[Nasional-m] Belajar Menjadi Manusia Merdeka

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Aug 16 06:24:03 2002


Suara Karya

Belajar Menjadi Manusia Merdeka
Oleh Martina Susanti

Jumat, 16 Agustus 2002
Beberapa saat terakhir diberitakan bahwa ada lima orang tenaga kerja
Indonesia (TKI) di Malaysia yang terkena hukuman cambuk dari pemerintahan
setempat. Mereka "terpaksa" menerima hukuman itu, sebagai konsekuensi dari
pelanggaran yang dilakukannya. Hukum di negara itu memang membenarkan untuk
memberikan hukuman semacam itu kepada tenaga kerja, termasuk tenaga kerja
asing sekalipun. Tak heran, bersamaan dengan itu, ratusan ribu TKI dari
Malaysia akhirnya terpaksa melarikan diri dan pulang ke Indonesia, selain
karena terjadi pengurangan penggunaan tenaga kerja asing, juga untuk
menghindari diri dari ancaman hukuman semacam itu.
Fenomena menyedihkan itulah yang kini tengah kita hadapi bersama. Fenomena
ini setidaknya memberikan gambaran bahwa warga masyarakat Indonesia masih
banyak yang diperlakukan bagaikan "budak" di negeri orang. Maklum, di negeri
sendiri mereka juga sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang "layak", dalam
artian cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik (bukan kebutuhan hidup) minimum,
sehingga dengan terpaksa mereka merantau ke negeri orang untuk mencari
penghidupan yang layak. Banyak diantara mereka yang sudah berkeluarga dan
terpaksa meninggalkan sanak famili dan keluarganya demi menata masa depan
yang lebih baik. Namun, ancaman hukuman, akhirnya memaksa mereka untuk
pulang ke negara asal.
Kejadian pemulangan massa TKI dari Malaysia ini sebenarnya bukan yang
pertama terjadi. Kejadian tragis serupa, sudah sering kita alami. Banyak
misalnya tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia, yang terpaksa pulang dengan
membawa anak hasil hubungan gelap (pemerkosaan) dengan majikan, atau hamil
tanpa adanya ayah yang bertanggung jawab. Atau ada pula TKI/TKW yang pulang
ke Indonesia akibat dianiaya oleh majikannya yang super galak itu. Belum
lagi bicara mengenai calon TKI/TKW yang ditipu oleh biro penyalur tenaga
kerja setelah membayar jutaan rupiah, yang akhirnya terpaksa tidak jadi
diberangkatkan. Rentetan peristiwa tragis semacam ini masih banyak dialami
oleh warga negara Indonesia, yang notabene sudah hidup di alam yang merdeka.
Berbagai rentetan kejadian semacam ini menarik untuk direnungkan sehubungan
dengan peringatan hari kemerdekaan RI ke-57 tahun ini. Bahwa ternyata di
alam yang sudah merdeka ini, masih terdapat fenomena "perbudakan" yang
mengambil wajah baru dalam bentuk TKI dan sejenisnya. Masih banyak dijumpai
eksploitasi manusia terhadap sesamanya. Jika dicermati secara lebih
mendalam, fenomena pemulangan TKI akibat ancaman hukuman, setidaknya
menggambarkan terjadinya bentuk-bentuk perbudakan terselubung. Para TKI ini
ibarat budak, yang setiap saat bisa dipecat, dipulangkan, dihukum, serta
diperlakukan secara tidak manusiawi. Hak-hak mereka dirampas begitu saja,
persis layaknya budak yang tidak memiliki hak dan bargaining (posisi tawar)
apa-apa terhadap majikannya.
Tak hanya sebatas itu tentunya. Kondisi dan nasib tenaga kerja di dalam
negeri sendiri sungguh memprihatinkan. Akibat sulitnya mencari pekerjaan -
karena negara tidak mampu memberikan dan membuka lapangan kerja--, banyak
tenaga kerja di Indonesia yang bekerja dengan upah di bawah upah minimum
regional (propinsi). Jelas, kehidupan mereka bagaikan layang-layang putus,
yang diombang-ambingkan oleh "angin" yang tidak menentu. Bagi mereka yang
memiliki keluarga, jelas penghasilan sebesar itu tidak akan mencukupi.
Bukankah fenomena semacam ini juga merupakan bentuk-bentuk eksploitasi buruh
secara luar biasa? Bukankah ini juga merupakan bentuk-bentuk perbudakan
terselubung?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Balai Pustaka (1997),
perbudakan dapat diartikan sebagai: pertama berarti perihal budak (hamba),
segala hal mengenai budak belian. Kedua, sistem segolongan manusia yang
dirampas kebebasan hidupnya untuk bekerja guna kepentingan golongan manusia
yang lain. Mencermati fenomena yang terjadi di bidang tenaga kerja
(perburuhan), maka dapat disimpulkan bahwa fenomena perbudakan benar-benar
sudah terjadi di depan hidung kita bersama. Mereka para TKI/TKW atau buruh
harian, adalah orang atau pribadi yang sudah dirampas hak-haknya, dan
bekerja demi kepentingan sekelompok orang, dalam hal ini si pemberi kerja.
Mereka bukan lagi manusia merdeka, manusia yang bebas menjalankan hak-hak
dan kewajibannya.
Padahal, negeri ini sudah merdeka secara dejure (hukum) selama 57 tahun.
Maka sungguh aneh apabila di alam kemerdekaan ini, masih banyak dijumpai
manusia yang belum merdeka. Dalam kategori ini, manusia yang ada bisa
digolongkan dalam dua jenis. Pertama adalah manusia yang menjadi budak, dan
kedua adalah manusia yang menjadikan orang lain sebagai budak. Kedua
golongan ini sama-sama masuk dalam siklus dan mata rantai perbudakan, yang
berarti adalah sosok manusia yang belum merdeka, karena masih dibelenggu
dengan mental budak dan perbudakan. Kedua-duanya harus melakukan reformasi
untuk benar-benar menjadi manusia yang merdeka, yang terbebas dari ikatan
(belenggu) apapun juga.
Untuk itu, manusia Indonesia selayaknya belajar untuk merdeka dari belenggu
penindasan dan perbudakan. Golongan manusia pertama misalnya, jangan mau
lagi dijadikan "budak belian" atau buruh yang digaji teramat murah. Mereka
harus mengerti hak dan kewajibannya sebagai seorang pekerja. Mereka harus
memiliki posisi tawar (bargaining position) yang memadai, sehingga para user
atau pemakai bisa menghargai layaknya seorang manusia yang perlu dihargai.
Untuk itu, mereka harus bersatu padu menggalang kekuatan, sehingga posisi
tawarnya akan semakin meningkat. Polapola ideal semacam hubungan industrial
Pancasila harus benar-benar dilaksanakan, tidak hanya sekadar yargon-yargon
mati yang kehilangan roh.
Melalui serikat pekerja atau asosiasi buruh lainnya, mereka bisa
meningkatkan posisi tawarnya, sehingga mereka bisa bekerja dalam kapasitas
yang optimal dan dihargai sewajarnya. Para buruh ini harus menjadi tuan
rumah di negeri sendiri. Untuk itu, pemerintah berkewajiban menciptakan
iklim yang kondusif, sehingga sektor riil, dunia usaha akan mampu kembali
bergerak, sehingga lonjakan angka tenaga kerja yang sudah cukup kritis ini,
dapat teratasi dengan baik. Proyek-proyek padat karya perlu kembali
digerakkan di kawasan pedesaan, maupun perkotaan sehingga mampu menyerap
ledakan angka penggangguran yang sangat luar biasa cepatnya.
Demikian pula bagi mereka yang memiliki kesempatan untuk menjadikan manusia
sebagai budak, juga harus belajar merdeka. Mereka para pemilik kerja,
pemilik perusahaan, juragan, pengusaha, harus pula belajar untuk
memperlakukan para buruh dan pekerjanya secara manusiawi.
Mereka harus belajar merdeka, tidak mengeksploitasi buruh, tidak menekan
ongkos (gaji) buruh, memberikan k esejahteraan buruh yang memadai. Inti
persoalan, mereka harus pula memanusiakan buruh yang bekerja di
perusahaannya. Sebab, bagaimanapun juga mereka adalah stakeholder, yakni
pihak yang berkepantingan dengan maju mundurnya perusahaan yang
bersangkutan. Buruh adalah mitra sejajar yang perlu diberi penghargaan yang
selayaknya.
Para pejabat, politisi hendaknya juga belajar untuk merdeka, untuk tidak
mengeksploitasi rakyat demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Mereka
harus tampil elegan dan menjadikan rakyat menjadi kelompok sasaran yang
harus diberdayakan, dimerdekakan. Kalau selama ini mereka cenderung memakai
raat sebagai yargon politik pemberdayaan, maka saat in harus merubah
paradigmanya. Rakyat, merupakan sentra tujuan yang harus diutamanakan, tidak
hanya sekadar basa-basi belaka. Tahta untuk rakyat, membela kepentingan wong
cilik, harus benar-benar diwujudnyatakan bersama. Tanpa itu semua,
kemerdekaan yang sesungguhnya tidak akan pernah terwujud, yang terjadi
adalah kemerdekaan semu.
Untuk mewujudkan semuanya itu, segenap komponen bangsa harus sama-sama
belajar untuk menjadi manusia yang benar-benar merdeka, jauh dari
penindasan, kekerasan, ketidakadilan, pemerasan, dan perbudakan. Hari jadi
RI ke-57, hendaknya dijadikan momentum kebangkitan bagi manusia Indonesia
untuk benar-benar merdeka.
Belajar menjadi manusia yang mandiri, yang tidak tergantung pada siapapun,
bertumpu pada kekuatan sendiri serta tidak dieksploitasi dan mengeksploitasi
orang lain, adalah agenda yang sangat mendesak. Tujuan akhirnya adalah
menjadikan manusia Indonesia benar-benar merdeka. Dirgahayu RI ke-57.
(Martina Susanti, ibu rumah tangga, pegiat sosial-kemasyarakatan).