[Nasional-m] Penguasaan Informasi Tuntutan Ekonomi Global

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Aug 13 23:02:08 2002


Jawa Pos
Rabu, 14/08/2002

Penguasaan Informasi Tuntutan Ekonomi Global
Oleh Henry Subiakto

Tak semua negara mampu memahami gejala global dan memanfatkannya. Sebagian
besar negara berkembang, termasuk Indonesia, lebih sering menjadi objek
kemajuan dan kesiapan negara lain. Yang terjadi mengalirnya begitu banyak
informasi dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang atau unevent
globalization (globalisasi yang timpang).

Konsep free flow of information yang dicita-citakan banyak negara berkembang
masih menjadi wacana pada tataran konseptual. Praktiknya, arus informasi
didominasi negara-negara maju. Negara dunia ketiga lebih banyak menjadi
penerima, tanpa mampu mengirimkan secara seimbang informasi mengenai
negaranya. Bahkan, kalaupun ada informasi tentang mereka, informasi tersebut
berada dalam bingkai persepsi negara-negara maju. Akhirnya, yang tampil di
media internasional lebih banyak sisi negatif, sedangkan realitas yang
mempunyai nilai positif sering terabaikan.

Negara berkembang, seperti Indonesia, mempunyai kelemahan sistematik.
Informasi acap kali lepas tanpa pengelolaan public relations yang benar.
Padahal, menurut Frank Jefkins dalam bukunya Essential of Public Relations
(1999), salah satu hal yang harus dilakukan oleh negara dalam era
globalisasi saat ini adalah melakukan international public relations. Yaitu
menyangkut pembentukan citra negara tersebut di tengah-tengah eksistensinya
di antara negara-negara lain. Caranya, proaktif dan memperhatikan sistem
arus informasi negara-negara lain, terutama yang menjadi stakeholders-nya.

Pada era yang disebut sebagai imagologi sekarang ini, image-lah yang
menentukan sikap, opini, maupun perilaku terhadap sesuatu objek. Image lebih
berpengaruh signifikan dibanding realitas yang sesungguhnya. Itulah mengapa
exporting public relations menjadi begitu penting pada zaman yang menurut
Wilson Bryan Key (1997) disebut The Age of Manipulation.

Sekarang, siapa yang menguasai informasi, merekalah yang akan menguasahi
dunia. Kenichi Ohmae dalam buku The End of tThe Nation State (1995) bahkan
menyatakan, perekonomian dunia saat ini telah berubah dari perekonomian
barang menuju ke perekonomian informasi.

Sebagai ilustrasi, pergerakan ekonomi dunia yang menonjol di era globalisasi
adalah perdagangan uang dan saham, pariwisata, serta investasi asing dari
perusahaan multinasional. Gerak dan aktivitas ketiga sektor itu amat
bergantung pada persoalan komunikasi dan penyediaan informasi.

William Greider dalam bukunya One World, Ready or Not, The Manic Logic of
Global Capitalism (1999) menunjukkan peran teknologi informasi dalam
perdagangan uang global. Dewasa ini betapa mudah uang berpindah dari satu
tempat ke tempat lain hanya lewat gagang telepon atau internet. Uang bukan
lagi sekadar alat tukar, tapi sudah menjadi barang dagangan, tak ubahnya
dagangan yang dijual di pasar. Kini banyak orang menjadi pedagang valas yang
kerjanya menjual valuta asing. Yang dijual bukan uang dalam arti konkret
berupa lembaran-lembaran atau pecahan, melainkan dalam bentuk bonds, stocks,
commercial notes, dan sebagainya.

Para pelaku pasar uang dunia yang berpusat di New York, London, dan Tokyo,
dalam sebuah transaksi, sekali pencet tombol atau cursor, bisa bertransaksi
lebih dari USD 100 juta. Seperti yang dilakukan Rob Johnson (manajer kantor
Soros Fund Management), juga George Soros sendiri, ataupun teman-teman
seprofesinya. Dalam hitungan jam, bahkan menit, berbagai peristiwa ekonomi,
politik, dan sosial yang terjadi di berbagai negara mereka pantau dan
menjadi dasar analisis bertransaksi mereka. Itulah yang dilakukan Soros
ketika menghajar mata uang Inggris pada hari Black Wednesday 1992. Ataupun
1995 tatkala mengguncang ekonomi Mexico, dan 1997 saat menghantam mata uang
dan saham kawasan Asia yang salah satu korbannya adalah Indonesia. Kesemua
itu dilakukan atas dasar informasi dan analisisnya. Informasi dalam konteks
ekonomi global menjadi amat signifikan.

Menurut catatan 1994, kantor berita Reuters telah mengantongi pemasukan dari
penyediaan informasi pada para pelaku pasar uang jauh melebihi pendapatan
klasiknya sebagai kantor berita yang menyokong informasi untuk media massa.
Pendapatan sebagai kantor berita pada tahun itu hanya 27 persen dari total
income. Sedangkan pendapatan dari bisnis informasi di money trading mencapai
73 persen. Itu berarti kiprah Reuters melalui unit usahanya, Globex, yang
bekerja sama dengan Chicago Mercantile Exchange dan Marche e Tenne
International De France, lebih banyak melayani pasar uang dunia dibanding
penyediaan informasi untuk pemberitaan media massa.

Sekarang omzet pasar uang dan saham dunia berlipat-lipat jauh lebih besar
daripada perdagangan barang melalui ekspor impor. Pada 1986 saja,
diperkirakan omzet sehari USD 300 miliar atau per tahun USD 75 triliun.
Sementara itu, nilai volume perdagangan dunia pada tahun itu hanya USD 3
triliun. Ini berarti nilai perdagangan uang sudah 25 kali lipat daripada
perdagangan barang. Begitu pula jika diperbandingkan dengan dana yang
dimiliki oleh lima bank sentral terbesar di dunia (AS, Inggris, Jerman,
Jepang, dan Swiss). Pelaku pasar uang memiliki dana dua kali lebih besar
atau perbandingannya 2:1. Cadangan devisa kelima bank sentral itu pada 2002
hanya USD 278 miliar, sementara uang yang beredar di kalangan money trader
USD 623 milliar. Jadi, kondisinya amat rentan terhadap guncangan ekonomi.
Atau secara konseptual, the power of capital telah jauh melampaui the power
of state dalam perekonomian global saat ini. Itu semua terjadi karena,
antara lain, penguasaan teknologi komunikasi yang semakin canggih. Dengan
berbekal informasi yang mereka peroleh, pelaku pasar uang dapat memainkan
peran globalnya secara meyakinkan, cepat, dan efisien.

Reaksi-reaksi terhadap berita pergeseran kebijakan, kumpulan data-data
mingguan tentang situasi finansial dan ekonomi di berbagai negara, dan
bahkan berita-berita mengenai peristiwa yang tidak terkait (sunspot) yang
dapat disebarkan dalam hitungan menit bahkan detik telah menyebabkan
terjadinya aliran modal ataupun investasi yang masif antarmata uang di
dunia. Kondisi ini mendorong kesadaran pentingnya informasi global, serta
menuntut antisipasi berbagai pemerintahan agar tidak hanya menjadi objek
fenomena.
*. Drs Henry Subiakto SH MA, dosen komunikasi dan pascasarjana Unair