[Marinir] Kisah Hatta, Syahrir, dan Pilot Amerika (1942)

rosi_wibawa rosi_wibawa at yahoo.com.sg
Sat Dec 24 03:44:07 CET 2005


Dari sebuahsejarah yang terlupakan

Mengapa kita tak belajar dari sejarah, tuk mengenang kejayaan masa lalu

lupakan dendam dan syak prasangka untuk memulai hidup baru

haruskan terjadi Tsunami untuk berubah

Mengenang satu tahun Tsunami






Kisah Hatta, Syahrir, dan Pilot Amerika (1942)

Kedua pilot AL AS itu agaknya tidak menduga bahwa bekas penumpang mereka
menjadi pribadi yang sangat terkemuka dalam pemerintahan Republik Indonesia
kelak. Inilah pengalaman pertama Hatta-Syahrir naik pesawat terbang.

Bulan Agustus 2002 adalah peringatan ulang tahun ke 100 salah seorang
proklamator Indonesia Drs. Mohammad Hatta, yang lebih dikenal dengan Bung
Hatta (1902-1980). Banyak aspek dari kehidupan Hatta yang ternyata masih
belum diketahui umum.

Kisah berikut ini adalah suatu footnote in history yang cukup menarik,
khususnya saat-saat terakhir beliau berada di pembuangan di Banda Neira,
Maluku (1936-1942), bersama Sutan Syahrir (1909-1966).

Episode tersebut adalah pertemuan Hatta dan Syahrir (yang membawa juga tiga
anak angkatnya) dengan pilot-pilot dari Angkatan Laut Amerika (AL AS), yang
hendak mengungsikan mereka keluar dari Banda Neira (awal Februari 1942).

Menariknya, walau peristiwa tersebut berjalan dengan sangat singkat - hanya
sekitar 15 jam ternyata dari penelusuran berbagai memoar para pelaku (Hatta,
Syahrir, ataupun sang pilot), mereka mengingat peristiwa tersebut dengan
baik, bahkan menyinggungnya dalam memoar masing-masing.

Hatta meyinggungnya sepanjang dua halaman dalam Memoir (1982:383-384).
Syahrir menulis panjang lebar tentang peristiwa tersebut pada 1947 tentu
saja masih dalam ingatan yang sangat segar dalam bukunya Out of Exile yang
diterjemahkan oleh Charles Wolf Jr. (1949:225-229). Edisi Indonesianya
berjudul Renungan dan Perjuangan (1990: 242-245).

Lily Gamar Sutantio, seorang anak angkat Syahrir yang ikut dalam penerbangan
tersebut, hanya mengingat sedikit mungkin karena waktu itu masih berusia 14
tahun dalam tulisannya di buku Mengenang Syahrir (1980:44-45).

Penuturan pilot Amerika dijumpai dalam buku karangan seorang sersan polisi
California, Dwight R.Messimer, In the Hands of Fate: The Story of Patrol
Wing Ten (1985: 224-226). Namun ironisnya, kedua belah pihak tetap "tidak
saling mengenal" satu sama lain, bahkan hingga keduanya wafat.

Berikut ini adalah kisah evakuasi tersebut yang didasarkan atas memoar pihak
Indonesia dibandingkan dengan sumber AS. Keduanya saling mempunyai kesalahan
dan bias. Namun dengan memperbanding-kannya, kita bisa merekonstruksi
gambaran yang lebih mendekati peristiwa yang sebenarnya. Dalam penelusuran
identitas para pilot lebih lanjut, penulis sangat dibantu oleh internet.

Banda Neira (1942)

Oleh karena aktivitas politiknya dianggap membahayakan politik kolonial,
Hatta dan Syahrir, selaku tokoh pergerakan terkemuka, dibuang oleh Belanda.
Mula-mula ke belantara Boven Digul yang ganas (Maret 1935), selanjutnya ke
Banda Neira (sejak Februari 1936). Penyerbuan Jepang ke Hindia Belanda di
bulan Januari 1942, membuat pemerintah Belanda di Batavia berpikir untuk
mengungsikan Hatta dan Syahrir ke Jawa karena khawatir mereka akan
dimanfaatkan Jepang untuk propaganda perangnya.

Pada akhir Januari 1942, penguasa militer Belanda di Banda memberitahu Hatta
dan Syahrir tentang keputusan pusat tersebut. Mereka hanya diberi waktu
beberapa hari untuk bersiap. Hatta menulis, pada hari Minggu 1 Februari
(Messimer juga menyebut tanggal tersebut, tapi Syahrir menyebut 31 Januari)
datanglah sebuah pesawat PBY-5A Catalina di Banda.

Hatta ternyata lupa menyebut bahwa pesawat tersebut milik AL AS. Uniknya,
beberapa penulis lain ikut melakukan kesalahan fakta. Penulis biografi
Syahrir dari Amerika, Rudolf Mrzek (1994:206) menulis bahwa Catalina itu
adalah one of the last Dutch bombers escaping from the eastern part of the
archipelago (satu dari bomber Belanda yang melarikan diri dari Hindia bagian
timur). Seorang anak angkat Syahrir lainnya, Des Alwi (1981:324) malah
menyebut pesawat itu dari jenis Albatros (UF-1/2).

Syahrir dan Lily menulis bahwa pesawat Catalina tersebut adalah
"satu-satunya yang tinggal" dari enam pesawat terbang Amerika yang
berpangkalan di Ambon. Awak pesawatnya mendapat perintah untuk kembali ke
Pulau Jawa dan menjemput kami dalam perjalanan pulang.

Namun, Messimer menulis hal yang sama sekali lain. Tokoh kita adalah dua
orang Letnan Muda (ensign) Guy Howard Jr. dan Harvey N. Hop, pilot dari
Skadron VP-22, yang terdiri dari 12 unit pesawat amfibi tipe terbaru
Consolidated PBY-5 Catalina. Unit ini berangkat dari Hawaii pada awal
Januari 1942 untuk memperkuat Patrol Wing Ten (Pat Wing-10), kesatuan
patroli amfibi AS yang berbasis di Filipina.

Kedua pilot Catalina itu diberi briefing di atas kapal USS Heron yang
beroperasi di sebelah timur Pulau Timor. Mereka akan terbang malam
menggunakan Catalina bernomor 22-P-14, mendarat di Banda dan kemudian
terbang ke Surabaya.

Empat puluh tahun kemudian, Harvey Hop mengenang peristiwa itu sebagai the
most terrifying experience I have ever had (pengalaman terburuk yang pernah
saya alami). Kengerian itu berdasarkan beberapa hal. Pertama, Jepang saat
itu sudah hampir menduduki Ambon, sehingga pesawat tempur mereka merajalela
di kawasan tersebut. Kedua, perairan Banda, di mana mereka akan mendarat,
sangat sempit dan terbatas.


Halangan terbesar adalah take-off di tengah gelombang besar di waktu malam
buta (pesawat mengalami lima belas bumping secara terpisah di saat menerjang
gelombang). Sebagai akibat take-off yang tidak mulus, beberapa sekrup
penyumbat terlepas dan semua pensil navigasi dipatahkan menjadi tiga untuk
menambal lubang-lubang di lambung pesawat. Lucunya, Syahrir (1990:243)
berpikir lain tentang lubang itu. " Catalina itu diserang tatkala berangkat
dari Ambon dan kami melihat lubang-lubang bekas peluru
senapan mesin Jepang". Satu setengah jam kemudian, mereka sampai di atas
Banda dan mendarat tanpa banyak kesulitan.

Kapten pesawat datang ke rumah Hatta (menurut buku Messimer orang ini adalah
Guy Howard Jr.). Messimer menulis berdasarkan wawancaranya dengan Hop bahwa
para penumpang Catalina itu adalah "lima tahanan politik yang merupakan
suatu keluarga Jawa, yang terdiri dari seorang pria dewasa
berusia sekitar 35 tahun, dua orang wanita, satu di antaranya mungkin adalah
ibunya dan dua orang anak: seorang putri yang berusia sekitar 14 tahun dan
seorang anak 8 tahun". Tentu saja deskripsi itu tidak tepat karena yang akan
berangkat adalah Hatta (40 tahun) dan Syahrir (33 tahun) serta ketiga orang
anak angkat Syahrir.

Tidak ada orang Jawa di sini karena Hatta dan Syahrir adalah orang Minang
dan ketiga anak tersebut adalah keturunan Arab dari Banda: Lily (14 tahun),
Mimi, dan Ali (3 tahun). Hop salah mengingat bahwa hanya ada satu pria
dewasa, padahal ada dua. Mungkin karena fisik Syahrir yang kecil, sehingga
diingatnya sebagai seorang wanita (maka Syahrir mendapat julukan "Bung
Kecil").

Hatta semula hendak membawa juga 16 peti berisi buku koleksinya, tapi
ditolak Howard karena keterbatasan tempat di pesawat. Hatta akhirnya hanya
membawa satu kopor pakaian ditambah satu atlas karangan Bos yang cukup
berat. Dengan sedikit kesulitan sewaktu take-off, pesawat kembali mengudara
selama 13 jam ke Surabaya (Messimer dan Syahrir memberi data yang sama
tentang lamanya perjalanan itu), sedang Hatta menulis pesawat berangkat jam
8 pagi dan sampai di Surabaya jam 6 malam). Syahrir menyebut awak pesawat
terdiri dari lima orang AL AS.

Hatta tidak banyak bercerita tentang situasi selama perjalanan. Namun
rupanya cepat terjalin suasana akrab di antara kedua pihak yang baru saja
berkenalan, walaupun ancaman serangan pesawat Jepang tetap ada.   Syahrir
(1990:243) memberikan komentarnya tentang pilot AS itu: "Yang mengherankan
aku ialah bahwa mereka sama sekali tidak gugup ataupun tegang. Mereka bicara
tentang perang dan pengalaman-pengalaman mereka dengan objektif dan lugas,
seolah-olah mereka bicara tentang pekerjaan di pabrik atau kantor mereka di
masa damai... Sebagaimana orang Amerika yang polos, mereka menganggap sudah
sewajarnya kami berjuang untuk kemerdekaan kami, dan mereka geleng kepala
ketika mendengar berapa tahun kami hidup dalam pembuangan." Orang Amerika
itu rupanya heran mendengar Hatta dan Syahrir sudah tujuh tahun berada di
pembuangan.

Insiden Surabaya

Mendarat di Surabaya, rombongan sudah ditunggu lima marinir Belanda di bawah
pimpinan seorang opsir serta hujan yang cukup deras. Opsir Belanda itu
dengan kasar memerintahkan rombongan dari Banda untuk membawa sendiri
barang-barangnya. Dengan putus asa Hatta dan Syahrir melihat bagasi mereka
yang bertumpuk-tumpuk dan baru saja diturunkan. Tidak mungkin bagi mereka
untuk mengangkat barang-barang itu semua, apalagi bagi anak-anak Syahrir
(Ali baru berusia tiga tahun!). Hatta dan Syahrir memprotes perlakuan
tersebut.

Rupanya keributan itu menarik perhatian para pilot AS. Setelah mengetahui
masalahnya, "kemudian Kapten Amerika itu menggendong Ali dengan tangannya
yang satu dan dengan tangannya yang lain ia mengangkat sepotong barang kami,
sambil memerintahkan dua orang anak buahnya sendiri yang waktu itu datang
pula mendekat, untuk menolong mengangkat bagasi kami" (Syahrir, 1990:245).
Tindakan itu mencengangkan opsir Belanda. Lalu ia memerintahkan anak buahnya
untuk mengambil barang-barang yang dibawa prajurit AS itu. Akhirnya, marinir
Belanda dan awak Catalina masing-masing membawa satu bagasi, sedangkan Ali
tetap dalam gendongan sang pilot.

"Kami mengucapkan terima kasih kepada kapten kapal terbang Catalina atas
kebaikannya", demikian Hatta mengenang (1982: 384). Sebaliknya, dalam nada
mengejek marinir Belanda itu, Syahrir (1990:245) menulis: "Orang-orang
Amerika itu melemparkan senyum geli kepada kami waktu kami meninggalkan
mereka. Salah seorang dari mereka sebenarnya seorang keturunan Belanda. Dari
kerdipan matanya kepadaku waktu berpisah, jelas bahwa ia menganggap
saudara-saudaranya sebangsa itu manusia-manusia aneh".

Patut dicatat, episode di pelabuhan Surabaya tidak diingat oleh pihak AS,
namun diceritakan oleh Hatta dan Syahrir. Orang-orang kulit putih dari suatu
negara besar AS bersedia membantu rakyat jajahan mengangkat kopor yang berat
di depan penguasa Belanda! Di pihak lain, marinir Belanda itu masih bersikap
sombong padahal mereka sudah hampir kehilangan kekuasaan. Tidaklah
mengherankan bila peristiwa itu sangat membekas di hati Hatta dan khususnya
Syahrir, yang menuliskannya dengan cukup detail.

Kemudian, bagaimanakah nasib pesawat Catalina 22-P-14 yang bersejarah itu?
Messimer (1985: 238) tidak banyak menulis tentang keberadaannya. Sehabis
evakuasi, pesawat ini masuk ke hanggar di Morokrembangan (Surabaya) untuk
direparasi. Nasib selanjutnya kurang terang, tetapi jelas hancur atau jatuh
ke tangan Jepang.


Pertama kali

Sangat disayangkan, kedua belah pihak tidak mengikuti perkembangan karir
masing-masing seusai perkenalan yang sangat singkat tadi. Kedua pilot AS itu
agaknya tidak menduga bahwa bekas penumpang mereka pernah memegang berbagai
jabatan terkemuka dalam pemerintahan Republik Indonesia.

Hatta dalam periode 1945-1956 menduduki berbagai posisi: Wakil Presiden,
Perdana Menteri, dan Menteri Pertahanan. Syahrir pada masa revolusi memegang
jabatan Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri, dan diplomat keliling di Asia,
AS, dan Eropa. Bahkan pada Agustus 1947, beliau mendapat kesempatan ke AS,
berpidato di Sidang Dewan Keamanan PBB. Menariknya, si kecil Ali yang
digen-dong oleh pilot Catalina kemudian menjadi seorang penerbang swasta
(Hanna, 1983: 142).

Lalu, apakah arti pertemuan itu dari sudut sejarah? Arti penting peristiwa
ini menurut Syahrir (1990:244) antara lain adalah pengalaman pertama Hatta
dan dirinya bepergian dengan pesawat terbang mengingat saat itu transportasi
via laut masih dominan. Namun ada juga pengaruh lebih jauhnya. Diplomat AS
Paul Gardner (1999:30), menyebut kisah di atas sebagai salah satu " dari
pertemuan yang jarang antara prajurit AS dan orang Indonesia sebab
pertemuan-pertemuan itu menggoreskan kesan yang mendalam di hati
peserta-peserta Indonesia, yang kemudian memegang peranan penting dalam
hubungan bilateral".

Walaupun sejenak, kemungkinan pertemuan itu berpengaruh pula dalam diri
Hatta dan Syahrir di saat mereka berunding dengan pihak AS pada saat
revolusi fisik (1945-1950).

Semoga cerita ini bisa menjadi tambahan renungan untuk kemajuan hubungan
Indonesia-Amerika Serikat, sekaligus mengenangkan jasa kedua pilot PBY-5A
Catalina AL AS yang ramah itu: Guy Howard Jr. dan Harvey N. Hop.(Didi
Kwartanada , Pengamat Sejarah , Perang Pasifik di Indonesia )



===========================================================



Sent: Tuesday, December 20, 2005 8:30 AM


Tulisan ini merupakan kiriman seorang teman, yang kagum atas keterangan
Sutan Syahrir pada saat perjalanan dari Banda ke Surabaya.

Sebuah kisah sejarah dari pelaku sejarah, yang menarik dan cukup terus
terang....

-marno-


_______________________________________________
Itb mailing list
Itb at itb.ac.id
http://mx1.itb.ac.id/mailman/listinfo/itb
Disclaimer : Isi tanggung jawab pembaca.





Send instant messages to your online friends http://asia.messenger.yahoo.com 


More information about the Marinir mailing list