[Nasional-a] "draft dokumen IBSAP bag. 4/8

Harry Surjadi nasional-a@polarhome.com
Tue Aug 20 07:34:43 2002


"draft dokumen IBSAP bag. 4/8

BAB III.  KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA: POTENSI DAN PERMASALAHANNYA

3.1. 	Posisi Indonesia dalam Peta Keanekaragaman Hayati Dunia
Sebagai sebuah negara kepulauan yang terletak di garis khatulistiwa, Indonesia
menduduki posisi yang penting dalam peta kekayaan keanekaragaman hayati dunia
tidak hanya karena kelimpahan keanekaragaman hayatinya namun juga karena
keunikan atau endemismenya.  Iklim tropik yang stabil di kawasan kepulauan
Indonesia menyebabkan Indonesia termasuk dalam tiga besar dari sepuluh negara
dengan kekayaan keanekaragaman hayati terbesar (mega diversity countries),
bersama dengan Brazil dan Zaire (Primack et al, 1998).     

Indonesia juga merupakan negara kepulauan yang terletak dalam lintasan
distribusi keanekaragaman hayati benua Asia (Pulau Jawa, Sumatera serta
Kalimantan) dan benua Australia (Pulau Papua) dan sebaran wilayah peralihan
Wallacea (Pulau Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara) sehingga keanekaragaman
hayati yang tersebar di pulau-pulau Indonesia juga memiliki tingkat kekhasan
yang tinggi.   Tabel 1 menggambarkan posisi penting Indonesia dalam peta
keanekaragaman hayati dunia tersebut.

Tabel 1.  Peringkat kekayaan keanekaragaman hayati spesies antar negara di dunia
Urutan	Binatang menyusui	Burung	Amphibi	Reptil	Tumbuhan berbunga
1	Indonesia	Kolombia	Brazil	Meksiko	Brazil
2	Meksiko	Peru	Kolombia	Australia	Kolombia
3	Brazil	Brazil	Ekuador	Indonesia	Cina
4	Zaire	Indonesia	Meksiko	Brazil	Meksiko
5	Cina	Ekuador	Indonesia	India	Australia
6	Peru	Venezuela	Cina	Kolombia	Afrika Utara
7	Kolombia	Bolivia	Peru 	Ekuador	Indonesia
8	India	India	Zaire	Peru	Venezuela
9	Uganda	Malaysia	Amerika Serikat	Malaysia	Peru
10	Tanzania	Cina	VenezuelaAustria	ThailanPapua Nugini	Bekas Uni soviet

Sumber: Conservation International dalam Primack et al (1998)
Tingginya kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia ini juga dipengaruhi oleh
luas wilayahnya yang mampu mewadahi tidak kurang dari 47 tipe ekosistem yang
berbeda (Bappenas, 1993). Luas wilayah lautan Indonesia mencakup areal seluas 31
juta km2.  Di dalamnya tersimpan terumbu karang seluas 50.000-85.000 km2, atau
berkisar antara 12-15% total luas terumbu karang dunia,  dengan tidak kurang
dari  452 spesies karang pembentuk terumbu.  Garis pantai pantainya membentang
sepanjang sekitar 81.000 km dengan tutupan hutan mangrove seluas 5,2 juta hektar
pada tahun 1982 yang pernah mencapai 76% luas hutan mangrove Asia Tenggara dan 
27% mangrove dunia. 

Hutan Indonesia juga mempunyai posisi yang strategis.  Kawasan hutan yang pernah
mencapai lebih dari 140 juta hektar pada tahun 1950-an (Forest Watch
Indonesia/Global Forest Watch , 2001) hingga pertengahan dekade 1990-an masih
memiliki empat persen sisa frontier forest  (luasan hutan alam yang besar,
lengkap secara ekologis dan relatif tidak terganggu dimana proses-proses
ekologis dan suksesi alami bisa terus berlangsung dengan baik) dunia atau hampir
dua kali lipat luasan yang dimiliki Zaire (Bryant, Nielsen dan Tangley, 1997).
Kawasan hutan Indonesia, bersama dengan India, Malaysia, Myanmar dan Filipina di
Asia,  juga merupakan salah satu dari 20 kawasan hutan tropik yang menjadi 
prioritas penanaganan Bank Dunia pada tahun 1991 (World Bank, 2000)
Selain itu, Indonesia sebagai bagian terbesar dari kawasan Indo Malaya merupakan
salah satu dari 12 pusat distribusi sumberdaya genetik tanaman atau yang lebih
dikenal sebagai Vavilov Centre.  Indonesia juga merupakan pusat keanekaragaman
tanaman budidaya yang asal usulnya bukan dari Indonesia, seperti pisang, sagu,
teh, tebu serta berbagai spesies tanaman komersial lain beserta
varitas-varitasnya (World Bank, 2001)  .

3.2.	Lemahnya Pengelolaan dan Laju Kerusakan Keanekaragaman Hayati 
Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk melindungi kekayaan keanekaragaman
hayati tersebut melalui penciptaan kerangka kelembagaan sektoral di tingkat
pusat.  Semasa Orde Baru, Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian
Alam Departemen Kehutanan diberi tanggung jawab untuk melakukan perlindungan dan
konservasi eksositem alami di  kawasan-kawasan konservasi.  Departemen ini
mendukung peran Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup yang
diberi tanggung jawab untuk menyusun strategi pelestarian keanekaragaman hayati
Indonesia dan pengintegrasiannya dalam pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh
sektor-sektor lain, seperti Departemen Pertanian, Departemen Pertambangan,
Departemen Transmigrasi, Departemen Pekerjaan Umum, maupun dalam perencanaan
pembangunan regional yang disusun oleh Bappenas dan Bappeda (Bappenas, 1993).
Berbagai upaya positif telah dilakukan untuk melestariakan keanekaragaman hayati
nasional.  Departemen Kehutanan melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan tahun 1984
telah menyisihkan hutan seluas 18.725.215 hektar sebagai kawasan konservasi
(Dirjen Pengusahaan Hutan, 1997).  Jejaring dari 366 kawasan konservasi yang
mencakup 24 taman nasional serta kawasan konservasi laut dan perairan juga telah
dibangun dan dikelola (Departeman Kehutanan dan FAO dalam Bappenas, 1993). 
Pemerintah Indonesia juga telah  berperan aktif dalam skema-skema konservasi
global, seperti Konvensi Ramsar, untuk perlindungan lahan basah maupun CITES
untuk memantau keberadaan dan kecenderungan populasi spesies-spesies yang
diperdagangkan (Bappenas, 1993). 

Hanya saja upaya pengelolaan lestari keanekaragaman hayati  yang lebih terpusat
pada penerapan konservasi in situ dan penciptaan kawasan konservasi ini tidaklah
mampu menahan laju kerusakan keanekaragaman hayati.  Secara rerata, pada tahaun
1986 hanya 55,8 persen dari luas ekosistem asli yang masih tersisa di Indonesia,
dimana luas ekosistem asli yang tersisa di Sumatera, Jawa Bali dan Nusa Tenggara
berada di bawah rerata nasional.  Bahkan di Jawa Bali luasan asli yang tersisa
hanya mencapai 9 persen (MacKinnon and MacKinnon dalam Bappenas, 1993)
Laju deforestasi hutan Indonesia diperkirakan berkisar antara 600.000-1.315.000
hektar/tahunnya pada dekade 1980-an (Sunderlin dan Resosudarmo, 1997). 
Kerusakan di kawasan pesisir dan laut juga dapat dilihat dari luas hutan
mangrove yang  menurun drastis dari 5,2 juta hektar pada tahun 1982, menjadi 3,2
hektar pada tahun 1987 dan menciut lagi menjadi 2,4 juta hektar pada tahun 1993
akibat maraknya konversi bagi kegiatan budidaya.  Ekosistem terumbu karang juga
terancam oleh pencemaran dan sedimentasi, penambangan karang, serta praktek
penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing).  Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar terumbu karang Indonesia telah berada dalam
kondisi rusak (Bappenas, 1993). Inventarisasi yang dilakukan oleh badan-badan
internasional, seperti IUCN, menunjukkan 126 spesies burung, 63 spesies binatang
menyusui, 21 spesies reptil dan 65 spesies binatang lainnya berada di ambang
kepunahan pada tahun 1988 (Bappenas, 1993).

Berbagai masalah struktural dalam pengelolaan sumberdaya alam mendorong berbagai
bentuk kerusakan habitat dan pemanfaatan berlebih yang mengancam kelestarian
keanekaragaman hayati Indonesia serta mementahkan upaya-upaya pengelolaan
lestari yang telah coba diterapkan.  Pangkal dari semua ini adalah tidak
terakomodasikannya kepentingan pengelolaan lestari keanekaragaman hayati dalam
paradigma pembangunan serta kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya alam yang
berlangsung.    Pemerintah memandang sumberdaya alam sebagai sumberdaya yang
berharga untuk dilikuidasi dalam rangka perolehan devisa, percepatan pertumbuhan
ekonomi serta diversifikasi basis perekonomian (Deuvergne dalam Sunderlin dan
Resosudarmo, 1997)  Inilah yang menyebabkan erosi keanekaragaman hayati
meningkat seiring dengan melajunya pertumbuhan 

Paradigma ini kemudian mendorong pemerintah untuk melakukan sentralisasi
pelaksanaan pembangunan dan penguasaan sumberdaya pembangunan, termasuk
sumberdaya alam (Barber, 1996).  Sentralisme ini, seperti yang dirumuskan oleh
para pihak (stakeholders) pada Konferensi Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam
tahun 2000,  membawakan karakter struktural lain dalam pengelolaan sumberdaya
alam yang menegasikan kepentingan pengelolaan lestari keanekaragaman hayati,
yaitu:

1.	Dominasi hak menguasai negara dalam pengelolaan sumberdaya alam.  Dominasi
ini diperlukan untuk mendorong pengusahaan komersial skala besar dan memudahkan
proses likuidasi sumberdaya alam (Noer Fauzi, 1999).  Dominasi ini dilakukan
dengan memarginalkan, bahkan acap mengeliminir, hak kelola rakyat terhadap
sumberdaya alam.  Proses pengelolaan sumberdaya alam kemudian menjadi tertutup
dan  tidak transparan karena mengeluarkan masyarakat dari arus pengambilan
keputusan (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997) .

2.	Pendekatan parsial yang bertumpu pada pertumbuhan sektoral.  Orientasi pada
pertumbuhan sektor menyulitkan integrasi perencanaan karena tiap sektor akan
bersaing untuk tumbuh lebih cepat.  Sektor cenderung untuk mengabaikan kebijakan
atau regulasi dari kewenangan di luar perencanaan sektornya yang bisa menghambat
fungsi sektor tersebut untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Inilah yang menyebabkan
koordinasi lintas sektoral dalam pengelolaan sumberdaya alam menjadi sulit
(Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2002)  terlebih ketika lembaga yang
diberi tanggung jawab untuk melakukannya, Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup, dipandang memiliki kekuatan yang tidak setara 

3.	Tidak efisiennya pengelolaan sumberdaya alam. Inefisiensi ini didorong oleh
tumpang tindihnya hak dan kewenangan atas sumberdaya alam serta inkonsistensi
antar produk hukum dan peraturan perundangan yang menyebabkan terjadinya ekonomi
biaya tinggi dalam pengelolaan serta memicu perilaku pencarian rente jangka
pendek akibat ketidakpastian yang tinggi.

4.	Penggunaan kekuatan ekstra yudisial (militer) untuk menangani konflik. 
Sentralisme, diabaikannya hak kelola dan partisipasi rakyat, serta parsialnya
pendekatan sektoral  dalam pengelolaan sumberdaya alam menyebabkan ketidakadilan
dan maraknya konflik.  Konflik yang terjadi umumnya meliputi ketidakadilan akses
dan kontrol terhadap sumberdaya alam, terhadap proses pengambilan keputusan
tentang pemanfaatan sumberdaya serta terhadap manfaat dari penggunaan sumberdaya
tersebut (LATIN, 2001).  Hanya saja, alih-alih menggunakan cara yang demokratis,
pemerintah hampir selalu menggunakan pendekatan keamanan yang berlebih
(excessive security approach) melalui  kekuatan militer dalam menangani konflik
yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya alam.  Keterlibatan militer, sebagai
sebuah lembaga ekstra yudisial,  yang meluas dalam penguasaan dan pengusahaan
sumberdaya alam (military financing) kemudian menyulitkan upaya-upaya yang
ditempuh untuk mendemokratisasikan pengelolaan sumberdaya alam 
Semua deskripsi tersebut menunjukkan bahwa strategi pembangunan ekonomi serta
strategi pemanfaatan sumberdaya dan pengelolaan sumberdaya alam yang diterapkan
pada masa itu telah memberikan insentif bagi eksploitasi yang berlebihan
terhadap sumberdaya alam dan membawakan dampak negatif bagi kelestarian
keanekaragaman hayati Indonesia

3.3.	Upaya Mengarusutamakan Pengelolaan Lestari Keanekaragaman Hayati
Makin menguatnya kedudukan paradigma "pembangunan berkelanjutan" dalam wacana
global bagi pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan sejak
pertengahan tahun 1980-an memaksa pemerintah untuk meninjau kembali proses
pembangunan dan dampaknya yang telah berlangsung selama ini.   Pemarintah
Indonesia menyadari bahwa kecenderungan yang terjadi dalam proses pembangunan
nasional sangatlah bertentangan dengan paradigma baru yang tengah berkembang dan
menyadari pula bahwa hal itu bisa menyulitkan posisi Indonesia dalam dunia
internasional.  Pemerintah kemudian berusaha mengintegrasikan dirinya dalam arus
global tersebut dengan mulai mencoba mengarusutamakan (mainstreaming) pendekatan
pengelolaan sumberdaya alam lestari dalam pelaksanaan pembangunan.  Langkah awal
yang ditempuh Pemerintah Indonesia adalah dengan menandatangani Konvensi PBB
tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati (CBD). 

Pemerintah Indonesia adalah negara kedelapan, di antara 157 negara,  yang
menandatangani CBD pada 5 Juni 1992 selama berlangsungnya KTT Bumi. di Rio de
Janeiro, Brazil.  CBD adalah konvensi internasional yang ditujukan untuk
mewujudkan konservasi keanekaragaman hayati, penggunaan berkelanjutan dari
komponen-komponennya serta pembagian keuntungan yang adil dan merata dari
penggunaan sumberdaya genetik tersebut, termasuk melalui akses yang memadai
terhadap sumberdaya genetik dan serta transfer teknologi dan sumberdaya
finansial.    Konvensi ini mewajibkan pemerintah untuk menyusun strategi,
rencana atau program bagi konservasi dan penggunaan berkelanjutan keanekaragaman
hayati atau menyesuaikan strategi, rencana dan program yang telah ada bagi
kebutuhan tersebut.  Konvensi juga mewajibkan pemerintah untuk sejauh mungkin
mengintegrasikan kebutuhan konservasi dan penggunaan berkelanjutan
keanekaragaman hayati ke dalam rencana, program dan kebijakan sektoral dan
lintas sektoral yang relevan.  

Langkah ini kemudian ditindaklanjuti dengan meratifikasi CBD melalui UU
No.5/1994 pada tanggal 1 Agustus 1994.  Melalui UU ini, Indonesia mengakui nilai
penting keanekaragaman hayati, mengakui perlunya dijamin keberadaan dan
keberlanjutan keanekaragaman hayati bagi kehidupan serta kerugian yang akan
dialami jika kelestarian tersebut tidak dapat dijamin dan juga peran penting
masyarakat tradisional dan perempuan dalam konservasi dan pemanfaatan
berkelanjutan keanekaragaman hayati.  

Ratifikasi konvensi tersebut dinilai akan memberikan manfaat kepada Indonesia
berupa: (1) pengakuan dari masyarakat internasional terhadap kepedulian
Indonesia  dalam masalah lingkungan hidup dunia, termasuk keanekaragaman hayati,
(2) penguasaan dan pengendalian atas akses terhadap alih teknologi, berdasarkan
asas perlakuan dan pembagian keuntungan yang adil, yang tidak bertentangan
dengan peraturan perundangan nasional, (3) peningkatan kemampuan pemanfaatan dan
pengembangan teknologi yang diperlukan untuk memanfaatkan secara lestari dan
meningkatkan nilai tambah keanekaragaman hayati Indonesia, (4) peningkatan
pengetahuan yang berkenaan dengan keanekaragaman hayati Indonesia, (5) jaminan
bahwa pemerintah mampu menggalang kerjasama di bidang teknik ilmiah baik antar
sektor pemerintah maupun dengan sektor swasta, di dalam maupun di luar negeri,
serta memadukan sejauh mungkin kebutuhan konservasi dan pemanfaatan
berkelanjutan keanekaragaman hayati ke dalam rencana, program dan kebijakan baik
sektoral maupun lintas sektoral, (6) pengembangan dan penanganan bioteknologi
sehingga Indonesia tidak dijadikan ajang ujicoba pelepasan organisme hasil
rekayasa genetik oleh negara lain, (7) pengembangan sumber dana untuk penelitian
dan pengembangan keanekaragaman hayati serta (8) pengembangan kerjasama
internasional yang meliputi penetapan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati baik
secara in situ maupun ex situ, pengembangan pola insentif, pertukaran informasi,
pengembangan pendidikan, pelatihan dan peningkatan peran serta masyarakat.  
Ratifikasi ini sekaligus juga memperkokoh kedudukan Rencana Aksi Keanekaragaman
Hayati untuk Indonesia yang telah disusun tahun 1993 serta perangkat perundangan
sebelumnya yang ditujukan untuk mewadahi upaya konservasi keanekaragaman hayati,
khususnya UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.

Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati untuk Indonesia (Biodiversity Action Plan for
Indonesia 1993 /BAPI 1993) merupakan langkah strategis yang diambil Pemerintah
Indonesia sebelum diratifikasinya CBD oleh DPR melalui UU No. 5/ 1994.  Rencana
aksi ini dimaksudkan untuk berfungsi sebagai sebuah panduan bagi penetapan
prioritas dan investasi konservasi keanekaragaman hayati sepanjang Repelita V
dan VI (hingga tahun 1999) maupun untuk jangka waktu yang lebih panjang
(Bappenas, 1993).  BAPI 1993 mempunyai sasaran (goal) untuk mengkonservasikan
sebanyak mungkin keanekaragaman hayati yang menjadi tumpuan kehidupan dan
kesejahteraan masyarakat Indonesia.  Tujuan utama (main objectives) dari rencana
aksi ini adalah untuk:

1.	memperlambat hilangnya tutupan hutan primer, lahan basah, terumbu karang. Dan
habitat daratan maupun lautan lainnya yang sangat penting bagi  keberadaan
keanekaragaman hayati
2.	mengembangkan ketersediaan data dan informasi tentang kekayaan keanekaragaman
hayati nasional serta membuatnya dapat dimanfaatkan oleh para pembuat kebijakan
maupun masyarakat luas
3.	mempercepat pemanfaatan sumberdaya hayati secara lestari dan lebih ramah
lingkungan dibandingkan praktek yang telah berlangsung selama ini

Rencana aksi ini menempatkan pelaksanaan konservasi in situ, di dalam maupun di
luar kawasan lindung, serta pelaksanaan konservasi ex situ sebagai
prioritasnya.  Berdasarkan prioritas tersebut BAPI 1993 menempatkan empat
tindakan sebagai komponen utama (main components) rencana aksi, yaitu:
1.	Konservasi in situ di taman nasional dan kawasan lindung daratan
2.	Konservasi in situ di luar kawasan lindung, mencakup kawasan hutan, lahan
basah dan kawasan budidaya pertanian
3.	Konservasi sumberdaya pesisir dan lautan
4.	Konservasi ex situ melalui bank gen dan bank benih, perlindungan varitas dan
program penangkaran
Rencana aksi ini juga menegaskan bahwa pelaksanaan komponen-komponen  utama
tersebut hanya dapat terwujud jika didukung oleh : (1) perluasan  partisipasi
masyarakat dalam konservasi keanekaragaman hayati, (2) identifikasi kebutuhan
riset dan pelatihan yang akurat, (3) pengelolaan dan penggunaan basis informasi,
(4) pelaksanaan program pendidikan, pelatihan dan peningkatan kesadartahuan
masyarakat serta (5) reformasi dan penguatan kelembagaan bagi pelaksanaan
rencana aksi.
	Reformasi dan penguatan kelembagaan tersebut meliputi: (1) peningkatan
kapasitas kelembagaan pengelola keanekaragaman hayati, (2) penciptaan mekanisme
koordinasi, (3) penyesuaian alokasi kewenangan dan sumberdaya pengelolaan, (4)
peningkatan kapasitas kelembagaan lokal, serta (5) penerapan valuasi yang akurat
terhadap sumberdaya.  Dibutuhkannya reformasi kelembagaan tersebut menunjukkan
pengakuan terhadap adanya masalah-masalah struktural yang selama ini melingkupi
pengelolaan keanekaragaman hayati dalam proses pembangunan serta menunjukkan
bahwa tata pemerintahan  yang baik dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
keanekaragaman hayati (good environmental governance), yang selama ini belum
mampu diwujudkan, sangat dibutuhkan untuk pengelolaan lestari keanekaragaman
hayati nasional

3.4.	Sepuluh Tahun Kemudian: Enceng Gondok Menggulma
Sepuluh tahun telah berlalu sejak langkah-langkah awal untuk mengarusutamakan
pengelolaan lestari keanekaragaman hayati dalam proses pembangunan mulai
diupayakan.  Banyak perubahan yang telah terjadi dalam jangka waktu tersebut. 
Di dalam negeri, rezim Orde Baru yang kuat telah tumbang dan digantikan oleh
rezim-rezim yang relatif lebih lemah serta bersifat transisional.  Krisis yang
hebat telah mengguncang perekonomian Indonesia serta memicu berlangsungnya
demokratisasi sistem politik serta reformasi tata pemerintahan menuju
desentralisasi yang berlangsung pesat dalam skala yang masif / big bang
decentralization (World Bank, 2001a).  Di tataran internasional, arus
globalisasi dan rezim perdagangan bebas makin kuat mencengkeram negara-negara
berkembang termasuk Indonesia melalaui tatanan WTO.  Krisis ekonomi yang menerpa
negara-negara Asia pada akhir tahun 1990-an juga menguatkan kedudukan
lembaga-lembaga keuangan multilateral, seperti Bank Dunia dan IMF, dalam
menentukan agenda pembangunan dan kebijakan nasional negara-negara yang terkena
krisis.  Perubahan-perubahan maupun kecenderungan yang berlangsung secara
domestik maupun dalam tataran global telah mempengaruhi pencapaian upaya
pengelolaan lestari keanekaragaman hayati nasional.

Pada tahun 2000, Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) melakukan serangkaian
lokakarya untuk memperoleh bayangan atau citra kondisi keanekaragaman hayati di
masa depan berdasarkan pilihan-pilihan yang dilakukan oleh para pelakunya, baik
itu kalangan pemerintah, swasta maupun kelompok masyarakat sipil.  Proses
tersebut kemudian menghasilkan empat alternatif skenario yang mungkin terjadi
dalam pengelolaan keanekaragaman hayati nasional antara tahun 2000-2010. 
Keempat skenario itu adalah:

1.	Mutiara yang hilang, jika peran pemerintah dan kebijakan pembangunan maupun
perilaku masyarakat tidak mendukung kelestarian keanekaragaman hayati
2.	Enceng gondok menggulma, jika peran pemerintah dan kebijakan pembangunan
tidak mendukung namun perilaku masyarakat mendukung kelestarian keanekaragaman
hayati
3.	Tikus mati di lumbung, jika peran pemerintah dan kebijakan pembangunan
mendukung namun perilaku masyarakat tidak mendukung kelestarian keanekaragaman
hayati
4.	Kasuari menebar benih, jika peran pemerintah dan kebijakan pembangunan maupun
perilaku masyarakat mendukung kelestarian keanekaragaman hayati

Skenario "kasuari menebar benih" merupakan kondisi paling ideal yang bisa
dicapai dalam pengelolaan keanekaragaman hayati nasional sedangkan skenario
"mutiara yang hilang" merupakan kondisi terburuk yang mungkin terjadi. 
Kemungkinan-kemungkinan tersebut ditentukan oleh interaksi dari perilaku
masyarakat dan peran pemerintah dalam mengendalikan situasi kritis yang
dibawakan oleh ketidakpastian kritis yang meliputi : (1) kebijakan pemerintah
yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup, (2) desentralisasi
pemerintahan yang tidak disertai kepastian hubungan antara otoritas kepemimpinan
daerah dengan sumberdaya daerah, (3) regionalisasi dan globalisasi perdagangan
yang menguntungkan negara maju serta memaksa negara berkembang meningkatkan
eksploitasi sumberdaya alamnya, (4) peneyelesaian krisis yang tidak sejalan
dengan upaya pelestarian keanekaragaman hayati, (5) manfaat keanekaragaman
hayati dan pemeliharaan lingkungan hidup tidak dinikmati oleh penduduk lokal
maupun masyarakat luas.

Kondisi yang tengah berlangsung, sepuluh tahun setelah Pemerintah Indonesia
menandatangani CBD, masihlah jauh dari masa dimana sang kasuari mulai bisa
menebar benih.  Kondisi keanekaragaman hayati nasional terus memburuk karena
kerusakan yang terjadi justru meningkat dengan pesat. Laju deforestasi,
misalnya, meningkat tajam. Bank Dunia menengarai bahwa antara 1985-1997 hampir
20 juta hektar hutan rusak dan laju kerusakan tahunan mencapai 1,6 juta hektar
hutan (World Bank, 2001b) .  Berdasar laju ini dapat diestimasikan bahwa Pulau
Sumatera akan kehilangan hampir semua luasan  hutan dataran rendahnya setelah
tahun 2005 sedangkan Kalimantan diramalkan akan mengalami hal yang sama pada
tahun 2010. Hanya saja, banyak yang menilai bahwa kondisi yang berlangsung
sebenarnya jauh lebih buruk dibanding estimasi Bank Dunia karena laju
deforestasi diperkirakan telah meningkat menjadi hampir 1,8 juta hektar/tahun
(Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch, 2001).  

World Resources Institute memperkirakan bahwa 54 persen dari sisa frotier
forest  yang dimiliki Indonesia berada dalam status terancam.  Indonesia sendiri
telah kehilangan 72 persen dari luas total frontier forest-nya sehingga
digolongkan ke dalam kelompok negara yang tidak punya banyak waktu (not much
time) untuk memperbaiki pengelolaan frontier forest-nya dimana luas frontier
forest akan terus berkurang jika tidak ada perubahan kebijakan dan pola
pengelolaan (Bryant, Nielsen dan Tangley, 1997).  Ini tidak bisa dilepaskan dari
makin maraknya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi tiap tahaun di Indonesia. 
Kebakaran tahun 1997-1998 telah menghanguskan kawasan dengan luas tidak kurang
dari 9.756.000 hektar di lima pulau utama Indonesia.  Kebakaran ini paling tidak
telah merusak kawasan hutan dataran rendah seluas 3,1 juta hektar dan hutan rawa
gambut seluas 1,45 juta hektar, khususnya di Kalimantan dan Sumatera (Bappenas
dalam Barber dan Schweithelm, 2000).  Kebakaran ini bisa dikatakan lebih buruk
dibandingkan dengan kebakaran besar yang terjadi di kalimantan timur pada tahaun
1982-1983 yang menghanguskan kawasan hutan seluas 2,7 juta hektar.

Kawasan pesisir dan lautan juga masih dalam tekanan yang berat. Terumbu karang,
misalnya, masih berada dalam kondisi yang sangat menyedihkan..  Penelitian yang
dilakukan melalui proyek COREMAP tahun 2000 menunjukkan bahwa hanya 6,10 persen
terumbu karang Indonesia yang bisa dikategorikan memuaskan atau sangat baik
sedangkan 39,76 persen ada dalam kondisi buruk atau telah mengalami kerusakan
yang parah. Walaupun proporsi dari terumbu karang yang rusak parah tersebut
menurun jika dibandingkan dengan data yang didapat dari penelitian sebelumnya
(42,59 persen  pada tahun 1995), namun proporsi terumbu karang yang ada dalam
kondisi memuaskan juga turun dari angka sebelumnya yang mencapai 6,48 persen
pada tahun 1995. 

Interaksi yang terjadi antara kebijakan pemerintah dan perilaku masyarakat
dengan demikian tidak mampu mengelola ketidakpastian kritis dengan baik serta
gagal menghindarkan kondisi keanekaragaman hayati dari situasi kritis. Besarnya
tuntutan daerah untuk melepaskan diri dari intervensi pemerintah pusat tidak
didukung oleh kapasitas daerah yang memadai dalam mengelola sumberdayanya. 
Pemerintah juga sangat lamban dalam menyelesaikan berbagai prasyarat pengelolaan
sumberdaya alam secara lestari serta tidak amampu memberikan kepastian usaha dan
menyelesaikan konflik sedangkan manfaat dari pengelolaan sumberdaya alam tidak
dapat dinikmati oleh masyarakat.  Ini semua lebih mengarah pada skenario "enceng
gondok menggulma" yang dicirikan oleh reformasi setengah hati dan maraknya
konflik terbuka.

Pijakan bagi terbentuknya suatu tata pemerintahan  yang baik dalam pengelolaan
sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati (good environmental governance),
seperti yang disyaratkan oleh BAPI 1993 bagi pencapaian sasaran dan tujuan
pengelolaan lestari keanekaragaman hayati, belum dapat diwujudkan.  
Tata pemerintahan adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi
guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkatan dan mencakup proses,
mekanisme, dan lembaga-lembaga dalam masyarakat.  Tata pemerintahan yang baik
adalah suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama
oleh pemerintah, masyarakat madani dan sektor swasta yang mempunyai ciri-ciri 
(1) inklusif (mengikutsertakan semua) (2) transparan dan bertanggung jawab (3)
efektif dan adil (4) menjamin supremasi hukum (5) menjamin penetapan prioritas
berdasar konsesus (6) mengakomodasikan kepentingan kelompok yang paling lemah
dalam pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumberdaya pembangunan.  Tata
pemerintahan ini bersifat cepat tanggap, efektif dan efisien, setara serta
bertanggung jawab dan bertanggung gugat.

Desentralisasi yang tengah berlangsung belum mampu menunjukkan karakter tata
pemerintahan tersebut.  Desentralisasi merupakan tonggak utama dari reformasi
tata pemerintahan di Indonesia paska Orde Baru sebagai antitese dari sentralisme
yang mendominasi proses pembangunan selama ini.  Penyerahan sebagian besar
kewenangan pengambilan keputusan, pengelolaan keuangan dan pengurusan
pemerintahan ke tingkat kabupaten dan kota serta penghapusan hubungan hirarkis
propinsi dengan pemerintahan  kabupaten/kota sebenarnya bisa membuka peluang
bagi peningkatan luaran sumberdaya (penggunaan sumberdaya lebih efisien dan
lestari) dan perbaikan tata pemerintahan (tercapainya konsensus, meningkatnya
partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan serta pertangunggugatan yang
lebih besar dalam pengurusan pemerintahan) jika disertai dengan penyesuaian
kelembagaan yang substansial (World Bank, 2001b).  Jika tidak dibarengi hal itu,
unit-unit otonom lokal yang baru terberdayakan dengan kapasitas teknis yang
terbatas tersebut justru bisa memperburuk kerusakan sumber hayati yang terjadi. 
Terlebih ketika keanekaragaman hayati ditempatkan sebagai sumber tambahan
pendapatan dan penerimaan daerah  (World Bank, 2001b).  

Kecenderungan terakhir inilah yang marak dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
keanekaragaman hayati pada masa desentralisasi.  Alih-alih mempercepat
penyelesaian konflik, pengelolaan yang berlangsung justru membuka
konflik-konflik baru baik yang bersifat vertikal maupun horizontal (Fakultas
Kehutanan IPB, 2002).  Desentralisasi ternyata juga belum bisa meningkatkan
efisiensi dalam pengelolaan sumberdaya dan bahkan justru menciptakan ekonomi
biaya tinggi karena meningkatnya beban biaya transaksi yang diterapkan pada
sumberdaya melalui berbagai pungutan dan retribusi (Fakultas Kehutanan IPB,
2002).  Tabel 2 menunjukkan inefisiensi serta permasalahan dalam pengusahaan
hutan di enam propinsi setelah desentralisasi
Tabel 2. Permasalahan Pengusahaan Hutan di Daerah (Okt 2001)
Permasalahan	Propinsi
	Riau	Jateng	Kalsel	Kaltim	Sulteng	Papua	Ket.
Pungutan Ekstra1)							X : ringanXX : berat
1. Propinsi	X	-	-	X	X	X	
2. Kabupaten	X	X	-	X	X	XX	
3. Kecamatan	-	-	-	-	X	-	
4. Masyarakat Lokal	X	-	X	X	X	XX	
Tumpang Tindih Lahan (HPH-IPHH)	X	-	-	X	-	-	
Duplikasi Pengurusan	X	XX	X	X	-	-	
Tambahan Pos Retribusi HH	X	X	X	X	X	X	
Sumber : Depperindag-Sucofindo dalam Fakultas Kehutanan IPB (2002) 
1). Terdapat dasar hukum (perda)
	
	Buramnya potret kondisi dan pengelolaan keanekaragaman hayati Indonesia saat
ini tidak bisa dilepaskan dari tidak diwujudkannya sistem pendukung bagi
pengelolaan lestari keanekaragaman hayati dalam BAPI 1993.	Sepuluh tahun sejak
kelestarian keanekaragaman hayati mulai mendapatkan tempat dalam kebijakan
pembangunan, sistem yang memungkinkan terwujudnya tata pemerintahan  yang baik
dalam pengelolaan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati (good environmental
governance) belum dapat diwujudkan bahkan ketika gelombang pasang transisi
demokrasi dan reformasi politik tengah melanda Indonesia.  Fakta inilah yang
kemudian menjadi tantangan bagi IBSAP untuk merevitalisasi pengarusutamaan
pengelolaan lestari keanekaragaman hayati dalam kebijakan pembangunan dengan
tatanan politik, pemerintahan dan kelembagaan yang berbeda.  Ketetapan MPR No.
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam telah
memberikan arah bagi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang dibutuhkan
Indonesia.  Ketetapan MPR tersebut menekankan pentingnya penyelesaian dan
antisipasi konflik pengelolaan sumberdaya alam, sinkronisasi kebijakan antar
sektor, pemulihan ekosistem yang rusak akibat eksploitasi, identifikasi dan
inventarisasi kuantitas dan kualitas sumberdaya, perluasan akses informasi pada
masyarakat dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial dalam penggunaan
teknologi, serta optimalisasi pemanfaatan sumberdaya melalui penciptaan nilai
tambah bagi masyarakat. Suatu tantangan bagi IBSAP untuk merumuskan langkah yang
dibutuhkan dalam menerjemahkan arah kebijakan tersebut, khususnya untuk
mendayagunakan desentralisasi bagi penciptaan landasan terwujudnya tata
pemerintahan  yang baik dalam pengelolaan sumberdaya alam dan keanekaragaman
hayati nasional.

Bersambung kebag. 5/8