[Nasional-m] Soeharto Masih Mengalami Gangguan Berbahasa

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Aug 13 02:00:20 2002


Selasa, 13 Agustus 2002

Soeharto Masih Mengalami Gangguan Berbahasa

Jakarta, Kompas - Meski mantan Presiden Soeharto dapat melakukan kegiatan
sehari-hari tanpa bantuan orang lain, stroke yang pernah dialaminya masih
menyisakan gangguan berbahasa yang disebut afasia. Kemampuannya berbicara
spontan dan mengerti pembicaraan orang lain terganggu berat, sedangkan
modalitas bahasa yang lain terganggu sedang sehingga Soeharto tidak kompeten
untuk berkomunikasi.
Demikian hasil pemeriksaan kesehatan terbaru oleh Tim Penilai Kesehatan dari
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, yang diumumkan di Kantor Kejaksaan Agung,
Senin (12/8). Pengumuman disampaikan langsung oleh Ketua Tim Penilai
Kesehatan Dr dr Akmal Taher SpU, didampingi anggota tim dr Silvia Francina
Lumempouw SpS dan Prof dr Jusuf Misbach SpS.
Pengumuman diantar oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung
(Kejagung) Barman Zahir. Hadir juga Direktur Penuntutan I Made Yasa, Kepala
Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan Purwanto, dan Jaksa Penuntut Umum
(JPU) JW Mere dan Umbu Lage Lozari.
Pemeriksaan dilakukan 10 dan 14 Juni 2002 yang berlangsung selama 90 menit
dan 60 menit. Menurut Barman, hasil pemeriksaan itu telah disampaikan ke
Kepala Kejari Jaksel dan diteruskan ke Jaksa Agung, diikuti dengan pemaparan
secara intern. Namun, sesuai kode etik kedokteran, pengumuman kepada publik
soal kesehatan Soeharto memerlukan persetujuan keluarga. "Tanggal 6 Agustus
2002 kami telah menerima persetujuan dari keluarga untuk mengumumkannya,"
katanya.
Akmal menjelaskan, sesuai dengan surat penugasan, tim dokter melakukan
pemeriksaan secara teliti dan menyeluruh terhadap kesehatan mutakhir dari
terdakwa HM Soeharto untuk kepentingan tahap pemeriksaan terdakwa di muka
persidangan pengadilan.
Dalam rangka pemeriksaan tersebut, lanjut Akmal, tim dokter telah merumuskan
beberapa pengertian, metodologi, merencanakan pemeriksaan yang diperlukan,
mendokumentasikan seluruh hasil pemeriksaan, melakukan analisis dan membuat
kesimpulan menyangkut status kesehatan Soeharto.
Pemeriksaan meliputi penelitian riwayat perjalanan penyakit pada rekam medis
Soeharto, pemeriksaan fisik umum dan kardiovaskuler, ekokardiografi,
neurologi klinik, status mental yang meliputi psikiatri klinik dan fungsi
luhur, laboratorium, serta radiologis dan imaging.
Afasia
Soeharto yang pernah terkena stroke dua kali (tahun 1997 dan 1999) telah
mengalami gangguan fungsi otak untuk berbahasa yang disebut afasia. Ketika
untuk kedua kalinya terkena stroke, 20 Juli 1999, Soeharto sempat terkena
afasia global atau tidak dapat berbicara dan tubuh sisi kanan lemah.
Namun, setelah menjalani rehabilitasi tiga tahun, gangguan fungsi otak
berbahasa berkurang dari afasia global menjadi afasia nonfluet campuran.
Menurut Lumempouw, afasia nonfluet campuran berarti tidak kompeten untuk
berkomunikasi lisan dan tulisan.
Lumempouw lebih lanjut menjelaskan, gangguan berbahasa ini terjadi karena
sel-sel otak di fungsi berbahasa mengalami kerusakan yang menetap atau
infark. Sedangkan gangguan motorik berupa tubuh sisi kanan lemah bisa
membaik karena sel-sel otak di bagian itu hanya mengalami edema atau
pembengkakan.
Gangguan pada kemampuan berbicara spontan membuat Soeharto tidak mampu
menjawab atau menuturkan isi pikiran dengan kalimat yang panjangnya lebih
dari empat kata. Ia tidak lagi memahami aturan tata bahasa yang benar
sehingga sering terjadi pengucapan kata yang salah aturan.
Soeharto juga tidak mampu memahami kalimat panjang yang ditanyakan
pemeriksa, maupun mencernakan informasi yang diperlihatkan dalam bentuk
nonverbal (cerita dalam bentuk gambar berurutan) yang memerlukan proses
berpikir kompleks.
Rekaman suara
Kepada wartawan, tim dokter kemudian memperdengarkan rekaman pemeriksaan
Soeharto saat menjalani tes stimulasi kemampuan berbicara langsung. Kepada
Soeharto diperlihatkan urutan gambar lomba lari kelinci dan kura-kura, dan
ia diminta untuk membuat kalimat yang menceritakan peristiwa sesuai urutan
gambar.
Dari hasil rekaman yang didengarkan bersama-sama, suara Soeharto tidak jelas
bahkan hanya sepatah-sepatah saja. Menurut laporan kesehatan itu, mimik muka
Soeharto sering berubah kesal bila tidak dapat menemukan kata yang
diinginkan.
Pemeriksaan bahkan harus dihentikan karena setiap kali kesulitan menemukan
kata, sistem kardiovaskulernya terpengaruh sehingga terjadi peningkatan
tekanan darah dan kecepatan denyut jantung. Dari total 14 gambar aktivitas
yang ditunjukkan, hanya empat yang dapat dijawabnya.
Soeharto juga hanya mampu membaca lambat dan terjadi pengulangan. Ia hanya
mengerti bahasa tulisan bila kalimat pendek sederhana (misalnya melakukan
perintah tertulis "menunjuk pintu") dan tidak memahami kalimat kompleks
("mengangkat tangan kanan ke atas dan memegang hidung dengan tangan kiri").
Ia menulis lambat sekali sambil dieja.
Tim dokter juga menyatakan bahwa kemungkinan Soeharto berpura-pura dapat
dihilangkan dengan sikap terdakwa yang kooperatif, serius, tidak memperburuk
diri, paham atas keterbatasannya, konsisten, dan sanggup menjalani
pemeriksaan cukup lama.
Namun, Akmal mengingatkan, pihaknya sebagai tim penilai kesehatan hanya
berwenang melakukan pemeriksaan fisik dan mental. Sedangkan keputusan akhir
soal bisa tidaknya Soeharto diajukan ke pengadilan harus dikeluarkan oleh
pihak kejaksaan.
Diserahkan JPU
Barman Zahir menyatakan, soal perkara Soeharto bisa dilanjutkan atau tidak
diserahkan pada JPU. "Kesimpulannya kan dia tidak bisa berbicara empat kata.
Sedangkan pemeriksaan di pengadilan perlu lebih dari empat kata. Nah, ini
terserah Penuntut Umum," kata dia.
"Kami sebagai JPU atas dasar ini akan melakukan kajian hukum, tentunya
berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menempatkan
hak asasi manusia (HAM) sebagai causa prima. Artinya, hak-hak terdakwa untuk
membela diri sangat dijunjung," ujar JPU.
Sedangkan Kepala Kejari Jaksel Purwanto ketika ditanya wartawan soal
kelanjutan gugatan perdata terhadap yayasan yang dibentuk Soeharto, ia
menyatakan kemungkinan untuk hal itu bisa saja. Akan tetapi, perkara pidana
diselesaikan dulu.
Salah seorang pengacara Cendana, Indriyanto Seno Adji, menegaskan, sejak
awal pihaknya sudah menduga bahwa hasil pemeriksaan dokter Juni lalu sama
dengan hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan sebelumnya. Menurut dia,
pemeriksaan ulang kesehatan Soeharto menunjukkan sikap tidak konsisten jaksa
terhadap pendapat dokter.
"Mestinya, jaksa tegas saja kalau tidak bisa dilanjutkan perkaranya ya sudah
bilang tidak bisa. Ini menunjukkan kekhawatiran
jaksa terhadap penghentian perkara Soeharto. Karena kalau dihentikan akan
menimbulkan stigma kelembagaan pada Kejagung sendiri," ujarnya. (son/nes)
Search :










Berita Lainnya :
•Hentikan Konversi Lahan Pertanian
•Baru 33,27 Persen Formulir yang Kembali
•Foto: Memperingati Bung Hatta
•Gedung DPRD Banten Dirusak Massa
•Ibu Dua Anak Bunuh Diri di Kolam Buaya
•Indonesia, Negara Transit Penyelundupan Manusia
•"Kabuyutan" di Gunung Gededan Gunung Pangrango
•Mahkamah Konstitusi Bisa Atasi Krisis Multi-interpretasi UUD
•Soeharto Masih Mengalami Gangguan Berbahasa