[Nasional-d] UNIVERSITAS TRISAKTI SIAPA YANG PUNYA ? - ignanto@detik.com

nasional-d@polarhome.com nasional-d@polarhome.com
Sun Sep 22 13:24:01 2002


Subyek: UNIVERSITAS TRISAKTI SIAPA YANG PUNYA ?
Dari: ignanto asalli <ignanto_scc@yahoo.com>
Tanggal: Sab, 21 September 2002, 2:34 pm
Untuk: ignanto@detik.com
---------------------------------------------

UNIVERSITAS TRISAKTI SIAPA YANG PUNYA  ?

Sejak awal bulan September ini, pertentangan di kalangan sivitas-academica
Universitas Trisakti mencuat ke permukaan yang diiringi dengan perang pernyataan dan
perang iklan di media massa antara kubu Yayasan Trisakti dan kubu Rektorat.
Masing-masing pihak melontarkan argumentasi yang menarik, namun pada intinya adalah
saling menafikan otoritas atas hak pengelolaan dan kepemilikan Universitas Trisakti.

Menurut kubu Yayasan Trisakti, pihak Rektorat yang dimotori oleh Rektor Usakti
Prof.Thoby Mutis secara sepihak telah merobah Statuta Universitas Trisakti (Anggaran
Dasar), mendirikan Badan Hukum Pendidikan Universitas Trisakti melalui Akta Notaris
Edi Priyono,SH dan membentuk lembaga Majelis Wali Amanat, yang berarti mengambil alih
seluruh fungsi dan peranan Yayasan Trisakti selama ini. Disamping itu, Prof.Thoby
juga dipersalahkan karena tidak menyelenggarakan acara pemilihan rektor baru dengan
mengajukan 3 (tiga) calon ke pihak yayasan. Oleh karena itulah pada tanggal 4
September 2002, pihak Yayasan Trisakti memecat Prof.Thoby Mutis dari jabatannya
sebagai rektor yang kebetulan akan berakhir di tahun ini juga, dan kemudian
mengangkat Prof.Azril Azahari sebagai pejabat rektor.

Pemecatan itu tidak diterima pihak Rektorat yang kelihatannya cukup didukung oleh
kalangan Senat Universitas dan karyawan-karyawan administratif. Alasannya adalah,
sejak terbentuknya Badan Hukum Pendidikan Usakti, wewenang memberhentikan dan
mengangkat rektor sudah beralih ke lembaga Majelis Wali Amanat sebagai badan
tertinggi di universitas, yang kemudian justru memperpanjang masa jabatan Prof.Thoby
hingga tahun 2006. Di kalangan karyawan dalam lingkungan Usakti, Prof.Thoby dikenal
sebagai seorang pemimpin yang cukup 'memanjakan' karyawannya, sehingga tidak heran
kalau beliau berhasil menggalang dukungan dari kalangan dalam yang sebagian
diantaranya merupakan alumni-alumni Usakti sendiri. Dan dukungan dari kalangan dalam
kampus itu untuk sementara ini cukup effektif untuk membuat pihak rektorat tetap
menguasai secara de-facto seluruh sarana fisik kampus maupun proses belajar-mengajar
disana. Tetapi kelihatannya tidak hanya sekedar dukungan orang dalam saja yang
membuat Prof.Thoby Mutis sedemikian bernyali untuk "meng-kudeta" Yayasan Trisakti,
apalagi setelah melihat bahwa ternyata yang menjadi Ketua Majelis Wali Amanat yang
baru dibentuk itu adalah sosok seperti Prof.PK Haryasudirja - mantan Rektor Usakti
diawal 1980-an, mantan Menteri Negara Pengairan Dasar, dan juga anggota pengurus
Yayasan Trisakti ! Dan yang juga menarik adalah, ternyata Dirjen Dikti
Satryo Soemantri Brodjonegoro memberikan dukungan terhadap perobahan status badan
pengelola Universitas Trisakti menjadi Badan Hukum Pendidikan dalam suratnya  kepada
rektor tertanggal 26 Agustus 2002. Dukungan kedua tokoh ini yang berdedikasi dalam
dunia pendidikan tinggi tentu saja menarik perhatian, dengan asumsi bahwa keduanya
tentu telah mengetahui bahwa secara legalitas formal kedudukan Yayasan Trisakti yang
dipimpin K.Sindhunata itu adalah 'kuat' berdasarkan berbagai dokumen yang
dimilikinya. Jika demikian hal-nya, dukungan-dukungan tersebut tentu mempunyai bo bot
alasan yang memadai pula, dan lebih dari sekedar dukungan berdasarkan 'perkoncoan'.

Regulasi sistim pendidikan tinggi sebagaimana diatur dalam PP No.60/1999 tentang
Pendidikan Tinggi tidak mengatur secara jelas dan tegas APA dan BAGAIMANA bentuk
Badan Hukum Penyelenggara Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat (PTS)
, sedangkan untuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) telah ada PP No.61/1999 tentang
Penetapan PTN sebagai Badan Hukum Pendidikan yang mengatur secara rinci kelembagaan
dan wewenang pengelolaanperguruan tinggi. Didalam konsepsinya, PP No.61/1999 patut
dipuji sebagai sebuah produk kebijakan yang demokratis, modern dan progressif, dimana
pemerintah dalam hal ini Depdiknas, mendelegasikan kewenangan manajerial perguruan
tinggi kepada seluruh sivitas-academica dan masyarakat luas. Pemberian otonomi dengan
pengaturan yang secara terbuka melibatkan unsur masyarakat diperkirakan akan semakin
mendorong kemajuan dan kemandirian perguruan tinggi sebagaimana hal-nya sistim yang
ada di negara-negara maju. Didalam PP No.61/1999 inilah diperkenalk an konsepsi
Majelis Wali Amanat (MWA) yang menjadi lembaga tertinggi penentu kebijakan
non-akademik perguruan tinggi, termasuk diantaranya mengangkat dan memberhentikan
pimpinan perguruan tinggi (rektor).
Sistem keanggotaan didalam MWA yang terdiri unsur pemerintah,universitas dan
masyarakat dengan sistem recruitment terbuka ini patut dipuji sebagai upaya
demokratisasi yang baik. Namun sayangnya, mengapa PP ini hanya diberlakukan untuk PTN
? Kelihatannya resistensi dari kalangan ormas-ormas maupun pribadi-pribadi didalam
masyarakat yang selama ini terlanjur menganggap PTS-PTS yang dikelolanya sebagai
"MILIKNYA PRIBADI" atau "MILIK ORMASNYA" telah menjadi faktor tidak atau belum
diterapkannya peraturan ini untuk PTS. Ataukah mungkin pihak Depdikbud sedang
menunggu disahkannya UU tentang Yayasan yang saat ini sedang digodok di Kehakiman dan
HAM ? Regulasi "sepotong-sepotong" seperti inilah yang patut disayangkan, sekaligus
menunjukkan betapa tidak tegasnya para pejabat negara ini menghadapi resistensi dari
kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan dalam suatu regulasi - betapa pun
bagusnya konsep regulasi itu.

Sejauh hubungannya dengan perguruan tinggi swasta, konsepsi pengelolaan perguruan
tinggi sebagaimana diatur dalam PP No.61/1999 tentu jauh lebih demokratis dan
transparan jika dibandingkan dengan sistim pengelolaan selama ini yang bernaung
dibawah yayasan-yayasan. Karena sudah menjadi rahasia umum, sistem pengelolaan
yayasan-yayasan yang cenderung tertutup dan tidak jelas aturan mainnya telah menjadi
sarana "pat-gulipat" oleh pemilik yayasan. Di jaman M'bah Soeharto,dbb (dan
begundal-begundalnya), setiap istri jenderal dan menteri pasti mempunyai yayasan
(yang seharusnya bertujuan mulia dan non-profit), tetapi dalam kenyataannya
yayasan-yayasan itu hanyalah kamuflase dari keserakahan pribadi. Keberadaan dan
fungsi hakiki sebuah yayasan nyaris tak berbeda dengan perusahaan milik pribadi. 

Mencermati pertikaian di Universitas Trisakti, sejauh kalau tindakan Prof.Thoby Mutis
mengadopsi PP No.61/1999 tidaklah berdasarkan ambisi pribadinya, tapi semata-mata
demi masa depan yang lebih baik untuk Universitas Trisakti secara keseluruhan,
mengapa pihak Yayasan Trisakti harus menolaknya ? 
Sebab bukankah era DEMOKRATISASI dan TRANSPARANSI sudah harus menjadi KENISCAYAAN
DIMASA DEPAN ? 
Seharusnya pengurus Yayasan Trisakti saat ini yang rata-rata sudah uzur dapat
realistis melihat tanda-tanda perobahan jaman, dan rela untuk turut mempelopori
terbentuknya sebuah Badan Hukum Pendidikan bersama-sama dengan pihak rektorat
sekaligus untuk menuntaskan seluruh permasalahan yang berkenaan dengan eksistensi
Universitas Trisakti, agar dikemudian hari tidak timbul friksi-friksi ataupun klaim
dari pihak lain yang merasa lebih berhak atas kepemilikan Universitas Trisakti.

Walaupun pihak Yayasan Trisakti saat ini secara juridis formil 'seolah-olah' adalah
pemilik Universitas Trisakti berdasarkan legitimasi dari berbagai SK-SK menteri,
namun sesungguhnya secara materiil berdasarkan fakta-fakta historis yang ada,
sesungguhnya legitimasi itu masih rentan untuk dipermasalahkan, bahkan bukan tidak
mungkin untuk digugat ke pengadilan tata usaha negara. 

Sebab riwayat Universitas Trisakti tentu tidak dapat terlepas dari riwayat
Universitas Res-Publica yang didirikan oleh Baperki (Badan Permusyawaratan
Kewarganegaraan Indonesia) yang dipimpin Alm.Siauw Giok Tjhan - seorang tokoh
masyarakat Tionghoa, mantan menteri kabinet Amir Syarifuddin dan anggota
konstituante. Di dalam catatan arsip Pramoedya Ananta-Toer disebutkan, bahwa tokoh
gerakan kemerdekaan ini bukanlah seorang hartawan. Jika demikian hal-nya, darimanakah
SUMBER DANA pendirian Universitas Res-Publica oleh Baperki sehingga mereka mampu
membeli dan membangun sarana fisik kampus yang sedemikian megah dan komplit untuk
ukuran masa itu dibilangan Grogol-Jakarta Barat itu ?  
Ternyata dana raksasa untuk membangunnya diperoleh dari SUMBANGAN-SUMBANGAN
MASYARAKAT, khususnya dari kalangan masyarakat Tionghoa. Catatan mengenai hal ini
disinggung oleh Sobron Aidit dalam memoarnya (Bab 6 : Kenangan lama), dimana
dituliskan pengalamannya ketika hadir dalam suatu acara rapat Baperki untuk
pengumpulan dana yang dimotori olehAng Yang Goan, Kwee Kek Beng,dll. Catatan ini
menunjukkan bahwa ternyata DANA pembangunan Universitas Res-Publica dahulu adalah
sepenuhnya merupakan SWADAYA DARI MASYARAKAT.
Dan dalam perkembangannya, universitas ini merupakan universitas swasta yang
terkemuka di Indonesia, baik dari segi mutu akademik maupun kelengkapan belajarnya,
sehingga tidak kalah pamor dengan universitas-universitas negeri yang dibiayai oleh
pemerintah. Sehingga tidak heran kalau banyak pejabat di jaman itu yang menyekolahkan
anaknya disana, walau mayoritas mahasiswanya adalah kalangan masyarakat Tionghoa.

Mungkin sudah 'nasibnya' ataukah suatu kebetulan, kampus yang terletak dibilangan
Grogol-Jakarta Barat ini harus menjadi 'tumbal' pertikaian politik nasional.
Seperti hal-nya diawal lengsernya M'bah Soeharto thn 1998, kampus ini diserang dan
ditembaki oleh penembak-penembak gila hingga merenggut 4 nyawa mahasiswa. Demikian
halnya pada tahun 1965, Setelah pecah Gerakan 30 September, segerombolan massa yang
memakai seragam militer dan atribut KAMI/KAPPI datang menyerang dan menjarah kampus
Universitas Res-Publica, seluruh fasilitas belajar luluh-lantak ! Seiring dengan
upaya pihak militer yang dikendalikan M'bah Soeharto,dbb untuk 'membersihkan pengaruh
kaum kiri', tidak hanya tokoh-tokoh PKI saja yang ditangkap, tetapi hampir seluruh
tokoh-tokoh nasional yang bukan PKI tapi pro-Soekarno juga ditangkap termasuk tokoh
Baperki seperti Alm.Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat. Mereka ditangkap dan
dipenjarakan selama hampir 15 tahun TAN PA PROSES PENGADILAN APAPUN JUGA, sehingga
tidak pernah diketahui dengan jelas pelanggaran hukum apakah yang telah membuat
mereka layak untuk dipenjarakan selama 15 tahun. Namun sesungguhnya mereka berdua
hanyalah segelintir dari jutaan orang yang harus mengalami tragedi yang memilukan
dari sebuah ambisi kekuasaan. Melayangnya nyawa ratusan ribu orang dimasa itu
tercatat dalam lembaran hitam sejarah peradaban manusia yang hanya bisa dikalahkan
oleh peristiwa genocyde ala Nazi di Eropa.

Setelah Universitas Res-Publica dirusak dan beberapa pimpinan Baperki dan staff
pengajar ditangkap oleh rezim penguasa, praktis terjadi kevakuman dalam pimpinan
universitas. Mahasiswa dan dosen yang kembali ke kampus menceritakan betapa semangat
gotong-royong sedemikian kental diantara mereka, sehingga mereka rela bekerja-bakti
untuk membenahi gedung-gedung yang rusak dengan dana patungan seadanya, belajar
seadanya, bahkan ada dosen yang rela mengajar dan bekerja bakti tanpa tahu siapa yang
akan membayar gajinya. Atas desakan dosen dan mahasiswa, penguasa pada masa itu
mengijinkan beroperasinya proses belajar-mengajar dengan syarat pergantian nama
menjadi Universitas Trisakti sebagaimana tertuang dalam SK menteri PTIP No.13/dar
(darurat?) tahun 1965 tertanggal 15 November 1965. Dua minggu kemudian, keluar lagi
sebuah SK Menteri PTIP No.14/dar (darurat?) tahun 1965 tertanggal 29 November 1965
yang menunjuk sebuah presidium yang disebutkan diberi wew enang sebagai badan
penyelenggara pendidikan di Universitas Trisakti. Didalam presidium inilah tercantum
nama-nama pejabat-pejabat PTIP, pejabat militer KOTI, dan pengurus LPKB pimpinan
K.Sindhunata, dan dari kalangan masyarakat seperti Ferry Sonneville.

Nuansa "pengambil-alihan" terasa sangat kental dengan dibentuknya Yayasan Trisakti
dihadapan notaris Eliza Pondaag pada tanggal 27 Januari 1966, dimana dalam akta
itulah antara lain dinyatakan bahwa Brigjen Syarief Thayeb dan K.Sindhunata adalah
pendiri Yayasan Trisakti. Tidak jelas apakah mereka bertindak atas nama pribadi atau
ex-officio jabatannya sebagai menteri PTIP dan pengurus LPKB. Namun yang jelas adalah
sejak saat itulah Yayasan Trisakti dianggap sebagai badan hukum yang mengelola
Universitas Trisakti. Bahkan menurut iklan di media massa yang dikeluarkan oleh
kantor pengacara Frans  H.Winata,SH, Yayasan Trisakti adalah satu-satunya badan hukum
yang berhak memiliki tanah dan bangunan beserta seluruh asset Universitas Trisakti
berdasarkan SK.Menteri PTIP No.0281/U/1979 tertanggal 31 Desember 1979.

Seluruh proses legitimasi Yayasan Trisakti atas pemilikan Universitas Trisakti terasa
"biasa saja" dijaman kekuasaan Orba. Namun sekarang, bukankah seluruh proses itu
terasa aneh ? Dan bukan tidak mungkin dikemudian hari akan dianggap sebagai
kesewenang-wenangan. Sebagai Negara yang berdasarkan HUKUM, dapatkah seorang menteri
mengambil-alih asset suatu lembaga swasta dan kemudian menyerahkannya pada lembaga
swasta lainnya TANPA MELALUI PROSES HUKUM APAPUN JUGA ? Jika pemberian nama
"Universitas Trisakti" dapat dianggap sebagai prakarsa Alm.Brigjen Syarief Thayeb 
dan K.Sindhunata sehingga Yayasan Trisakti menganggap dirinya sebagai pendiri dan
pemilik Universitas Trisakti, bukankah masih tersisa sebuah pertanyaan besar ; Di
atas properti dan fasilitas milik siapakah mereka mengoperasikan universitasnya ?

Penyertaan LPKB pimpinan K.Sindhunata dalam pengambil-alihan Universitas Res-Publica
juga masih menyisakan misteri. Tidak ada catatan mengenai sepak-terjang ketokohannya
secara nasional maupun dilingkungan masyarakat Tionghoa sebelum tahun 1962. Nama
tokoh ini mulai muncul ketika ia memimpin LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan bangsa)
tahun 1963 yang bernaung dibawah Departemen Penerangan dan didukung oleh kelompok
militer. Tokoh ini mengusung jargon "assimilasi" yang segera menempatkan dirinya
sebagai "lawan" dari Siauw Giok Tjhan yang menganut paham "integrasi", perseteruan
ini berakhir dengan kemenangan mutlak K.Sindhunata dan LPKB-nya seiring dengan
kemenangan militer yang menguasai kancah perpolitikan nasional.

Namun sejauh ini, belum pernah terdengar eks-pengurus Baperki ataupun ahli warisnya
yang menggugat persoalan ini. Sebab memang asset Universitas Res-Publica sendiri
berasal dari sumbangan masyarakat luas. Namun demikian, sejarah haruslah tetap
diluruskan. Jangan mewariskan sejarah yang penuh kebohongan seperti "telor mata sapi"
- ayam yang bertelor kok sapi yang punya nama ? Sedikit apresiasi selayaknya
diberikan kepada mereka yang pantas menerimanya. Oleh karena itulah, momentum
regulasi pendidikan tinggi yang saat ini terbuka melalui PP.No.60/1999 sebaiknya
dapat dimanfaatkan juga oleh segenap sivitas-academika Universitas Trisakti untuk
melakukan rekonsiliasi. Mengembalikan dan melibatkan segenap unsur masyarakat dalam
pengelolaan Universitas Trisakti seperti konsepsi Majelis Wali Amanat yang diadopsi
dari PP No.61/1999 akan menjadi terobosan yang jitu bagi suatu upaya rekonsiliasi
maupun upaya antisipasi terhadap kemungkinan munculnya gugatan-gugata n hukum
dikemudian hari. Dengan terlibatnya unsur masyarakat secara terbuka dan demokratis
didalam pengelolaan Universitas Trisakti akan jauh sehat daripada tetap dikelola
dalam sebuah kelembagaan yang bersifat tertutup dan inklusif.

Akhir kata, semoga seluruh niat adalah sungguh-sungguh tulus.

Salam,

Mantan Mahasiswa Usakti

Ignanto G.Asl ==> ignanto@detik.com