[Nasional-m] "Quo Vadis" Kebebasan Berekspresi

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed Aug 28 22:36:02 2002


Kompas
Kamis, 29 Agustus 2002

"Quo Vadis" Kebebasan Berekspresi
Oleh Agus Sudibyo

Buku Buloggate: Abdurrahmangate, Akbargate, Megaskandal menghilang dari
toko-toko buku setelah kuasa hukum Akbar Tandjung mendesak agar penerbit
menghentikan peredarannya pertengahan Juli 2002.
Beberapa saat sebelumnya, perupa Dadang Christanto harus menerima kenyataan
pahit. Pameran seni instalasinya di Bentara Budaya Jakarta terpaksa
"digudangkan" sebelum waktunya karena tuduhan pornografis (dan politis) dari
kelompok masyarakat sekitar.
Dua peristiwa itu kian memperpanjang daftar aksi pemberangusan hak-hak atas
kebebasan berpendapat dan berekspresi di era reformasi. Pada saat hampir
bersamaan, aktivis Tri Agus Siswomiharjo menjadi incaran aparat. Ia dituduh
menyebarkan ajaran komunisme lewat kaus yang diproduksinya. Aksi
penganiayaan terhadap wartawan juga kerap terjadi belakangan, entah oleh
aparat keamanan atau unsur massa. Kasus penganiayaan wartawan terakhir
dilakukan mahasiswa yang sedang bentrok dengan sesamanya di kampus
Universitas Trisakti Jakarta.
Sejarah bangsa Indonesia bisa jadi identik dengan sistem dan kultur yang tak
ramah terhadap bentuk-bentuk kebebasan berekspresi. Satu hal yang tak pernah
pudar dalam realitas penyelenggaraan kekuasaan kita adalah hasrat untuk
tidak membiarkan kebebasan berekspresi bertumbuh-kembang, hingga mampu
memberikan kontribusi nyata bagi kehidupan politik secara keseluruhan.
Bahwa sistem politik Orde Baru tak memberi ruang bagi tumbuh-kembangnya
gagasan keterbukaan dan kebebasan, semua orang tahu. Yang tak banyak
diperhitungkan adalah perubahan rezim dan kondisi politik yang terjadi sejak
Mei 1998, tidak otomatis menciptakan iklim kondusif bagi berkembangnya
gagasan-gagasan itu secara lebih substansial. Secara empiris, masih
ditemukan hambatan-hambatan bagi implementasi kebebasan berekspresi atau
kebebasan pers. Di era Orde Baru, hambatan itu hanya muncul dari
perangkat-perangkat kekuasaan negara. Namun kini, hambatan itu bisa muncul
dari siapa saja: aparat keamanan, ormas, pasukan paramiliter, kelompok
keagamaan, elite politik berpengaruh dan lain-lain.
Ruang publik vs ruang privat
Apa yang terjadi dalam ranah kebebasan berekspresi belakangan menunjukkan
adanya kontinuitas sejarah antara rezim pasca Soeharto dengan rezim-rezim
sebelumnya, yang memelihara ketidakpastian hukum tentang batasan-batasan
ranah publik dan ranah privat. Doktrin hukum kita dari semula tidak cukup
mengakomodasi persoalan ini. Akibatnya, terjadi tumpang-tindih antara
urusan-urusan yang harus dibuka atau diberitahukan kepada publik, dan yang
tidak boleh dipublikasikan untuk menjaga privasi individu atau kepentingan
negara.
Bagaimana membedakan urusan pribadi dan urusan kedinasan? Sejauh manakah
privasi pejabat yang sedang menjalani proses hukum karena dugaan korupsi?
Benarkah institusi militer memiliki privilese yang bahkan tidak bisa
ditembus proses penegakan hukum sekali pun? Aneka persoalan semacam ini
belum diatur secara komprehensif dalam perundang-undangan kita. Tanpa
kecuali setelah reformasi hukum terus digalakkan beberapa tahun terakhir.
Yang juga belum terlembagakan dengan baik adalah alasan-alasan yang dapat
digunakan untuk membatasi implementasi kebebasan berekspresi. Saya sepakat,
kebebasan berekspresi bukan suatu hal yang tak bisa dibatasi. Praktik
kebebasan berekspresi tetap perlu memperhatikan koridor moral atau norma
budaya setempat.
Persoalannya kemudian, siapa yang boleh memutuskan sebuah pameran seni
membahayakan moral anak-anak, sebuah buku mencemari nama baik pihak
tertentu, atau sebuah ilustrasi kaus mengandung ajaran-ajaran komunisme?
Hal-hal ini tidak bisa hanya didasarkan pada penilaian kelompok atau
individu tertentu.
Pasal 19 Ayat (3) Konvenan Hak Sipil dan Politik menyatakan hak-hak untuk
menyatakan pendapat dan gagasan dapat dikenakan pembatasan tertentu. Namun,
pembatasan harus ditetapkan dengan undang-undang dan memang diperlukan untuk
menghormati hak atau nama baik orang lain, menjaga keamanan nasional,
ketertiban umum (public order) kesehatan atau kesusilaan umum. Lagi-lagi,
perundang-undangan kita juga belum mengakomodasi persoalan ini.
Dalam praktiknya, tafsir tentang berbagai ekspresi kebebasan berpendapat
ditentukan oleh mereka yang secara politik dominan. Klaim tentang "tertib
sosial", "kepentingan umum", dan "etika publik" ditentukan secara sepihak
dan semena-mena. Begitu mudah aparat bersenjata, kekuatan politik, kelompok
massa dan tokoh berpengaruh melontarkan tuduhan pornografis, character
assasination, penyebaran ideologi komunis dan lain-lain kepada pihak-pihak
yang mencoba melontarkan gagasan kreatif melalui penerbitan buku, kaus,
serta medium lain.
Semakin problematis, karena elite politik juga tidak menunjukkan itikad baik
untuk menyelesaikan sengketa dalam ranah kebebasan berekspresi melalui jalur
hukum. Pada kasus-kasus pelarangan buku misalnya, akan lebih elegan jika
pihak-pihak yang merasa dirugikan memperkarakan pengarang dan penerbit buku
ke pengadilan. Betapapun buruknya penegakan hukum kita, biarlah perdebatan
hukum di pengadilan yang memutuskan apakah terjadi tindak pencemaran nama
baik dan lain-lain. Cara ini jauh lebih terhormat dan beradab daripada
menghalangi distribusi buku ke khalayak luas.
Belajar dari sejarah
Melihat aksi-aksi pemberangusan kebebasan berekspresi, tampaknya kita perlu
belajar dari sejarah. Sejarah politik Indonesia menunjukkan, tumbuhnya
kebebasan pers dan kebebasan berekspresi hanya gejala sementara yang
mewarnai setiap pergantian kekuasaan.
Pers Orde Baru sebagai contoh. Awalnya dibangun di atas kegairahan semua
pihak terhadap paham kebebasan, pembaharuan politik, dan keterbukaan.
Demikian serasinya gerak langkah pers dengan garis kebijakan politik
penguasa waktu itu, sampai-sampai Mochtar Lubis menyatakan terjadinya "bulan
madu antara pers dengan penguasa". Namun layaknya bulan madu, momentum
kebersamaan itu segera berakhir. Awal dekade 1970-an, rezim Orde Baru mulai
memperagakan apa yang telah dilakukan Soekarno, sikap politik yang
antikritik dan otoriter. Kebebasan berekspresi kembali dibungkam dengan sera
ngkaian tindakan pembredelan pers, pelarangan buku, seminar, dan pertunjukan
seni yang dinilai merongrong kewibawaan pemerintah.
Dibutuhkan apreasiasi memadai terhadap pengalaman sejarah ini. Bukan tak
mungkin, siklus sejarah akan terulang lagi. Bulan madu antara unsur-unsur
prodemokrasi dengan penguasa segera berakhir dan dimulailah era baru yang
semarak dengan praktik pemberangusan kebebasan berekspresi dan kebebasan
pers.
Dalam hal ini, unsur-unsur prodemokrasi seharusnya tidak terjebak gejala
lupa sejarah. Lupa sejarah ini amat mungkin terjadi karena belakangan begitu
banyak persoalan sosial-politik yang muncul ke permu-kaan dan membutuhkan
perhatian saksama. Akibatnya, konsentrasi unsur-unsur prodemokrasi
terpolarisasi ke dalam agenda-agenda advokasi yang spesifik dan sektoral,
tanpa sempat memikirkan persoalan-persoalan umum seperti isu kebebasan
bereskpresi.
Berbagai pihak terperanjat melihat maraknya praktik-praktik pemberangusan
kebebasan berekspresi belakangan. Namun, belum terlihat respons yang
signifikan dan terorganisir dari unsur-unsur civil society. Sejauh mana
aksi-aksi pemberangusan kebebasan berekspresi itu dilihat sebagai persoalan
serius bagi proses demokratisasi di negeri ini?
AGUS SUDIBYO, Peneliti ISAI Jakarta,