[Nasional-e] It's the Economy, Stupid
Ambon
nasional-e@polarhome.com
Tue Dec 10 23:24:16 2002
SUARA PEMBARUAN DAILY
It's the Economy, Stupid!
** missed drop char **residen Bush mengucapkan selamat Lebaran di Islamic
Center Washington DC pada hari Kamis (5/12). Esoknya, Menkeu AS Paul O'Neill
dan Penasihat Ekonomi Lawrence B Lindsey mengundurkan diri atas tekanan
halus Gedung Putih. Slogan kampanye Bill Clinton yang berhasil menggusur
ayahnya, Presiden George H W Bush, pada 1992, "It's the economy, stupid",
rupanya sangat mempengaruhi Presiden George Bush sekarang.
Paul O'Neill dianggap terlalu ceplas-ceplos, tetapi kurang berprestasi
konkret. Barangkali mirip Kwik Kian Gie di Indonesia yang tidak peduli
dengan dampak ucapan yang sangat luas dan jauh.
O'Neill, misalnya, heran kenapa orang marah ketika dia mengecam korupsi di
negara berkembang. "Bantuan keuangan untuk Brasil harus dijamin tidak akan
masuk ke rekening bank rahasia di Swiss," demikian komentar O'Neill, yang
tentu saja menimbulkan kemarahan Brasil.
Ia juga tidak terlalu simpatik kepada Wall Street, yang dianggap suatu
kasino. Karena O'Neill berasal dari sektor riil, manufacturing pabrik Alcoa.
Sekarang orang mengharapkan kembalinya figur seperti mantan Menkeu zaman
Clinton, Robert Rubin, yang akrab dengan Wall Street karena memang pelaku
bursa profesional.
Pemberhentian O'Neill bertepatan dengan pengumuman angka pengangguran AS
yang mencapai rekor tertinggi sejak 1994 yaitu 6 persen. Ekonomi dunia
memang sedang berada di lembah resesi termasuk dua lokomotif di luar AS,
Jerman dan Jepang. Dampak perang Irak juga akan mempengaruhi ekonomi AS dan
global. Biaya langsung perang bisa membengkak sampai 200 miliar dolar AS,
sedang pembangunan pascaperang bisa menelan 2 triliun dolar AS.
Sementara itu di bidang propaganda, AS juga mengalami kemunduran besar. Pada
hari Rabu 4 Desember, mantan Menlu Madeleine Albright mengungkapkan hasil
survei the Pew Research Center tentang "What the World Thinks in 2002".
Popularitas AS sangat merosot dan simpati terhadap Tragedi 9/11 berubah
menjadi antipati dalam soal Irak.
u
Pada hari Sabtu, Saddam sudah menyiapkan laporan setebal 10.000 halaman yang
disindir oleh Jubir Gedung Putih Ari Fleischer sebagai upaya mengelabui
publik dengan volume buku tebal tanpa substansi.
Dalam The Washington Post 6 Desember, Charles Krauthammer menulis kolom
"Violence vs Islam". Perang antiteror tidak akan berhenti jika Kelompok
Islam moderat di seluruh dunia tidak melakukan wawas diri untuk menghentikan
pola perlawanan bunuh diri dan terorisme yang secara faktual dilancarkan
oleh oknum kelompok garis keras.
Krauthammer mengutip Gus Dur sebagai tokoh moderat yang seharusnya bisa
menjadi semacam Martin Luther bagi suatu reformasi Islam dari perangkap
primitif abad ketujuh, menjadi modern, toleran, dan sekuler.
Pendapat Krauthammer itu sudah dilaksanakan secara langsung oleh Ulil
Abshar-Abdalla yang menulis di Harian Kompas, 18 November, tentang Reformasi
Islam. Tetapi, malah menimbulkan kecaman dahsyat yang mengancam Ulil dengan
fatwa mati dan mengorbitkan menjadi Hashim Aghajari-nya Indonesia.
Figur Aghajari mencuat karena mantan demonstran mahasiswa yang menyandera
diplomat AS di Teheran dan buntung kakinya dalam perang melawan Irak itu,
mengkritik rezim mullah di Iran, yang dianggap gagal membangun Iran dengan
sistem primitif ala Taliban.
Seorang mantan penyandera lain, Abbas Abdi, bersama dua rekannya dari
Aryanev Research Institute, juga sedang diadili karena menghasilkan poll
pendapat yang pro-AS.
Para pemuda Iran yang merasakan kebobrokan rezim mullah, melakukan demo yang
oleh Thomas Friedman disejajarkan dengan Tiananmen di Beijing pada 1989.
Friedman menyayangkan AS tidak memberikan dukungan kepada demonstran
anti-mullah yang mendambakan modernisasi Iran tetapi masih ketakutan atau
terjebak dalam appeasement policy terhadap ekstremis.
u
Dalam perang total melawan terorisme ini memang AS sering terjebak pada
standar ganda, karena sangat takut kepada Arab Saudi dan mentoleransi
keterkaitannya dengan Al-Qaeda secara finansial. Hari Jumat dini hari Bea
Cukai dan FBI menggerebek markas Ptech Inc, di Quincy, dekat Boston,
perusahaan software komputer dengan rekanan FBI, IRS, NATO, Departemen
Energi AS, yang dicurigai mentransfer dana kepada kelompok teroris.
Ptech sebagian dimiliki oleh Yasin al-Qadi, pengusaha Arab Saudi yang masuk
dalam daftar penyandang dana teroris. Melalui Kadi International, Ptech
menerima 820.000 dolar AS yang disalurkan ke Muwaqaf Foundation, suatu badan
amal yang menjadi alat Hamas dan Al-Qaeda.
Sejak teror 9/11 tiga badan amal yang dicurigai menyalurkan dana ke Hamas
telah dibekukan asetnya, sekitar 8 juta dolar AS. Ketiganya adalah Holy Land
Foundation for Relief and Development, Benevolence International Foundation
dan Global Relief Foundation yang setiap tahun memobilisasi dana 20 juta
dolar AS.
Kegiatan pengumpulan dana sekarang dilakukan oleh Council of American
Islamic Relation (CAIR) yang dalam suatu malam dana di Los Angeles 19
Oktober masih berhasil menghimpun 523.000 dolar AS disusul 650.000 dolar AS
di Washington DC. Tahun ini mereka menargetkan dana sumbangan 2 juta dolar
AS, atau dua kali tahun 2001.
CAIR adalah organisasi yang dikenal sebagai garis keras dan kurang disenangi
oleh kelompok konservatif Partai Republik, karena sebagian adalah pendukung
fanatik Palestina. CAIR sangat anti-Israel dan ikut barisan teori konspirasi
anti-AS.
Dunia memang sedang berada dalam keadaan perang antiteror global karena para
teroris menyerang siapa saja, di mana saja, kapan saja, tanpa memedulikan
batasan bangsa dan negara. Al-Qaeda selalu melontarkan ancaman terhadap AS
dan Israel secara terbuka, beringas tanpa kompromi sedikit pun. Situasi
perang tersebut akan terus berlangsung selama para pengikut aliran ekstremis
Taliban, Al-Qaeda dan rezim mullah Iran dan diktator Saddam masih tetap
menjadi "hero dan panutan" bagi kaum ekstremis di pelbagai penjuru dunia.
Selama orang seperti Hashim Aghajari dan banyak lagi tokoh Islam moderat
malah dihukum mati oleh rezim fasis model Teheran, Baghdad, yang mengacu
kepada Taliban dan Al-Qaeda, maka selama itu juga dunia masih akan
menghadapi ancaman terorisme dan perang melawan teror. Dan perang yang mahal
secara ekonomi itu hanya akan lebih membuat ekonomi Dunia Ketiga terpuruk.
Karena mereka harus tergantung kepada tiga lokomotif AS, Jerman, Jepang,
termasuk RRC tidak bisa tumbuh kalau tidak menjual di pasar AS yang sudah
mencapai 100 miliar dolar AS.
Kalau ekonomi AS memburuk terus karena harus mengeluarkan miliaran dolar
untuk membela diri dan menghukum teroris maka seluruh dunia juga akan ikut
terpuruk. Sampai kapan perang antiteror ini berlangsung? Jawabannya sebagian
bergantung pada sukses melakukan "reformasi Islam" seperti yang diusulkan
Ulil dan Hasyim Aghajari. Sayangnya usulan mereka malah dibalas dengan
"fatwa mati" yang bernapaskan "teror mental". Jadi tampaknya slogan "it's
the economy, stupid" dan "it's the terrorism stupid" secara paralel akan
tetap menguasai kehidupan umat manusia dimana saja termasuk Indonesia. u
Last modified: 10/12/2002