[Nasional-m] Seandainya Akbar Divonis 2 Tahun

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Aug 26 00:00:34 2002


Jawa Pos
Senin, 26 Agt 2002

Seandainya Akbar Divonis 2 Tahun
Oleh Richard Suganda

Seandainya saja vonis hakim dalam skandal Bulog II besok menghukum Akbar
Tandjung 2 tahun, apa implikasinya terhadap kelanjutan karir politik ketua
DPR itu? Tidak akan banyak berpengaruh. Mengapa? Sebab, dengan vonis itu,
belum tentu hakim memerintahkan agar Akbar segera dijebloskan ke lembaga
pemasyarakatan.

Jika itu yang terjadi, tidak ada pengaruh apa pun bagi Akbar. Dia tetap
bekerja seperti biasa, memimpin DPR dan memegang kendali Partai Golkar.
Sambil berjalan setelah vonis itu, Akbar akan naik banding. Setelah naik
banding, masih ada kasasi dan sebagainya.

Proses perjuangan mendapatkan "keadilan" seperti itu memang hak terpidana
yang belum memiliki keputusan hukum tetap. Dalam kasus lain, misalnya,
Gubernur BI Syahril Sabirin yang didakwa terlibat dalam kasus cassie Bank
Bali -Syahril saat ini sudah divonis dua tahun penjara oleh PN Jakarta Pusat
dan masih naik banding- ternyata dapat menjalankan tugasnya sebagai gubernur
BI.

BI yang dipimpinnya tidak terpengaruh oleh status terdakwa orang nomor di
bank sentral itu. Bahkan, anak buah Syahril dapat menerima status Syahril
dan memberikan dorongan moril selama dia diadili.

Bisakah hal itu dilakukan Akbar? Apakah DPR dan Golkar tidak bakal
terpengaruh atas status Akbar sebagai terdakwa yang diduga terlibat dalam
megaskandal dana nonbujeter Bulog II senilai Rp 40 miliar itu?

Tampaknya, Akbar bisa meniru Syahril. Dia berstatus terpidana karena sudah
divonis hakim di pengadilan tingkat pertama, tetapi belum menjalani
hukumannya karena masih ada upaya hukum untuk mendapatkan keadilan. Hal yang
memudahkan Akbar dengan kemungkinan seperti itu ialah sejak dia ditetatapkan
sebagai terdakwa skandal Bulog II, kemudian sempat ditahan di Kejaksaan
Agung, proses hukum yang dia jalani sarat dengan tarik-menarik kepentingan
politik di antara elite yang berkuasa saat ini, khususnya elite PDIP.

Karena motifnya seperti itu, perlawanan politik terhadap Akbar di DPR selalu
bermuara pada proses take and give. Bukan perlawanan untuk membangun citra
dewan, transparansi, dan akuntabilitas politik.

Semua orang tahu, dalam kasus Syahril, orang-orang BI justru berada di
belakang dia atas nama menolak intervensi dan independensi bank sentral.
Sedangkan dalam kasus Akbar, semula memang muncul perlawanan keras,
khususnya dari partai kecil seperti PKB dan PAN. Tetapi, perlawanan itu
menjadi tidak berarti karena PDIP sebagai pemegang kursi terbesar di dewan
justru memainkan perkara Akbar hanya sebagai kartu truf untuk menggoyang
Golkar dan Akbar. Mereka tidak menyeret perkara keuangan Bulog menjadi upaya
untuk membersihkan penyalahgunaan kekuasaan politik.

Karena itu, meski Akbar terus menjalani pengadilan, lingkungan internal DPR
tetap kondusif bagi Akbar. Kecuali anggota dewan dari FKB dan Fraksi
Reformasi, sebagaian besar anak buah Akbar -ditambah sebagian besar anggota
dewan dari FPDIP yang dikomando Taufik Kiemas- cenderung dan makin tidak
mempersoalkan status dia sebagai ketua Golkar dan ketua DPR.

Dilihat dari hal itu, tampaknya tidak terlalu berat beban psikologis Akbar
untuk bisa menjalankan tugas seperti sedia kala. Bahkan, semakin lama
perkara Akbar berjalan, perlawanan terhadapnya, baik di internal Golkar
maupun di dewan, makim lemah.

Dengan kata lain, jika dalam kasus Syahril Sabirin kalangan dalam BI
bahu-membahu menciptakan solidaritas dan kohesivitas untuk mempertahankan
gubernur BI atas nama UU No 23/1999 tentang Bank Sentral, dalam kasus Akbar
kalangan DPR justru membiarkannya. Tidak terus melakukan perlawanan yang
kuat untuk mendepaknya dari kursi ketua dewan.

Dengan kondisi lingkungan politik di dewan seperti itu, sikap ngotot Akbar
untuk tetap bertahan di kursi ketua DPR sejak dia sebagai terdakwa memang
sudah diperhitungkan dengan cermat. Sekurangnya, dia dan koleganya di Golkar
tahu betul bagaimana melemahkan resistensi sebagian anak buahnya di dewan.

Sikap ngotot Akbar untuk terus menjalankan tugasnya sebagai ketua DPR dan
ketua Golkar -dengan semua dalih dan argumentasinya-, meski dia telah
divonis hakim, misalnya, akan tidak banyak menggeroti krisis legitimasi dari
anggota dewan terhadap dirinya.

Dilihat dari hal ini, keengganan mundur dari ketua DPR sejak dijadikan
terdakwa merupakan pilihan paling realistis bagi Akbar. Justru dengan tetap
bertahan dan terus menciptakan opini publik bahwa dirinya tidak bersalah,
bahkan berbalik menuduh pihak-pihak lain yang menghakimi dirinya, bisa jadi
akan memulihkan kepercayaan publik kepada Akbar. Toh, masyarakat politik,
khususnya para pemilih, mudah "memaafkan" atau melupakan kesalahan elitenya.

Jika di DPR karier Akbar akan terus mulus, bagaimana kedudukannya sebagai
ketua umum Golkar? Barangkali jauh lebih mulus lagi. Di Golkar, saat ini
belum ada tokoh sekuat Akbar sehingga perlawanan internal pun kini berhasil
diberangus.

Memang, peta politik di partai warisan rezim Orde Baru itu pernah
memperlihatkan tarik-menarik faksi Islam dan mantan aktivis HMI dengan faksi
nasionalis dan Iramasuka. Faksi-faksi tersebut bertarung untuk
mempertahankan Akbar di satu pihak dan berusaha mendepak Akbar melalui isu
munas yang dipercepat.

Meski demikian, peluang untuk bertahan sebagai orang nomor satu di Golkar
bagi Akbar tetap lebih besar. Jika di dewan sikap ngotot Akbar untuk tetap
bertahan sempat menyulitkan dirinya, meskipun tidak lama -karena diserang
dengan isu politik uang-, di Golkar dia punya peluang lebih cepat untuk
memulihkan nama baiknya.

Lagi pula, pesaing Akbar di Golkar belum teruji atau belum sekaliber dia.
Bahkan, demi keutuhan dan soliditas partai menjelang Pemilu 2004 -yang start
pertarungannya praktik tinggal setahun lagi-, bisa jadi konflik internal di
Golkar segera bisa diredam.

Dengan prediksi seperti itu, hampir dipastikan bahwa vonis hakim besok tidak
akan banyak berpengaruh terhadap Akbar, baik sebagai ketua DPR maupun
sebagai ketua umum Partai Golkar.

Inilah wajah hukum dan penengakan keadilan di Indonesia. Politik tetap jadi
panglima dan memarginalkan equity before the law.
*. Richard Suganda MA, pernah menjadi pengajar tamu di Universitas Nasional
Singapura.