[Marinir] [RepublikaOnline] A.Syafii Maarif: Relawan Pengangkat
Mayat
YapHongGie
ouwehoer at centrin.net.id
Wed Feb 16 11:43:19 CET 2005
Teringat beberapa waktu lalu, seorang penulis dalam surat pembacanya di
Kompas (?) mengatakan bahwa, (ringkasnya) satuan TNI Korps Marinir di Aceh
tidak melakukan apa-apa.
Pada gilirannya seorang sipil lainnya, seorang tokoh kredibel sekelas Ahmad
Syafii Maarif, yang notabene adalah pucuk pimpinan Muhammadyah, cukup dengan
dua kalimat, beliau telah mengembalikan cedera opini, bahkan memuji kinerja
kemanusiaan Satgas Marinir di Aceh.
Jalesu Bumyamca Jayamahe!
Wassalam, yhg.
---------------
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=187493&kat_id=19
Selasa, 15 Februari 2005
Relawan Pengangkat Mayat
Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Tidak habis-habisnya cerita yang menyayat tentang korban gempa dan tsunami
di Aceh. Sampai hari ini masih ribuan mayat yang belum terangkat karena
sukarnya medan dan lemahnya koordinasi di antara mereka yang terlibat.
Di samping ada relawan bayaran, lebih banyak yang datang ke daerah bencana
itu atas panggilan hati nuraninya yang tulus. Cerita dari kelompok terakhir
inilah yang ingin saya rekamkan dalam ''Resonansi'' kali ini. Mereka berasal
dari berbagai unsur, antara lain, mahasiswa pecinta alam UII Yogyakarta,
UGM, UPN Yogyakarta, relawan NTB; pelajar, antara lain, dari SMU I
Muhammadiyah Yogyakarta.
Sentuhan dari cerita itu sungguh mengusik relung hati kita yang paling
dalam.
Semula mereka merasa sangat terpukul, karena di antara mayat pertama yang
mereka angkat adalah mayat yang sudah membusuk. Mereka bingung dari sisi
mana harus dimulai, sekujur tubuhnya sarat dengan belatung yang selalu
bergerak-gerak. Baunya jangan ditanya lagi, sangat luar biasa. Akhirnya
mayat itu mereka angkat untuk kemudian dibungkus dan dikuburkan.
Selama hampir sebulan mereka bekerja secara bergiliran, dan ratusan mayat
yang sudah terangkat.
Relawan dari NTB tercatat paling setia dengan kerja kemanusiaannya selama
berminggu-minggu tanpa merasa sebagai pahlawan. Begitu juga pelajar di atas,
karena dorongan imannya telah bergabung dengan kakak-kakaknya yang umumnya
sarjana dan mahasiswa. Cerita itu bertutur selanjutnya.
Setelah pengalaman dengan belatung di atas dan hari-hari berikutnya dalam
upaya mengangkat mayat, mental mereka berubah menjadi pemberani.
Ternyata pepatah ''alah (kalah) bisa karena biasa'' mengandung kebenaran.
Rasa takut dan jijik hilang. Yang tersisa adalah dorongan kuat dan kewajiban
untuk menolong dan menyelamatkan mayat-mayat yang bertebaran.
Di antara timbunan itu ada mayat bayi yang sedang mendekap ibunya, ada
wanita hamil, ada mayat yang sudah tua renta, dan seribu satu yang lain,
tidak peduli kaya, miskin, berpangkat, atau rakyat jelata.
Semuanya disapu tsunami tanpa pilih kasih. Hanya satu dua yang selamat
berkat perlindungan dari Langit, kita tidak tahu rahasia apa yang ada di
belakangnya.
Pada waktu saya bersama Mas Sampoerno dari BPOM dan Bung Nasrullah dari
Diknas berkeliling di Banda Aceh beberapa hari setelah bencana, saya sudah
kehabisan kosa kata untuk mengungkapkan apa yang kami saksikan.
Rumah-rumah mewah rata dengan tanah, mayat-mayat terbungkus di pinggir
jalan, menanti penjemputan untuk dibawa ke kuburan massal.
Oleh sebab itu kekaguman saya kepada para relawan pengangkat mayat semakin
bertambah, sebab saya sendiri tidak mampu berbuat serupa.
Cerita lain mengatakan bahwa seorang wartawan Belanda bahkan jatuh pingsan
setelah menyaksikan bagaimana mayat-mayat itu diangkat oleh relawan.
Ini berbeda dengan cerita seorang relawan yang memikul dua mayat sekaligus,
tanpa merasa sebagai orang yang berjasa. Sikapnya polos tanpa warna.
Anda bisa membayangkan betapa ngerinya panorama yang terlihat di bumi
rencong itu.
Kini sudah berjalan sekitar 40 hari, mayat-mayat saudara kita itu masih
ribuan yang terbenam di bawah lumpur dan di bawah reruntuhan bangunan.
Mungkin yang tersisa adalah kerangka yang ditinggalkan daging, karena daging
telah menyatu dengan asalnya: tanah.
Para relawan pengangkat mayat dari Indonesia ini umumnya beragama Islam,
ada satu dua pemeluk agama lain. Ada juga seorang relawan Malaysia dari suku
India yang pada akhirnya berkomentar, ''I can no longer handle it.''
Rasa letih yang tak tertanggungkan kadang-kadang mendera mereka dalam tugas
mulia yang begitu berat dan dahsyat.
Tetapi, ada pula komentar, ''Lebih baik dan aman mengurus mayat daripada
mengurus orang hidup dengan bermacam tingkahnya.''
Bagaimana pejabat dan aparat? Berbagai pula cerita tentang mereka.
Terlalu banyak rapat tetapi koordinasi tetap lemah. Informasi yang
disampaikan ke Jakarta sering tidak akurat, seolah-olah sekian hari semua
mayat sudah akan terangkat, sesuatu yang tidak berangkat dari data lapangan.
Di antara aparat yang banyak dipuji adalah pasukan Marinir yang bersahabat
dengan dan bersikap manusiawi terhadap relawan dan rakyat pengungsi.
Sewaktu info tentang ini saya sampaikan kepada sahabat saya Mayor Jenderal
Marinir (purn) Gafur Khalik, jawabannya adalah, ''Langsung saya teruskan
kepada Dan Marinir dan KSAL.''
Tentu aparat dari angkatan lain telah pula berjasa banyak dalam proses
evakuasi mayat ini, dan sebagian tentu tidak kurang manusiawinya, kecuali
mereka yang membencanai Farid Faqih.
© 2005 Hak Cipta oleh Republika Online
More information about the Marinir
mailing list