[Marinir] [KCM] Budiarto Shambazy: "Anak Harto"
Yap Hong Gie
ouwehoer at centrin.net.id
Tue May 10 09:58:08 CEST 2005
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/10/utama/1737910.htm
Selasa, 10 Mei 2005
POLITIKA
"Anak Harto"
Budiarto Shambazy
BANYAK peristiwa yang terjadi belakangan ini, yang membuat banyak orang
lagi-lagi tercenung dan terpaksa kembali merenung. Lagu top hit pekan
lalu-dan mungkin akan tetap bertengger terus di urutan teratas minggu
depan-adalah skandal suap dan korupsi di KPU.
Penyidikan korupsi di KPU semakin hari semakin susah dicerna dengan akal
sehat. Kita dibuat bego, bingung, penasaran, dipaksa menebak-nebak, dan
seolah-olah seperti membaca buku cerita silat.
Bencana seperti tidak pernah habis-habisnya. Kini giliran virus penyakit
polio menebar mara bahaya bagi anak kita.
Reformasi telah berusia tujuh tahun, presiden pun sudah berganti-ganti.
Belakangan ini banyak orang yang mengatakan kepada saya, "Ah, mendingan
zaman Soeharto."
Kalau di zaman Soeharto, korupsi yang terjadi katanya hanya sekadar
transaksi di bawah meja. Sejak zaman reformasi, sampai meja-mejanya sekalian
diangkut dan dikorupsi.
Pak Harto kini terbaring di rumah sakit untuk pertama kalinya dalam beberapa
tahun belakangan ini. Sekitar tujuh tahun yang lalu pada bulan yang sama,
Mei 1998, Pak Harto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala negara.
Dua tokoh yang menjenguk Pak Harto adalah mantan Gubernur DKI Jakarta Ali
Sadikin dan Wakil Ketua MPR AM Fatwa. Meskipun pernah menjadi korban
politik Orde Baru, Bang Ali dan Fatwa telah memaafkan dosa-dosa Pak Harto.
Benar kata pepatah bahwa hidup seperti roda yang terus berputar. Posisi
politik Pak Harto dibandingkan dengan posisi politik Bang Ali dan Fatwa
sudah terbalik 360 derajat.
Seperti layaknya sebuah "kebetulan sejarah", kunjungan Bang Ali dan Fatwa
mau tak mau mengingatkan orang tentang terjadinya sebuah sejarah penting di
republik ini. Tanggal 5 Mei 2005 merupakan peringatan 25 tahun Pernyataan
Keprihatinan/Petisi 50.
Seperempat abad yang lalu, Bang Ali bersama 49 tokoh kawakan menerbitkan
"Pernyataan Keprihatinan". Isinya mengkritik pidato Pak Harto yang
diucapkannya dalam Rapat Pimpinan ABRI di Pekanbaru pada 27 Maret 1980
dan dalam kesempatan HUT Kopassandha di Cijantung, 16 April 1980.
Kelompok Petisi 50 terdiri dari beragam tokoh dari berbagai latar belakang
profesi. Jenderal-jenderal purnawirawan, selain Bang Ali yang ada di situ,
misalnya, Jenderal Besar AH Nasution (mantan Kepala Staf Angkatan
Bersenjata) atau Hoegeng (mantan Kepala Polri).
Politisi-politisi kawakan juga banyak, seperti tokoh Islam Mohammad Natsir,
tokoh nasionalis Manai Sophiaan, sampai perempuan pejuang kita, SK Trimurti.
Beberapa bekas aktivis perjuangan mahasiswa juga ada, seperti Judilherry
Justam (angkatan Malari) atau Bram Zakir (angkatan NKK/BKK).
ISI "Pernyataan Keprihatinan" pada dasarnya ditujukan kepada kebiasaan Pak
Harto yang tiap sebentar mengidentifikasikan dirinya Pancasila. Jadi yang
menyerang Pak Harto seolah-olah menyerang Pancasila dan dianggap sebagai
subversi yang ingin menggantikan kepemimpinan nasional.
Pak Harto marah sampai- sampai anaknya Bang Ali pun dilarang meminjam uang
ke bank. Siapa pun yang ingin Pak Harto hadir dalam pesta pernikahan anak
mereka, pada acara terkait seluruh tokoh Petisi 50 dilarang datang.
Ia melupakan sejarah bahwa Bung Karno yang menggali Pancasila. Ia memang
haus kuasa dan bersikap tak demokratis karena semata-mata ingin membangun
negara kita yang tercinta lewat Repelita.
Pada edisi terakhir rubrik ini, saya menulis sebuah kalimat, "Meskipun kedua
pemimpin (maksudnya Bung Karno dan Pak Harto) melakukan kesalahan-kesalahan,
janganlah kita melupakan jasa mereka". Namun, jangan kita lupa kepada orang-
orang di sekitar Pak Harto yang sejak awal ikut-ikutan menjerumuskan
sekaligus
memetik keuntungan.
Orang-orang itu sampai sekarang masih saja berkeliaran. Dalam bahasa Inggris
mereka disebut sebagai men for all seasons atau-dalam bahasa Indonesia
artinya para petualang musiman.
Dalam bahasa politik populer mereka disebut sebagai "cognoscenti" atau
kelompok "mahatahu" yang berkeliaran di sekitar pusat-pusat kekuasaan di Ibu
Kota. Sampai sekarang mereka masih ada di sekeliling kita dengan
menyembunyikan identitas sebagai pengurus partai politik, anggota parlemen,
pakar dan ilmuwan, bankir dan wartawan, sampai para pejabat pemerintahan.
Kelompok "cognoscenti" cuma mengenal istilah kekuasaan, kekayaan, dan
orang-orang peliharaan. Mereka menjadi pusat perhatian, sangat menguasai
ilmu "perngibulan", cepat menyabet kesempatan, dan secepat kilat kabur ke
luar negeri untuk menghindari penangkapan.
Mereka cepat berganti rupa, berpindah-pindah afiliasi politik, jago menjadi
tukang tadah, dan lihai memindah-mindahkan kredit bermasalah.
Di masa Orde Baru menjadi menteri, di masa awal reformasi menjadi anggota
parlemen, belakangan ini menjadi pemuka etnis, dan sampai kini masih
dicurigai
terlibat berbagai skandal korupsi.
Dalam dua kali pemilu tahun 1999 dan 2004 mereka mendanai sekaligus
mengotaki partai-partai yang berganti-ganti nama dan ideologi. Dalam rangka
menyelamatkan diri, mereka mampu tampil sebagai pengurus olahraga, pembina
warung tegal, atau budayawan.
Mereka tahu persis berapa banyak anggaran pembangunan yang bisa di-tilep,
berapa harga mark-up proyek, dan berapa pula tarif menyogok aparat hukum.
Mereka masih bisa menyelenggarakan korupsi berjemaah atau mabuk-mabukan
sambil menembak orang yang tidak bersalah.
Sebagian dari mereka sudah lama pergi ke alam baka ketika Pak Harto masih
berkuasa. Sebagian lagi sampai sekarang masih berkiprah dan kadang kala Anda
bisa melihat mereka di berbagai media massa.
Selama sekitar 30 tahun, mereka dengan bangga mencatut diri sebagai "anak
Harto" alias anak hasil didikan Pak Harto. Tatkala zaman berubah, mereka
cepat-cepat ganti loyalitas kepada putrinya Bung Karno.
Sekarang mereka ada bersama Pak Susilo Bambang Yudhoyono.
Wah, ciloko! (e-mail: bas2806 at kompas.com )
More information about the Marinir
mailing list