[Nasional-m] Dari Pemberdayaan Ko-eksistensi Menuju Pro-eksistensi

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Aug 23 01:48:02 2002


Kompas
Jumat, 23 Agustus 2002

Dialog Antar-agama
Dari Pemberdayaan Ko-eksistensi Menuju Pro-eksistensi
Oleh Benny Susetyo

AGAMA sebagai realitas sosial sejak ratusan atau ribuan tahun lalu telah
membuktikan bahwa dalam dirinya memiliki kekuatan perubah yang sangat
dahsyat. Bahkan, jauh sebelum Weber memperkenalkan tesis protestant
ethic-nya, kekuatan agama sudah berulangkali membuktikan mampu melakukan
perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat. Sebagai basis keyakinan dalam
masyarakat, agama mampu mendorong pemeluknya untuk memandang realitas dunia
sebagai obyek yang senantiasa disikapi, menurut visi teologis agama itu
sendiri.
Dalam kenyataannya, perubahan sosial yang didorong oleh semangat agama
terkadang tidak sejalan dengan nilai kesucian agama itu sendiri. Sebab,
untuk menjadi daya dorong perubahan sosial, teks suci agama tentu melewati
berbagai institusi (dan personifikasi) yang kerap tidak netral dan obyektif
dalam memandang realitas. Satu hal lagi, karena agama kerap diposisikan
secara formal-simbolistik bukan substansial; hanya diperjuangkan
nilai-nilainya secara parsial tidak universal.
Itulah, maka tak mengherankan jika atas nama agama, manusia bisa
berbunuh-bunuhan satu sama lain membela kesucian yang absurd. Apalagi jika
ada pihak-pihak di luar agama yang turut memperkeruh suasana dengan
memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, maka otomatis tanpa disadari
posisi agama sebagai kekuatan pembebas makin lama makin pudar, surut, susut,
kering, dan tidak terasa lagi. Kira-kira, begitulah yang terjadi di Maluku
dan berbagai daerah konflik.
Dialog antar-agama yang telah lama digagas di Indonesia, sampai kini,
akhirnya terseret hanya untuk meredam potensi konflik antar-agama. Dialog
antar-agama sebagai wilayah perbincangan netral hanya mengurusi
masalah-masalah, baik yang ditimbulkan oleh tafsir konvensional atas teks
agama maupun oleh kekuatan luar yang memanfaatkan potensi konflik
antar-agama itu sendiri.
Tak bisa dipungkiri bahwa selama ini agama-yang menyebarkan ajaran
perdamaian, kasih sayang dan kesejahteraan- tidak termanifestasikan. Sebab,
agama hanya melayani pembelaan-pembelaan terhadap simbol-simbol saja. Dan,
dialog antar-agama yang memiliki peluang untuk menciptakan perdamaian, kasih
sayang, dan kesejahteraan, visinya hanya menyentuh pada aras perdamaian dan
kasih sayang. Visi mensejahterakan pemeluk agama yang sebenarnya juga perlu
diemban oleh komunitas dialog antar-agama, relatif belum tersentuh.
***
DI masa Orde Baru (Orba), meminjam ungkapan Gus Dur, agama hanya dijadikan
alat legitimasi untuk mengabsahkan proyek-proyek pembangunan yang tidak
diorientasikan untuk rakyat. Kolaborasi para elite agama dan birokrat,
menghasilkan kebijakan-kebijakan yang hanya berorientasi untuk menggolkan
kebijakan pembangunan yang berbasis semata-mata pada pertumbuhan ekonomi.
Setelah melegitimasi, jasa agama sendiri hanya dibalas dengan pembangunan
"sarana fisik" agama itu sendiri. Upaya untuk memberikan kesempatan luas dan
terbuka bagi pemeluk agama untuk meningkatkan kemampuan ekonominya, secara
tak disadari, tidak banyak diberikan.
Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mengingatkan kita akan arti
penting agama sebagai kekuatan pembebas. Selama ini wacana kita masih
terkonsentrasi pada bagaimana agar agama tidak menjadi kekuatan konflik yang
merusak. Penulis kira, kita harus mengembangkan wacana ini lebih jauh, yakni
membuat agama - melalui forum-forum lintas agama-mengembangkan rumusan dan
pola mensejahterakan masyarakat pemeluknya.
Mengapa ini penting? Sebab persoalan Indonesia, di samping potensi kerusuhan
atas nama agama, juga dipicu oleh kemelaratan dan kemiskinan yang
membelenggu semenjak negara Indonesia berdiri. Jika kita sepakat dengan
konsep bahwa kerusuhan massa lebih banyak disebabkan oleh ketidakberdayaan
ekonomi masyarakat, maka mau tidak mau forum dialog antar-umat beragama kini
semestinya memperluas jangkauan kerjanya, yakni mengalihkan konsentrasinya
pada persoalan masyarakat luas, persoalan kemanusiaan.
Ini kita yakini karena hampir 100 persen masyarakat Indonesia adalah
masyarakat beragama, bukan ateis. Sementara 80 persen di antara mereka
miskin secara ekonomi. Ini diperparah dengan adanya krisis ekonomi yang kita
rasakan mulai akhir 1997.
Mereka yang umumnya berada di pedesaan dan terbiasa dengan pola pertanian
yang konvensional akhirnya tercekik, tidak saja oleh kebijakan politik yang
hanya mementingkan massa, juga oleh kebijakan ekonomi yang tidak memihak
mereka. Harga BBM yang naik dan harga pupuk yang membubung tinggi, justru
tidak selaras dengan harga penjualan produksi mereka yang cenderung menurun.
Menghadapi hal-hal demikian itu, di mana peran agama? Di mana peran forum
dialog antar-umat beragama untuk memberdayakan umatnya, yang tak lain adalah
rakyat Indonesia ini?
Selama ini kita merasa tugas mengentaskan kemiskinan hanya terbebankan pada
negara. Ternyata, di samping tidak menyelesaikan tugasnya dengan baik karena
sering terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) negara juga kerap
terlibat dalam praktik-praktik politik temporal yang tidak jelas
pemihakannya pada rakyat banyak.
Karena itu, dengan tetap membiarkan negara melaksanakan tugasnya, agama
hendaknya tidak hanya menjalankan fungsi kontrol saja, melainkan juga
sebagai pelaksana dari pemberdayaan itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan
perluasan wilayah jangkauan gerakan keagamaan. Dan, ini akan dilakukan
dengan cara komunikasi antar-umat beragama dan mencari rumusan yang tepat
untuk memberdayakan para pemeluknya yang dilanda kemiskinan.
Gerakan pemberdayaan ekonomi melalui dialog antar-umat beragama selama ini
memang sudah dilakukan. Tapi, umumnya gerakan ini terbatas karena rumusan
dan pola pemberdayaan yang tidak jelas. Akhirnya biasanya mereka melebur
dalam gerakan-gerakan LSM dengan orientasi yang sama. Yang kita butuhkan,
dengan berpedoman pada kekuatan agama sebagai pembebas, adalah para elite
agama bersatu dalam sebuah komunitas dialog antar-agama untuk merumuskan
visi yang sama memberdayakan ekonomi masyarakat.
***
DENGAN demikian, pertama-tama langkah yang dilakukan adalah dengan
menepiskan dugaan-dugaan konvensional semacam kristenisasi maupun
islamisasi, dan sebagainya. Dan, dugaan-dugaan ini diasumsikan akan melenyap
dengan sendirinya jika rumusan pemberdayaan masyarakat dikerjakan secara
bersama-sama antara agama yang satu dan yang lain.
Dengan adanya kesepakatan, maka akan tercipta obyektivitas dan netralitas:
bahwa semua akan dilakukan atas nama kemanusiaan; bahwa peluang konflik atas
nama agama bisa diminimalkan jika masyarakat pemeluknya sudah berdaya baik
secara ekonomi, sosial maupun politik. Dengan demikian, fungsi sosial agama
akan kelihatan sejauh konsentrasi masyarakat bukan untuk saling mencurigai
dan berbunuh-bunuhan.
Selama ini tuduhan atas adanya penyebaran agama tertentu harus dilihat
sebagai akibat bahwa program pemberdayaan ekonomi dilakukan secara
sendiri-sendiri alias parsial. Belum ada suatu gerakan yang sangat kondusif
dan berpengaruh luas yang digagas oleh forum lintas agama untuk
memberdayakan para pemeluk agama secara integral sebagai warga negara
Indonesia.
Kesadaran ini melemah; salah satunya juga karena berangkat dari tafsir teks
agama yang simbolistik dan formalistik tersebut. Akhirnya, agama terjebak
hanya untuk melayani kepentingan umatnya sendiri dan tidak memperluas
jangkauannya sebagai wilayah kemanusiaan yang universal.
Agama dalam pandangan Hans Kung, hanya terjebak untuk pemenuhan
ko-eksistensinya saja, dan bukan pro-eksistensi. Dalam hal ini, gagasan
Dunne bahwa dialog agama mestinya menganut konsep passing over, bisa
dijalankan secara bebas dan bertanggung jawab.
***
AKHIRNYA, berdialog dengan cara ini, yakni dengan visi pemberdayaan ekonomi,
pada akhirnya membuat kita tidak cukup membiarkan pemeluk agama lain ada
(ko-eksistensi), melainkan lebih dari itu yakni memberdayakan dengan
berpartisipasi aktif meng-ada-kan (mengeksiskan) pemeluk agama lain
(pro-eksistensi). Transformasi dari sikap ko-eksistensi menuju
pro-eksistensi ini hendaknya tidak hanya mewujud dalam wacana saja, tapi
juga dalam sikap, konsep, rumusan, dan format pemberdayaan ekonomi
masyarakat secara jelas.
Apalagi di era globalisasi ekonomi yang sudah semakin mengkhawatirkan dalam
menciptakan pola kemiskinan yang baru, maka pemberdayaan kekuatan-kekuatan
lokal tidak bisa diabaikan begitu saja. Gagasan ini penting dikemukakan,
mengingat keterpurukan kita sebagai bangsa dan hilangnya harga diri kita
sebagai masyarakat telah membuat semakin hancurnya martabat kita sebagai
manusia.
Benny Susetyo Budayawan, pemerhati masalah sosial, tinggal di Malang
Search :










Berita Lainnya :
•Dampak Repatriasi Modal di AS
•Dari Pemberdayaan Ko-eksistensi Menuju Pro-eksistensi
•Paradigma Baru Investasi dan "Kehancuran" Pasar Modal
•REDAKSI YTH
•TAJUK RENCANA