[Marinir] (no subject)
Hong Gie
ouwehoer at centrin.net.id
Thu May 13 06:02:41 CEST 2004
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0405/11/UTAMA/1020959.htm
Berita Utama
Selasa, 11 Mei 2004
Darurat Militer dan Nasib Rakyat Aceh
SEKITAR dua kilometer menjelang Bandar Udara Malikul Saleh dari arah Lhok
Seumawe ada sebuah tempat semacam permukiman. Di Desa Reuleut itu berdiri
beberapa rumah, di samping juga beberapa tempat pelatihan, dan dapur umum.
Di sekeliling lokasi itu memang berdiri pagar kawat berduri. Namun, dari
pintu gerbang depan orang bisa masuk dengan mudah.
Ada sebanyak 663 orang tinggal di tempat itu. Mereka adalah simpatisan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang merasa ingin kembali menjadi warga negara
Indonesia seperti umumnya.
Di tempat itu mereka bukan sekadar dibangunkan kembali kecintaannya kepada
Tanah Air, tetapi juga diberi latihan keterampilan. Ada yang dilatih membuat
mebel, ada yang diajarkan menjahit, ada yang diajarkan permesinan, ada yang
berlatih kelistrikan, ada juga yang berlatih bercocok tanam.
"Mereka yang ada di sini usianya berkisar antara 13 tahun hingga 60 tahun.
Tingkat pendidikannya pun sangat beragam, bahkan banyak juga yang tidak bisa
baca tulis. Bukan hanya buta huruf Latin, tetapi banyak yang tidak bisa
membaca Al Quran. Bayangkan, di provinsi yang menerapkan syariat Islam, ada
warganya yang tidak bisa membaca Al Quran," kata Mayor Bambang Wiranto
Prasetyo, yang menjadi komandan pusat pelatihan itu.
Oleh karena itu, di samping diajarkan keterampilan, mereka mendapat
pelajaran membaca, baik untuk huruf Latin maupun Arab. "Setelah dua bulan
berada di pusat pelatihan ini, sebagian besar dari mereka kini bisa membaca,
termasuk membaca Al Quran," ujar Bambang menambahkan.
Pelatihan itu berlangsung untuk jangka waktu tiga bulan. Angkatan pertama
sudah berakhir menjalani pendidikannya dan secara resmi pelatihan bagi
mereka ditutup oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah hari Minggu (9/5) lalu.
ABDURAHMAN, seorang peserta pelatihan, ketika ditemui suatu hari di bulan
April lalu, tampak sedang asyik mengampelas lemari buatannya. Bersama
beberapa teman, ia belajar membuat lemari. Sementara teman lain sibuk dengan
praktik pembuatan mebel lain, seperti meja dan kursi.
Sepintas tidak ada yang berbeda dari roman Abdurahman. Ia seperti umumnya
orang Aceh dengan kulit agak gelap karena tersiram cahaya matahari. Namun,
setelah diajak bicara, terasa bahwa ia bukan orang Aceh biasa. Ia sangat
fasih berbahasa Sunda.
"Muhun, abdi urang Sunda. Pun Ibu ti Sukabumi, ti Cibadak. Bapak nu ti Aceh.
Kapungkur abdi oge pernah tinggal di ditu (Benar, saya orang Sunda. Ibu saya
berasal dari Sukabumi, dari Cibadak. Bapak saya yang orang Aceh. Dulu saya
pun pernah tinggal di sana)," kata Abdurahman yang tidak merasa ragu untuk
berbicara dengan bahasa ibunya.
Abdurahman mengaku kini tinggal di Takengon. Sejak tahun 1970-an ia ikut
orangtuanya pindah ke kota di bagian selatan Aceh itu.
Kini ia merasa tidak muda lagi. Anaknya ada 10 orang dan ia harus
bertanggung jawab untuk menghidupi mereka.
"Saya hanya ikut-ikutan dan terpaksa ikut GAM karena tidak punya pilihan. Di
desa saya tidak punya banyak pilihan pekerjaan, padahal banyak anggota
keluarga yang harus saya hidupi," ujar Abdurahman mengeluh.
Anak tertuanya yang perempuan terpaksa ia minta berhenti sekolah dan
membantu keluarga mencari penghasilan. "Ia terpaksa bekerja menjadi
pembantu," kata Abdurahman.
Ia merasa menyesal ikut dalam gerakan yang mencoba memisahkan diri dari
Indonesia karena justru membuat kehidupan keluarganya semakin telantar.
Namun, semua itu kini ibarat sudah menjadi bubur.
Di tempat pelatihan, ia memilih belajar membuat mebel. Akan tetapi, ia
mengaku tidak tahu apakah pilihan itu tepat atau tidak. Sebab, setelah
keluar dari tempat itu dan kembali berbaur dengan keluarga dan masyarakat,
ia tidak yakin keterampilan baru itu akan bisa bermanfaat untuk menopang
kehidupan keluarganya.
"Saya tidak tahu apakah nanti saya akan menekuni pekerjaan ini atau tidak
sebab belum tentu juga hasil pekerjaan saya ini akan laku di pasar. Tetapi,
setidaknya saya mendapat tambahan pengetahuan dan kalaupun kelak berkumpul
dengan keluarga bisa menambah kegiatan di samping mengurusi tambak yang saya
punya di desa," kata Abdurahman.
PENDIDIKAN enam bulan bukanlah waktu lama. Apalagi bagi peserta yang tingkat
pendidikannya begitu beragam, demikian pula usianya.
Persoalan yang tidak kalah sulitnya adalah bagaimana menyalurkan mereka
setelah mengikuti pendidikan. Ketiadaan lapangan kerja formal bisa-bisa
membuat para peserta kembali dihinggapi rasa frustrasi. Apabila itu
terus-menerus terjadi, bukan mustahil mereka akan kembali memilih jalan
pintas, bergabung dengan kelompok GAM sambil berharap ada perubahan yang
tiba-tiba.
Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Lhok Seumawe Abdurachman SE sangat menyadari
persoalan itu. Satu hal yang menjadi pemikirannya adalah bagaimana tenaga
simpatisan GAM yang telah mengikuti pelatihan itu dapat disalurkan sehingga
mereka bisa merasa sebagai warga yang berguna. "Kami terus berbicara dengan
bupati untuk memikirkan hal itu. Yang sudah terbayang adalah menyediakan
sebuah ladang yang memungkinkan mereka bercocok tanam," katanya.
Setelah hampir satu tahun darurat militer diberlakukan di Nanggroe Aceh
Darussalam kondisi keamanan relatif lebih baik. Lhok Seumawe yang selama ini
seperti terkucil karena menjadi daerah konflik sekarang sudah kembali
menjadi kota terbuka. Lalu lintas menuju kota itu semakin ramai. Penerbangan
yang sebelumnya hanya sekali seminggu kini ada setiap hari. Perusahaan
penerbangan Jatayu setiap hari minimal membawa 70 penumpang dari dan menuju
Lhok Seumawe.
Persoalan yang lebih berat adalah bagaimana meneruskan pembangunan dan
kehidupan masyarakat di kota itu. Operasi terpadu yang selama ini
diberlakukan pemerintah lebih berat kepada operasi militer. Padahal, operasi
militer diyakini oleh pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak
menyelesaikan persoalan Aceh. Operasi militer hanya membantu menekan tingkat
kekerasan dan menciptakan keamanan, selanjutnya yang lebih penting adalah
bagaimana menciptakan pembangunan agar dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Pelaksanaan pembangunan itulah yang selama ini tertinggal. Seperti pengakuan
para simpatisan GAM sendiri, mereka kebanyakan memilih bergabung dengan
kelompok separatis karena pembangunan yang ada selama ini tidak memihak
kepada mereka, tidak menyapa mereka. Kebanyakan warga hanya menjadi penonton
dan tidak merasakan manfaat apa-apa.
Kondisi darurat militer akan berakhir tanggal 19 Mei mendatang. Pemerintah
Megawati Soekarnoputri dengan segala macam alasan pasti akan mencabut
kondisi itu. Pertanyaannya, apakah keputusan itu membawa perubahan mendasar
bagi masyarakat di sana. Apakah pencabutan itu membuat mereka akan bisa
lebih aman, lebih bisa memperoleh penghidupan yang layak, dan bisa lebih
sejahtera.
Terlepas dari status apa pun yang akan diambil, yang jauh lebih penting
untuk diperhatikan adalah bagaimana nasib rakyat Aceh selanjutnya. Tugas
kita semua untuk membuat pembangunan bisa menetes sampai ke bawah, tidak
hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Isu korupsi yang terjadi di provinsi itu harus segera dituntaskan. Orang
yang bersalah jangan dibiarkan terus berkeliaran. Apalagi, kemudian
berlindung di balik dicabutnya status darurat militer.
Tidak sepantasnya daerah itu miskin dan terbelakang. Bukan hanya Aceh itu
subur, melainkan sangatlah kaya. Status otonomi khusus yang mereka dapatkan
membuat mereka mendapat dana alokasi umum yang luar biasa besarnya. Namun,
itu hanya bermanfaat apabila daerah itu dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang
peduli kepada rakyatnya, bukan pemimpin yang hanya memikirkan diri sendiri,
yang hanya menikmati sendiri kekayaan dari daerahnya. (Suryopratomo)
More information about the Marinir
mailing list