono, Senin 22 =
September=20
2003). Menurut laporan<BR>dana ini diselewengkan oleh oknum-oknum aparat =
pemerintah daerah.<BR>Dari segi teknis militer, memang sangat terkesan, =
personel=20
militer tidak<BR>semilitan pasukan GAM. Mungkin karena fasilitas yang =
lebih dari=20
cukup<BR>membuat mereka tidak militan. Sebab pada hakikatnya justru =
orang=20
yang<BR>terjepitlah yang dapat menjadi orang militan. Jadi penampilan =
militer=20
kita<BR>tidak seperti yang dibayangkan oleh para pengamat militer asing=20
yang<BR>menggambarkan, ”a more professional military would lead to =
greater=20
national<BR>security”.<BR>Enam bulan operasi militer tidak =
mencapai target.=20
Karena itu, posisi<BR>TNI/Polri di Aceh ”in the point of no =
return”. Bila GAM=20
tidak berhasil<BR>ditumpas, maka konsekuensinya, rakyat Aceh yang miskin =
akan=20
dengan mudah<BR>direkrut untuk bergabung dengan GAM. Dengan demikian GAM =
akan=20
melakukan<BR>konsolidasi kekuatan, jika Darurat Militer tidak =
diperpanjang. GAM=20
yang<BR>dianalogikan sebagai kelompok teroris idealnya harus ditumpas=20
sampai<BR>akar-akarnya.<BR><BR>Keadilan<BR>Tapi yang terkesan dilupakan, =
adalah=20
prinsip bahwa menumpas GAM tidak<BR>mungkin berhasil tanpa implementasi =
secara=20
komprehensif, intensif dan<BR>konsisten, prinsip Operasi Terpadu. =
Mungkin dalam=20
hal ini juga termasuk<BR>prinsip keadilan. Kalau Presiden Megawati =
Soekarnoputri=20
menyatakan di<BR>Majelis Umum PBB Selasa 23 September (2003), bahwa=20
ketidakadilan merupakan<BR>salah salah satu penyebab maraknya terorisme, =
maka=20
sudah semestinya<BR>Pemerintah Daerah dan Penguasa Darurat Perang di =
Aceh=20
merenungkan<BR>dalam-dalam apakah ketidakadilan bukan salah satu sebab=20
ketidakberhasilan<BR>sasaran Darurat Militer? Teori membenarkan =
kemakmuran=20
merupakan salah satu<BR>cara mengurangi aksi kekerasan. Ketika keadilan =
itu=20
ditegakkan, rakyat akan<BR>lebih mudah dapat diajak untuk turut berpean=20
menciptakan keamanan dan turut<BR>berperan memerangi =
GAM.<BR>Ketidakadilan itu=20
menjadi isu sentral, setelah pemerintah pusat memberikan<BR>dana 6,6 =
triliun=20
rupiah (pengumuman resmi pemerintah 22 Agustus 2002) kepada<BR>Aceh =
sementara=20
sudah lama disinyalir tidak seluruhnya dana tersebut<BR>digunakan untuk =
operasi=20
kemanusiaan? Ke mana dana tersebut menguap tidak ada<BR>pihak institusi =
kontrol=20
yang memberikan jawaban konkret.<BR>Salah satu substansi Operasi Terpadu =
berdasarkan Keppres No.28/2003 adalah<BR>Operasi Pemantapan Jalannya=20
Pemerintahan. Otoritas Penguasa Darurat Perang<BR>di Aceh tidak bisa =
dipisahkan=20
dari upaya pembenahan pemerintahan. Karena<BR>sebelum operasi itu =
dilaksanakan=20
sudah terbetik berita berupa dugaan<BR>Gubernur NAD Abdullah Puteh =
terlibat=20
kasus korupsi 50 miliar rupiah seperti<BR>yang diungkapkan oleh =
Koordinator=20
Samak (Solidaritas Masyarakat Antikorupsi)<BR>Kamal Farza 5 Mei (2003). =
Tetapi=20
sampai sekarang walaupun Komisi Pemeriksa<BR>Kekayaaan Penyelenggara =
Negara=20
(KPKPN) pernah menjanjikan akan melakukan<BR>pemeriksaan, tapi tidak ada =
follow=20
upnya.<BR>Merosotnya kredibilitas dan legitimasi otoritas politik di =
Aceh=20
sekarang ini<BR>dapat mengingatkan publik tentang kegagalan Orde Baru =
menumpas=20
pemberontakan<BR>di Aceh, terutama karena operasi yang dikenal dengan =
DOM=20
(Daerah Operasi<BR>Militer) tidak dilaksanakan dengan sepenuh=20
hati.<BR>Dilaporkan kepentingan bisnis militer di Aceh sebagian besar =
pada=20
bisnis<BR>perkayuan, Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau menjadi beking =
sebuah=20
perusahaan<BR>besar, PT Kayu Timbers umpamanya merupakan perusahaan yang =
didominasi<BR>kepemilikannya oleh kalangan militer.<BR>Dugaan =
penyimpangan=20
merupakan stigma dalam Operasi Terpadu dan bukan tidak<BR>mungkin =
menyeret=20
Operasi Terpadu ke jurang kegagalan, jika tidak cepat-cepat<BR>diambil =
tindakan=20
secara konprehensif. Mengakhiri tulisan ini pertanyaan =
yang<BR>barangkali saja=20
dapat mengusik pemikiran semua pihak yang terkait dengan<BR>Darurat =
Militer di=20
Aceh. Pertama, apakah perpanjangan Darurat Militer tidak<BR>justru =
memperpanjang=20
daftar kasus korupsi? Kedua, apakah tidak memperpanjang<BR>daftar =
penderitaan=20
rakyat, terutama 31.926 jiwa pengungsi yang kurang makan<BR>dan =
terserang=20
penyakit?<BR><BR>Penulis adalah wartawan<BR>senior Sinar=20
Harapan.</FONT><BR></FONT></DIV></BODY></HTML>
------=_NextPart_000_00FC_01C3ACFA.2E348060--