<!DOCTYPE HTML PUBLIC "-//W3C//DTD HTML 4.0 Transitional//EN">
<HTML><HEAD>
<META http-equiv=Content-Type content="text/html; charset=iso-8859-1">
<META content="MSHTML 6.00.2900.3086" name=GENERATOR>
<STYLE></STYLE>
</HEAD>
<BODY bgColor=#ffffff>
<DIV>Sumber Majalah
Panjimasyarakat.<BR><BR>
Panjimas<BR>
=================================<BR>
Negeri Kita yang Mereka
Kehendaki<BR>
=================================<BR>
<A
href="http://www.panji.co.id/plan2.html">http://www.panji.co.id/plan2.html</A></DIV>
<DIV><BR><BR> Intelijen
Asing: Ada yang berkedok pengusaha, ada pula
yang<BR> berperan sebagai
wartawan, bahkan pemantau pemilu.
Mereka<BR> mengail di air
keruh dan bermain untuk mengegolkan
calon<BR> presiden yang
mereka inginkan.<BR><BR>
Namanya Ronald, di kartu namanya tertera begitu. Ia
bekerja<BR> sebagai
direktur eksekutif sebuah perusahaan. Selain
nama<BR> perusahaannya
yang mirip sebuah perusahaan nasional,
tak<BR> terungkap di
bidang apa usahanya. Ia hanya
mengaku<BR> pengusaha dari
Belanda.<BR><BR>
Berulang-ulang ia mengontak seorang pejabat
tinggi<BR> Indonesia--yang
belakangan disebut-sebut sebagai salah
satu<BR> calon
presiden--sebut saja Pak Senior. Mereka pun
akhirnya<BR> bertemu dalam
sebuah acara makan siang. Selain soal
bisnis,<BR> tak ada
pembicaraan lain. Namun setelah tiga kali
bertemu,<BR> muncul sebuah
topik diskusi menarik di antara
mereka.<BR><BR> Ronald
mengatakan, mengapa Indonesia membuka
hubungan<BR> diplomatik
dengan Rusia dan Cina, padahal dalam
konstitusi<BR> kedua
negara itu jelas-jelas tertera bahwa mereka ateis,
tak<BR> beragama. Di sisi
lain, ia juga mempertanyakan
mengapa<BR> Indonesia
tidak membuka hubungan diplomatik dengan
Israel<BR> padahal mereka
bertuhan. Ujung-ujungnya Ronald
menawarkan<BR> Pak Senior
untuk berkunjung ke Israel. Ia menawari apakah
mau<BR> pergi secara
terbuka atau tertutup. Maksudnya, bila
memakai<BR> jalur terbuka,
ia bisa terbang langsung dari Jakarta.
Sedangkan<BR> bila
tertutup, ia dapat bertemu di Singapura, baru
kemudian<BR> mencari
penerbangan yang ke Tel Aviv. "Tapi, saya tak
mau.<BR> Kalau saya mau,
meski diam-diam pasti akan
ketahuan.<BR> Mereka juga
yang akan membocorkan," tutur Pak
Senior<BR> kepada Panji.
Benar juga. Beberapa waktu lalu,
kunjungan<BR> Abdurrahman
Wahid alias Gus Dur ke Israel juga bocor,
kendati<BR> dilaksanakan
secara diam-diam. Senin malam lalu, di layar
TPI,<BR> Gus Dur yang kini
juga jadi kandidat presiden itu
malah<BR> bercerita
tentang pengalaman yang sama seperti yang
dialami<BR> Pak
Senior.<BR><BR> Usai
pertemuan terakhir itulah Pak Senior menyimpan
syak<BR> wasangka terhadap
Ronald. Jangan-jangan…. Ia pun
jadi<BR> penasaran. Dengan
bantuan kawan-kawannya
di<BR> intelijen--barulah
terbongkar siapa si Ronald itu. Ya,
aktivitas<BR> bisnis
memang cuma kedok. Istilahnya coverjob saja.
Ronald,<BR> yang
sebelumnya menggunakan nama Laurent
Daniel<BR> Deschodt, punya
profesi lain sebagai telik sandi, alias intel.
Dia<BR> mengaku binaannya
Mossad, dinas rahasia Israel yang
disegani<BR> intel mana
pun. Ronald mengaku, kehadirannya di
Indonesia<BR> menemui
sejumlah tokoh adalah membawa misi
Israel.<BR><BR> Dari jejak
yang ditinggalkan, antara lain kartu nama, Panji
lalu<BR> menelusuri.
Alamat yang tertera ternyata sebuah rumah
di<BR> kawasan perumahan
elite Pondok Indah. Tak ada
tanda-tanda<BR> istimewa
pada bangunan bercat putih, dua lantai,
seluas<BR> kira-kira 750
meter persegi itu. Seorang satpam
tampak<BR> berbaring di
teras. Suasana terkesan sepi, terlebih
karena<BR> letaknya berada
di ujung jalan. Letaknya tak jauh dari
Padang<BR> Golf Pondok
Indah.<BR><BR> Rumah itu
memang dwifungsi, rumah-kantor. Anehnya, orang
di<BR> rumah bernama Dewi
yang mengaku stafnya, tidak
mengetahui<BR> persis
kegiatan bisnis Ronald. "Kayaknya sih semacam
bisnis<BR> elektronik,"
tutur Dewi yang mengaku baru bekerja
beberapa<BR> bulan. Dalam
bekerja, Ronald dibantu oleh beberapa staf
yang<BR> semuanya orang
Indonesia. Tapi dalam bisnisnya,
ia<BR> menanganinya
sendiri. "Itu Mister Ronald langsung
yang<BR> handle," kata
Dewi. Sayang, Ronald, menurut pengakuan
Dewi<BR> tengah ke luar
negeri.<BR><BR> Dari
pelacakan tim investigasi Panji, selain Ronald juga
ada<BR> agen lain yang
sering kontak dengan sejumlah tokoh. Terakhir
ia<BR> bernama Briand
Schomend Berg yang selama ini
mengaku<BR> sebagai
pengusaha di bidang pertambangan emas. Ia
seorang<BR> Yahudi yang
menjadi agen Amerika. Sudah lama ia
berkeliaran<BR> di Jakarta
dan sejumlah kota lain. Tapi sepak terjang agen
CIA<BR> ini sudah tercium
aparat. Kini, menurut sumber Panji di
TNI,<BR> sebut saja Mr.
Bond, ia tengah dicari untuk
segera<BR>
di-personanongrata-kan. Alasannya, tentu bukan
karena<BR> aktivitas
intelijen, melainkan soal administrasi imigrasi.
Ketika<BR> Panji mengontak
ke rumahnya, ia sudah pindah. "Sudah
tidak<BR> tinggal lagi di
sini," kata seorang ibu di rumah di
kawasan<BR> Kebayoran
Baru. Telepon genggamnya juga seperti sudah
lama<BR> tak
aktif.<BR><BR> Sumber
Panji di badan intelijen negara juga menyebut
dugaan<BR> miring terhadap
sebuah lembara riset asal AS,
RAND<BR> Corporation
(Research, Analysis, and Development)
yang<BR> selama ini
bergerak di bidang konsultan. "Kebanyakan
dari<BR> orang-orang di
lembaga itu berperan ganda sebagai
agen,"<BR> kata si sumber.
Di Indonesia, RAND banyak bekerja
sama<BR> dengan lembaga
penelitian demografi sebuah
universitas<BR> kondang.
Tetapi, menurut seorang staf di lembaga itu,
RAND<BR> sekarang sedang
tidak aktif di Indonesia. Biasanya
mereka<BR> datang kalau
sedang ada proyek di sini. Kerja mereka
lebih<BR> pada pencarian
data-data. "Mereka memang lebih
banyak<BR> mencari data,
mencakup semua masalah," kata sumber
itu.<BR><BR> Intel
Bermain. Selidik punya selidik, sejak beberapa
bulan<BR> sebelum pecah
tragedi Trisakti, orang macam Ronald
atau<BR> Briand, diyakini
banyak berkeliaran. Mereka berasal
dari<BR> berbagai negara,
terutama Amerika Serikat, Inggris,
Israel,<BR> Cina, Jepang,
dan Jerman. Misi mereka
bermacam-macam.<BR> Yang
terbilang ringan adalah mengamankan warga
negaranya<BR>
masing-masing kalau terjadi sesuatu di Indonesia.
Mereka<BR> punya aturan
sendiri tentang bagaimana cara
evakuasi<BR> dilakukan.
Nah, penentuan kapan dan bagaimana, itu
sangat<BR> bergantung
hasil kerja intel.<BR><BR>
Namun misi demikian biasanya dilakukan agen
resmi<BR> pemerintah.
Yakni, mereka yang berasal dari atase
pertahanan<BR> setiap
negara. Atau mungkin juga dilakukan oleh agen
setengah<BR> resmi,
misalnya seorang pejabat di kedutaan atau imigrasi
yang<BR> juga merangkap
sebagai agen.<BR><BR> Lain
halnya dengan agen yang banyak gentayangan
belakangan<BR> ini. Mereka
adalah agen-agen tak resmi. Operasinya
tidak<BR> dikoordinasi
oleh kedutaan, tetapi terkait langsung
dengan<BR> lembaga
intelijen di negerinya. Termasuk dalam kelompok
inilah<BR> Ronald dan
Briand.<BR><BR> Sumber
Panji di sebuah lembaga intelijen, sebut saja Mr.
Spion,<BR> menuturkan
bagaimana ketika menjelang jatuhnya
Soeharto<BR> banyak sekali
intel asing yang datang. Bahkan, kala itu
Armada<BR> Ketujuh Amerika
sudah merapat di seputar Jakarta.
Misi<BR> utamanya
mengevakuasi warga Amerika. Tetapi, ia
juga<BR> membawa banyak
sekali intelijen. "Itu saya tahu
karena<BR> ditelepon dari
kenalan saya di CIA yang bekerja di
Bangkok,"<BR> kata Mr.
Spion.<BR><BR> Untuk bisa
ikut andil dalam perkembangan politik,
mereka<BR> punya kontak
dengan sumber-sumber penting. Para
pengambil<BR> keputusan,
aktivis, tokoh politik, bahkan pengusaha.
"Mereka<BR> menjadi tahu
lebih dulu. Lebih cepat memprediksi apa
yang<BR> bisa dilakukan
sebelum kejadian pecah," lanjutnya. Mr.
Spion<BR> malah sempat
terbengong-bengong karena
sudah<BR> mendapatkan
informasi akan ada kerusuhan di
Ambon<BR> beberapa hari
sebelum kejadian. "Informasi itu justru
datang<BR> dari kenalan
berkebangsaan asing,"
katanya.<BR><BR> Banyak
kejadian aneh yang disinyalir--bukan
tak<BR>
mungkin--melibatkan agen luar negeri. Insiden Krueng
Geukeuh,<BR> Aceh,
misalnya. Insiden itu pecah pada pukul 13.00 WIB.
Tapi<BR> Komite Palang
Merah Internasional (ICRC) pada pukul
08.00<BR> WIB sudah minta
ke puskesmas agar menyiapkan dua
ambulan.<BR> "Bagaimana
mereka tahu akan terjadi pertumpahan
darah?"<BR> ujar Panglima
TNI Jenderal Wiranto, yang
kemudian<BR> berkesimpulan
ada rekayasa di balik peristiwa itu.
Terlebih<BR> peluru yang
ditemukan, menurut Wiranto, tidak dimiliki
TNI.<BR><BR> Kecurigaan
itu belakangan ditepis Wakil Kepala
Delegasi<BR> Regional ICRC
untuk Indonesia, Pierre Gerber. ICRC,
menurut<BR> dia,
sebelumnya menerima telepon dari seseorang yang
tak<BR> mau disebutkan
jati dirinya. Ia memberitahukan bahwa
ada<BR> aparat keamanan
datang ke Desa Krueng Geukeuh
untuk<BR> melakukan
investigasi dan beberapa orang telah
diperlakukan<BR> kasar.
Begitupun, misteri semacam itu jadi
mencurigakan.<BR><BR> Di
Timor Timur, rektor Universitas Timor Timur bahkan
sempat<BR> menuding
wartawan asing berada di balik demo di
universitas<BR> tersebut.
Indikasinya, seperti diberitakan media massa,
para<BR> wartawan itu
selalu berada di lokasi, bahkan ketika demo
belum<BR>
berlangsung.<BR><BR> Dua
kasus "kecil" itu mungkin hanya indikasi adanya faktor
lain<BR> yang harus
diperhitungkan. Merebaknya aksi kerusuhan
yang<BR> berakhir dengan
misteri--selain menggambarkan betapa
aparat<BR> tak serius
menangani--tak tertutup kemungkinan memang
ada<BR> pihak di luar yang
ikut bermain. Membongkar siapa mereka?
Ini<BR> pekerjaan yang
jauh lebih ruwet.<BR><BR>
Sulit Dibuktikan. Gerakan mereka umumnya sulit
terdeteksi,<BR> kecuali
oleh sesama intel. Mereka biasanya
berhubungan<BR> dengan
banyak orang Indonesia yang dianggap punya
pengaruh<BR> dan jaringan
luas. Mereka ini akan memberikan informasi
atau<BR> mengipasi tokoh
itu, untuk kemudian
instruksi-instruksinya<BR>
dijalankan oleh orang Indonesia. "Cuma, pembuktiannya
yang<BR> sulit bukan
main," kata Mr.
Spion.<BR><BR> Biasanya
mereka bekerja dalam tim, tidak lebih dari lima
orang,<BR> dan selalu
memakai coverjob untuk penyamaran. Yang
paling<BR> banyak dipakai
adalah pengusaha. Lalu, bila situasi
sudah<BR> genting kerap
mereka menyamar sebagai wartawan.
"Dengan<BR> label
wartawan, mereka bisa punya akses ke mana
saja,"<BR> katanya. Ada
beberapa indikasi untuk membedakan
mana<BR> wartawa beneran
dan mana yang intel. Wartawan
beneran<BR> biasanya
menggunakan tenaga lokal untuk membantu,
baik<BR> sebagai sopir
atau penunjuk jalan. Sedangkan "wartawan
intel"<BR> selalu bekerja
sendiri. Dan medianya kadang tidak dikenal.
Mr.<BR> Spion juga
menuturkan, belakangan ada juga yang
datang<BR> berkedok
sebagai pemantau
pemilu.<BR><BR> Peliknya
lagi, mereka beroperasi silih berganti. Biasanya,
yang<BR> datang dua minggu
sekali atau tergolong rutin adalah agen
yang<BR> bergerak di
bidang aksi langsung. "Kalau mereka datang,
ya<BR> memberi dana
pergerakan, atau memberi support lain," ujar
Mr.<BR> Spion. Hanya agen
yang menyamar sebagai usahawan
dan<BR> menetap di
Indonesia saja yang mudah terdeteksi. Tapi,
untuk<BR> penguntitan pun
aparat kita kewalahan. "Perlu dana dan
tenaga<BR> yang besar,"
katanya. Konyolnya lagi, alat-alat yang
dipakai<BR> untuk
mendeteksi atau menyadap mereka sudah
diketahui<BR> pihak asing.
"Soalnya yang memproduksi kan mereka.
Mereka<BR> sudah
menyiapkan bagaimana mengaburkannya,"
katanya<BR> sambil tertawa
pilu.<BR><BR> Agen-agen
asing ini memang dihadapi dengan counter
intelijen.<BR> Cuma,
persoalannya tidak sesederhana itu. "Mau dijerat
dengan<BR> tuduhan apa?
Paling-paling ya
di-personanongrata-kan,"<BR>
katanya. Ia lantas menyebut seorang staf kedubes asing
yang<BR> diusir karena
ikut mengorganisasi demonstrasi buruh.
Seorang<BR> agen yang
menyamar sebagai wartawan ini tertangkap
ketika<BR> ikut
menggerakkan demonstrasi. Ia mengaku dari
Jepang.<BR><BR> Mr. Spion
juga mengingatkan bahwa yang perlu
diwaspadai<BR> adalah
orang lokal yang bertindak sebagai agen asing. "Itu
yang<BR> berbahaya, karena
sulit dilacak," katanya. Ia
mencontohkan<BR> Anton
Ngenget yang dipakai sebagai agen oleh CIA dan
KGB.<BR> Kepada Panji,
Anton sendiri mengakui bahwa dirinya
pernah<BR> dipakai CIA dan
KGB. Dan, ia juga membuat peta intelijen
yang<BR> berperan saat
ini.<BR><BR> Namun,
pengamat Indonesia Daniel Lev tak percaya agen
asing<BR> berperan dalam
peristiwa politik yang menimpa
Indonesia.<BR> "Saya tidak
percaya," ujarnya. Kalau dulu di era Perang
Dingin,<BR> mungkin saja,
tapi kini tidak. "Mereka hanya memikirkan
utang<BR> dan pasar
Indonesia."<BR><BR>
Target. Nah, mengapa agen-agen berebut masuk
ke<BR>
Indonesia?<BR><BR> Ada
beberapa hal yang membuat mereka
berkepentingan<BR>
terhadap Indonesia. Selain lokasinya yang strategis
dan<BR> memiliki sumber
daya alam yang sangat kaya,
Indonesia,<BR> dengan
penduduk yang besar, adalah pasar yang
potensial.<BR> Satu hal
yang membuat pihak asing, terutama
negara-negara<BR> Barat,
punya kepentingan terhadap suatu negara
adalah<BR> besarnya jumlah
penduduk yang beragama Islam.
Setelah<BR> runtuhnya
komunis, Islam merupakan musuh bersama
Amerika,<BR> Israel, dan
negara-negara
Barat.<BR><BR> Kehadiran
agen Israel misalnya, selain membawa misi
untuk<BR> membuka hubungan
diplomatik, mereka juga
ingin<BR> membendung
ekspansi kekuatan Jerman--yang dekat
dengan<BR> Presiden
Habibie--yang mulai menguat di Indonesia.
Tengok<BR> saja sepak
terjang Habibie yang mesra dengan
Jerman.<BR> Misalnya soal
keterlibatan Bundesbank yang cukup besar
di<BR> sini. Jerman dengan
Israel adalah musuh bebuyutan.
Sebagai<BR> negara
berpenduduk mayoritas Islam terbesar di dunia,
dan<BR> punya pengaruh,
Indonesia ingin dimanfaatkan Mossad
untuk<BR> kepentingan
Israel.<BR><BR> Amerika
juga punya banyak sekali kepentingan
terhadap<BR> Indonesia.
Selain beberapa faktor yang telah disebut di
atas,<BR> AS sangat
khawatir terhadap menguatnya kelompok Islam
di<BR> sini. Ketika
bertemu Amien Rais di Hotel Borobudur tempo
hari,<BR> yang ditanyakan
Madeline Albright, menlu AS, adalah
tentang<BR> gerakan NII
(Negara Islam Indonesia). Sebagai
negara<BR> kuat--dengan
mampu menggenggam Indonesia--AS juga
ingin<BR> menunjukkan
superioritasnya di kawasan Asia
Tenggara.<BR><BR> Semua
itu merupakan target-target jangka panjang. Dan,
untuk<BR> mewujudkan itu
ada langkah-langkah jangka pendek. Yakni, </DIV>
<DIV> soal penentuan
siapa yang bakal memimpin bangsa
ini.<BR><BR> Memilih
Presiden. Mr. Spion mengungkapkan, pihak
asing<BR> selalu
berkepentingan terhadap siapa yang akan
muncul<BR> menjadi
pemimpin. Tak terkecuali dalam proses
pergantian<BR>
kepemimpinan di Indonesia sekarang ini. "Mereka ingin
punya<BR> akses, karena
itu ikut mendukung satu kekuatan," katanya. </DIV>
<DIV> Cara yang
ditempuh mulai dari yang paling kasar sampai
memberi<BR> bantuan dana
yang tak terbatas. "Makanya mereka
bekerja<BR> makin keras,"
ujarnya.<BR><BR> Ia pun
merasa yakin, agen-agen itu sudah
membina<BR> orang-orang di
sekitar calon pemimpin bangsa.
Cuma,<BR> pembuktiannya
memang sulit sekali karena kerja
mereka<BR> secara sistem
sel, juga sangat tertutup dan sengaja
tidak<BR> meninggalkan
bukti. Indikasinya bisa dilihat. "Kok ada
partai<BR> yang dulu kecil
bisa tiba-tiba besar, dananya dari
mana?"<BR> katanya penuh
selidik.<BR><BR> Amerika
Serikat dan sekutunya, Inggris dan tentu
Israel,<BR> termasuk
agresif menggalang hal ini. Sejarah
membuktikan<BR> jatuhnya
Soekarno--dan mungkin juga Soeharto--tak lepas
dari<BR> ikut campurnya
AS. Sejarah kini berulang. "Mereka kini
tengah<BR> menyaring,
siapa di antara mereka yang paling
bisa<BR> dikendalikan,"
ujar seorang pejabat Departemen Luar
Negeri,<BR> sebut saja
Bung Data.<BR><BR> Mereka
tentu telah menjajagi, siapa tokoh yang paling
cocok,<BR> untuk kemudian
didukung. Gus Dur, Megawati, Habibie,
ataukah<BR> Amien Rais?
Atau mungkin Sri Sultan. Banyak
analisis<BR> berseliweran.
Bolak-balik Amien Rais ke AS, dan di sana
ia<BR> dipuji Henry
Kissinger sebagai tokoh masa depan,
diprediksi<BR> banyak
orang sebagai dukungan. Tapi ada juga yang
melihat<BR> justru AS
lebih cenderung memilih
Megawati.<BR><BR> J.
Stapleton Roy mengelak dirinya memberi dukungan
pada<BR> satu orang.
"Rakyat Indonesialah yang memilih," ujarnya.
(Lihat:<BR> Amerika Tidak
Punya Pilihan). Namun, bukan rahasia
kalau<BR> selama ini
pemerintah AS kurang hangat menerima
tampilnya<BR> Habibie,
yang kerap diidentikkan dengan simbol Islam.
Konon,<BR> sudah berulang
kali Habibie menunjukkan hasratnya
untuk<BR> bertemu Clinton,
tapi tak pernah diladeni. Namun hal ini
ditepis<BR> pihak AS.
"Kami mengakui pemerintahan ini," ujar
Craig<BR> Stromme, atase
pers Kedubes AS. "Dan, kami tidak
punya<BR> calon presiden
untuk rakyat Indonesia,"
ujarnya.<BR><BR> Habibie
yang condong ke Jerman tentu menjadi musuh
berat<BR> Israel. Mereka
tentu tidak menghendaki
Habibie--terlebih<BR>
belakangan lebih banyak memunuculkan identitas
Islam--yang<BR> naik
kelak. Sebagai rekan bersekutu, CIA tentu akan berdiri
di<BR> posisi yang sama
dengan Mossad. Kalaupun ada
dukungan<BR> Amerika
kepada Habibie, pasti ini berkat lobi
Jerman.<BR> Sebaliknya,
Jerman, kalau melihat fenomena selama ini,
tentu<BR> akan lebih
condong ke
Habibie.<BR><BR>
Kecenderungan AS atau negara asing lainnya, terutama
Eropa,<BR> akan figur
presiden Indonesia mendatang wajar saja.
Menurut<BR> pengamat luar
negeri Riza Sihbudi, agen-agen
asing<BR> itu--terutama
dari AS--tentunya menghendaki
pemerintahan<BR> yang
sekular, yang Islamnya tidak kental. Tapi siapa.
Tak<BR>
terungkap.<BR><BR> Namun
dalam pengamatan Bung Data dari Departemen
Luar<BR> Negeri, hingga
kini AS belum memiliki kandidat pilihan. Ia
masih<BR> melihat-lihat
situasi. Negeri itu paling takut kalau
Indonesia<BR> dipimpin
oleh mereka yang punya akar. Maka, ia
cenderung<BR> akan
menyukai pemimpin yang tidak berakar. Ibarat
kembang<BR> teratai yang
mengambang di air. Padahal, nyatanya dari
seluruh<BR> kandidat yang
ada, hampir semuanya punya akar yang
kuat.<BR><BR> Ada baiknya
para calon presiden yang tentu berharap
dukungan<BR> dari luar
negeri itu belajar dari pesan presiden
pertama<BR> Soekarno.
"Kalau pemimpin Indonesia dicaci maki
Barat,<BR> berarti
pemimpin yang benar bagi Indonesia, tapi
kalau<BR> dipuji-puji,
hati-hati." Ya, para pemimpin kita memang
harus<BR> waspada. Mereka
harus tahu gawang mana yang mesti
dituju.<BR> Siapa pun,
jangan terjebak dalam perangkap orang lain.
Karena<BR> kita kaya, maka
negara lain menghendaki Indonesia terus
sakit,<BR> tapi tidak
mati. Dalam kondisi itulah kita akan di bawah
kendali<BR> negara lain.
Jangan mudah terbujuk tawaran manis
orang<BR> macam Ronald dan
Briand yang akan terus
mengusik<BR> ketenangan
kita. ###<BR><BR>
------------------------------------------------------------<BR>
Laporan: Pracoyo Wiryoutomo, Budiyono, Agung Y.
Achmad,<BR> Elly Burhaini
Faizal, dan Masad T.</DIV></BODY></HTML>