[Nasional-m] (no subject)

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Aug 20 01:39:26 2002


Suara Merdeka
Selasa, 20 Agustus 2002 Karangan Khas

Kemakmuran  yang Mula Sirna
Oleh: H Soeparto Tjitrodihardjo

KEBERADAAN republik tercinta yang kini berulang tahun ke-57, dalam kondisi
memprihatinkan. Berbagai badai kehidupan menerpa dan bermunculan masalah
demi masalah. Lima presiden telah mengantarkan pencapaian tujuan bangsa dan
negera. Dari Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, dan Megawati telah
kita rasakan getarannya dalam mencapai tujuan menyejahterakan bangsa.
Gelombang persoalan telah dihadapi oleh masing-masing pemimpin bangsa. Upaya
keluar dari berbagai kemelut dilakukan dengan cara berbeda, namun tujuannya
sama yakni melepaskan diri dari belenggu keterbelakangan. Sayang dalam
keanekaragaman berpolitik tidak dapat menciptakan perekonomian sehat.
Melalui jiwa kepemimpinan yang ada, lukisan tujuan negara sedikit terlihat.
Karena ambisi dan keserakahan yang dimunculkan sejumlah individu para
pemimpin, kemakmuran yang mulai dirasakan menjadi sirna.
Karena persatuan dan kesatuan tidak dapat dimantabkan, muncul pergolakan
dengan melahirkan wacana menuju Indonesia baru. Ditengarai dengan tekad yang
baru, datanglah kehidupan bernamakan reformasi.
Tolok ukur keberhasilan tidak dilihat dari lamanya waktu menghirup kebebasan
dari belenggu penjajahan, melainkan sejauh mana kemakmuran, kese jahteraan,
dan keadilan telah dapat kita rasakan. Mengingat tujuan kita bernegara untuk
mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, dan mencerdaskan seluruh bangsa.
Tiga tujuan tersebut, jujur saja telah dapat kita rengguk terbukti banyak
orang pandai dari negeri ini yang mendapatkan legitimasi negara luar, hingga
ada yang dikontrak sebagai tenaga ahli.
Demikian halnya kesejahteraan dan kemakmuran juga merambah ke masyarakat
pedesaan.
Menjadi Rebutan
Yang namanya daerah terisolasi hampir tidak ada lagi. Dari kota sampai ke
pelosok telah dapat dilalui dengan kendaraan bermotor. Tidak hanya itu,
media elektronik dan cetak juga sampai ke pedesaan.
Tidak berlebihan jika masyarakat di desa sekarang ini tidak lagi buta
informasi. Media yang ada dapat menembus ke segala ruang, menjadikan
berbagai kejadian dapat diketahui secara cepat.
Di sinilah mulai muncul permasalahan baru. Sebagai layaknya kejiwaan setiap
individu selalu ingin tahu, memberi tahu, dan menciptakan sesuatu yang baru
untuk diketahui orang lain.
Dari sinilah nampaknya kelahiran orang saling berbeda dan salah pendapat.
Sikap yang berlebih pun menyelimuti udara desa terpencil. Tak pelak mereka
yang ingin tahu lari ke kota dan sepulangnya berupaya mempengaruhi tetangga
dan keluarganya. Jadilah kehidupan yang kebablasan.
Kemakmuran yang pernah kita nikmati di tahun 80-an berlalu begitu cepat. Ini
semua tidak lepas dari tangan jahil yang ingin berkuasa sesuai kehendak
pribadi maupun golongan. Dengan melakukan perpecahan melalui provokasi yang
dihembuskan lewat orang-orangnya.
Dua orang pemimpin sebelumnya pun tumbang begitu saja. Catatan demi catatan
muncul dalam kehidupan yang multiambisi. Persatuan dan kesatuan yang
terpupuk berpuluh-puluh tahun lamanya terancam kelanggengannya.
Kebebasan yang tidak terbatas muncul sebagai wujud semangat menghirup udara
reformasi. HAM yang didambakan, dipolitisasi sebagai salah satu legitimasi
mencapai tujuan seseorang atau kelompok dan golongan.
Tahta pucuk kepemimpinan akhirnya menjadi rebutan, dan muncul sikap
popularitas tak bermoral. Rakyat pun menjadi korban. Bahkan tidak sedikit
yang terlena, para teknokrat jadi tumbal. Mahasiswa sebagai penegak
reformasi juga berjatuhan.
Setelah dua pemimpin lagi turun dari tahta, harapan baru diserahkan kepada
putri proklamator. Belum dapat diketahui sejauh mana kapal ini dapat
berlabuh dengan sejuta kesejukan.
Tanpa melihat siapa yang telah menyejahterakan dalam konteks kemakmuran,
bangsa di negeri ini terkenal sebagai penebar cinta kasih. Sebagai
implementasi kebebasan yang disambut penuh suka, telah melahirkan banyak
partai politik.
Partai politik yang kini lahir, berkewajiban mengemban misi (mengemban
amanah) melaksanakan tugas pokok partai. Namun dalam mengemban amanah,
setiap partai politik akan berangkat dari visi (pandangan dasar) tertentu,
atau setiap partai politik mempunyai platform (kerangka dasar perjuangan)
tertentu.
Visi utama bagi semua partai, diharapkan untuk mempertahankan keberadaan
negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang secara filosofis diuraikan dalam
pembukaan UUD 1945.
Dalam pembukaan UUD 1945 dinyatakan secara filosofis, sikap kita sebagai
bangsa, motivasi kita menjalankan kemerdekaan, bentuk negara, tujuam negara,
dan dasar negara yang kita bentuk. Tegasnya mempertahankan NKRI yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Tujuan Bernegara
Kami menyadari barangkali semua partai di Indonesia berangkat dari pandangan
pokok ini. Yang barangkali berbeda adalah memilih titik berat sebagai
pangkal bertolak mencapai tujuan kita bernegara, yaitu mewujudkan
kesejahteraan, kemakmuran, dan mencerdaskan seluruh bangsa.
Untuk mencapai tujuan bangsa ini, kata kuncinya bertolak pada keadilan.
Sebab ketidakadilan bisa menimbulkan apa yang disebut kecemburuan sosial.
Dari kecemburuan itulah muncul perpecahan yang pada ujung-ujungnya sangat
membahayakan keberadaan negara itu sendiri, berupa gerakan sparatisme yang
merupakan gejala disintegrasi bangsa.
Yang dimaksud adil adalah adil sesama warga, adil antargolongan, antardaerah
dan daerah dengan pusat.
Adil juga berarti tidak harus sama. Tetapi seimbang, yaitu seimbang fungsi,
dengan beban dan tanggung jawab, dengan peran dan keperluannya. Sama
mutlaknya dengan keadilan adalah persatuan.
Keadilan akan mempertebal persatuan, dan persatuan akan mewujudkan keadilan.
Berbicara tentang persatuan, kesadaran pertama adalah sadar bahwa kita ini
berbeda-beda dan beragam.
Bila kita sadar kita ini beragam, maka untuk menggalang persatuan harus dari
titik persamaan kita. Titik persamaan sebenarnya sudah ditemukan oleh pemuda
tahun 1928, yaitu rasa kebangsaan dengan mengakui berbangsa satu, bertanah
air satu, dan menggunakan satu bahasa.
Untuk dapat mengatur langkah ke depan dengan benar, kita harus mampu
menganalisa dan menilai keadaan sekarang dengan tepat. Barangkali tidaklah
salah apabila kita menilai keadaan saat ini serba gonjang-ganjing, baik di
tingkat pusat sampai di tingkat bawah.
Instable (tidak stabil) selalu ada saja yang menjadi pertentangan
antargolongan dan kelompok, yang kadangkala disertai dengan tindakan dan
perbuatan kekerasan.
Karena letak permasalahan utama adalah situasi yang tidak stabil, maka
langkah untuk maju yakni menciptakan stabilitas di segala bidang, utamanya
stabilitas politik. Stabil bukanlah berarti mandeg. Tetapi keadaan tenang
dan tertib yang memungkinkan dilakukan kegiatan-kegiatan untuk maju.
Menurut hemat saya, stabilitas bagi suatu negara sama dengan kesehatan bagi
seseorang.
Demikian pula bagi suatu negara. Stabilitas belum berarti semuanya bagi
negara, tapi tanpa stabilitas semuanya tidak berarti bagi negara itu. (33)
-Drs H Soepoarto Tjitrodihardjo, mantan Ketua DPRD Jateng yang kini sebagai
Ketua PKP Jateng