[Nasional-m] Impor Beras Bersaing dengan Produksi Dalam Neger

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Aug 30 13:48:05 2002


Kompas
Jumat, 30 Agustus 2002

Impor Beras Bersaing dengan Produksi Dalam Negeri
* M Jafar Hafsah

kompas/sonnya hellen sinombor
 MENGUTIP data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), harian Kompas
(27/7/2002) memberitakan bahwa impor beras Indonesia tahun 2003 akan
mencapai 3,25 juta ton atau relatif sama dengan tahun 2002 sekitar tiga juta
ton. Impor tahun 2003, menurut USDA, didasari perkiraan terjadinya stagnasi
produksi beras dalam negeri sebagai akibat langsung dari peningkatan
konsumsi serta pengaruh iklim yang kurang mendukung (kekeringan). Tetapi,
berdasarkan pengalaman selama ini, ramalan di seputar impor beras tidak
selalu benar, terkadang realisasinya jauh dari angka perkiraan semula. Tahun
2001, misalnya, Indonesia diperkirakan mengimpor beras dua juta ton, tetapi
kenyataannya hanya sekitar 637.000 ton. Demikian pula tahun 2000, impor
diperkirakan tiga jutaan ton, sementara realisasinya cuma 1,35 juta ton.
Meskipun hal tersebut baru sebatas perkiraan atau ramalan atau entah apa pun
namanya, tetapi karena bersumber dari lembaga bereputasi internasional,
kredibilitasnya cukup diakui. Gaungnya pun langsung merebak. Sejumlah pakar,
antara lain Dr Bustanul Arifin, Direktur Indef, memperkuat prediksi USDA
tersebut (Kompas terbitan yang sama). Yang pasti, prediksi/ramalan, masih
harus dibuktikan. Acuan akhirnya, tentu saja adalah data dari lembaga yang
memiliki kompetensi dan kredibilitas tinggi pula.
Setelah berjaya tahun 1984 dengan predikat swasembada beras, kinerja
produksi pangan kita memang mengalami pasang surut, khususnya dalam beberapa
tahun terakhir. Seperti dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 1998
misalnya, impor beras kita mencapai 7,1 juta ton (angka tertinggi
pascaswasembada beras 1984). Demikian pula tahun 1999, realisasi impor beras
nasional ini tak kurang dari lima juta ton. Peningkatan impor yang sangat
signifikan tahun 1998 tersebut merupakan dampak langsung El Nino yang
mempengaruhi produksi beras dalam negeri.
Penciutan lahan
Rasanya, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa salah satu penyebab utama
lambannya peningkatan produksi beras, khususnya di Pulau Jawa, karena
menciutnya luas baku lahan sawah. Seperti dicatat oleh Badan Litbang
Pertanian, tahun 1987 misalnya, luas baku sawah di Pulau Jawa masih sekitar
3,448 juta hektar (ha). Namun, tahun 1992 menurun menjadi 3,425 juta ha atau
pengurangan 250.000 ha (0,67 persen). Lalu, tahun 1997 menciut lagi menjadi
3,33 juta ha atau penurunan 95.000 ha atau 2,77 persen dari posisi 1992.
Penciutan baku sawah ini tentu saja berdampak pada luas panen dan gilirannya
pada produksi padi. Data BPS menunjukkan bahwa antara tahun 1995 hingga
1999, luas tanaman padi di Jawa berkurang rata-rata 28.750 ha per tahun.
Penurunan areal panen terbesar terjadi tahun 1997 yakni untuk Jawa 689.000
ha dan luar Jawa 1,535 juta ha.
Tampak dari uraian di atas bahwa antara tahun 1987 hingga 1997, total
penciutan baku sawah (umumnya sawah irigasi teknis dan andalan produksi) di
Pulau Jawa saja mencapai 118.000 ha atau rata-rata 11.800 ha per tahun. Ini
berarti, bahwa kita kehilangan sumber produksi permanen dalam skala besar di
Pulau Jawa yang selama ini masih andalan nasional (kontribusi sekitar 60
persen). Untuk menggantinya tentu saja amat sulit, mengingat potensi lahan
dan irigasinya sudah sangat terbatas di samping biayanya sangat mahal.
Inilah salah satu alasan mengapa sejak Pelita IV, perluasan baku lahan sawah
(pencetakan sawah baru) diarahkan ke luar Jawa (Sumatera, Kalimantan, dan
Sulawesi).
Hingga saat ini perluasan baku lahan memang terus dilakukan khususnya di
luar Jawa, walau dalam skala terbatas. Sementara, pihak swasta yang pernah
digembar-gemborkan terjun ke usaha ini, boleh dikata tidak menghasilkan
apa-apa. Mereka umumnya tak tertarik dengan berbagai alasan, tuntutan, dan
kalkulasi bisnis masing-masing. Oleh karena itu, langkah paling realistik
dalam mengamankan ketahanan pangan, khususnya di Pulau Jawa, adalah komitmen
yang sungguh-sungguh semua pihak guna mengamankan baku lahan sawah yang
sudah terbatas itu. Caranya dengan pengetatan alih fungsi lahan dibarengi
program rehabilitasi dan maksimalisasi kapasitas bendungan dan jaringan
irigasi yang sudah ada.
Jurus ini akan membuka peluang lebih besar bagi perluasan areal tanam
(panen) melalui peningkatan mutu intensifikasi maupun intensifikasi pola
tanam (Indeks Pertanaman). Hal ini juga sekaligus menjadi langkah paling
konkret guna meningkatkan produksi padi nasional dalam jangka pendek ini.
Sekitar 53 juta ton
Berdasarkan kesepakatan dengan daerah pada Rapat Kerja Teknis Nasional
(Rateknis) Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan di Banten akhir tahun lalu,
produksi padi nasional diproyeksikan sekitar 53 juta ton. Produksi ini
didasarkan pada proyeksi areal panen sekitar 11,8 juta ha dan produktivitas
44,92 kw per ha. Sementara itu, menurut angka ramalan II (Aram II) yang
dirilis bulan Juni lalu, produksi padi tahun ini diperkirakan sekitar 50,84
juta ton. Dibanding tahun 2001, produksi menurut Aram II memang mengalami
peningkatan.
Tahun 2001, menurut Angka Tetap BPS, produksi padi nasional mencapai 50,46
juta ton atau turun sekitar 3,36 persen dari tahun 2000 yang mencapai 51,89
juta ton. Kinerja produksi tahun 2000 itu terujud berkat dukungan iklim yang
cukup bersahabat. Tahun-tahun sebelumnya, l999 dan 1997, pertanian Indonesia
umumnya terusik oleh El Nino sehingga cukup mempengaruhi kinerja produksi,
termasuk produksi beras. Dampaknya secara langsung yakni meningkatnya impor
beras kita tahun 1999 itu, namun berhasil ditekan pada tahun-tahun
berikutnya.
Peningkatan produksi padi setiap tahunnya sudah menjadi komitmen nasional,
terutama sebagai langkah antisipasi terhadap peningkatan penduduk. Saat ini,
jumlah penduduk kita diperkirakan 210 juta jiwa. Dengan konsumsi rata-rata
135 kg per kapita per tahun, kebutuhan beras secara nasional menjadi sekitar
28 juta ton. Repotnya, pertumbuhan jumlah penduduk ini belum juga bisa
dikendalikan, masih pada kisaran 1,9 persen atau pertambahan sekitar 3,9
juta jiwa per tahun.
Jadi kalau tahun 2002 ini penduduk kita mencapai 210 juta, berarti tahun
depan, tahun 2003, menjadi sekitar 213,9 juta. Konsekuensinya adalah
meningkatnya kebutuhan/ konsumsi beras yang pada gilirannya bermuara pada
keharusan peningkatan produksi nasional setiap tahun. Ini jelas bukan
pekerjaaan ringan.
Sejauh mana program peningkatan produksi beras nasional berhasil, sepenuhnya
tergantung kerja keras dan kerja sama semua pihak terkait. Dan, jangan pula
dilupakan, faktor iklim sangat menentukan keberhasilan di lapangan.
Apakah produksi tahun 2003 mengalami stagnasi seperti diramalkan oleh USDA
yang berdampak pada impor beras, menjadi masukan yang sangat berharga
sekaligus pemacu semangat untuk bekerja lebih keras. Sehingga, seperti
ditegaskan Menteri Pertanian baru-baru ini, prediksi impor tersebut jangan
sampai mengganggu konsentrasi semua pihak yang terkait dalam mewujudkan
program peningkatan produksi yang telah disusun secara terencana dan
terarah.
Upaya khusus
Pemerintah melalui Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan selaku unit kerja
teknis terdepan dalam bidang produksi bahan pangan telah merumuskan langkah
dan strategi guna memacu produksi tahun 2002 termasuk untuk tahun 2003.
Upaya khusus ini meliputi peningkatan mutu intensifikasi (PMI), perluasan
areal tanam (PAT), serta pengembangan program aksi masyarakat Agribisnis
Tanaman Pangan.
Untuk tahun 2002, skenario peningkatan produksi ini meliputi tiga jurus
dengan mengacu pada upaya-upaya konkret yang dilakukan, khususnya pada
periode Juli hingga Desember nanti, termasuk dengan pengalaman/kinerja,
produksi lima tahun terakhir.
Skenario pertama, yakni prediksi luas panen (Aram I) sekitar 10,99 juta ha,
produktivitas 4,43 ton per ha, sehingga produksi padi nasional menjadi
sekitar 48,65 juta ton. Menurut skenario I, melalui ekstensifikasi, areal
panen bisa diperluas menjadi 11,39 juta ha, produktivitas 4,45 sehingga
produksi padi nasional menjadi sekitar 50,69 juta ton.
Skenario kedua, luas panen bisa ditingkatkan menjadi 11,79 juta ha,
produktivitas tetap 4,45 ton per ha, sehingga produksi padi nasional menjadi
52,44 juta ton. Lalu skenario ketiga, luas panen diperkirakan sama dengan
skenario I yakni 11,39 juta ha, tetapi produktivitas naik sedikit menjadi 47
kw per ha, sehingga produksi nasional menjadi sekitar 52,32 ton.
Dengan demikian, angka produksi 53 juta ton, areal panen 11,8 juta ha dan
produktivitas 44,9 kw per ha (Keputusan Rapat Teknis Ditjen TPH di Banten
tahun lalu) dapat diasumsikan sebagai sasaran maksimal produksi tahun 2002
ini. Kecuali terjadi hal luar biasa dalam periode Agustus hingga Desember
nanti seperti wabah penyakit atau bencana alam misalnya, produksi nasional
minimal pada kisaran 51 hingga 52 juta ton (menurut Aram II BPS sekitar
50,84 juta ton, sementara realisasi tahun 2001 (ATAP) sebesar 50,46 juta
ton).
Perbaikan Mutu Intensifikasi (PMI) merupakan andalan utama peningkatan
produksi tahun 2002 dan akan melibatkan empat juta ha areal tanam. Dengan
produktivitas 42,31 kw per ha, kontribusi areal PMI ini diproyeksikan
sebesar 20 juta ton, sementara areal intensifikasi dengan luas panen sekitar
7,8 juta ha dan produktivitas 42,31 kw per ha, diharapkan bisa menyumbang 33
juta ton. Dengan demikian, skenario paling optimistik produksi padi nasional
yakni sekitar 53 juta ton.
Tiga provinsi di Pulau Jawa yakni Jabar, Jateng, dan Jatim tetap menjadi
andalan nasional. Kontribusi Jabar diharapkan mencapai 11,14 juta ton (tahun
2001 sekitar 10,71 juta ton), Jateng sekitar 8,045 juta ton, dan dari Jatim
sebesar 8,475 juta ton. Areal intensifikasi maupun PMI sebagian besar
terkonsentrasi di tiga provinsi tersebut.
Areal PMI dirancang khusus untuk menerapkan 10 paket teknologi secara utuh,
antara lain berupa penyediaan saprodi secara tepat waktu, penggunaan benih
bermutu/berlabel, penyiapan lahan dengan cara TOT (tanpa olah tanah) atau
OTS (olah tanah sempurna), pemupukan berimbang, pengendalian OPT (organisme
pengganggu tanaman) dengan Pola PHT (pengendalian hama terpadu), teknis
panen yang lebih sempurna (antara lain dengan menggencarkan penggunaan sabit
bergerigi, mesin perontok, alat pengering, dan alat penyimpannya),
penyediaan modal petani hingga kebijakan harga yang merangsang (akan
diumumkan pemerintah dalam waktu dekat).
Perluasan areal tanam untuk tahun 2002 ini diharapkan mencapai 779.630 ha
dengan proyeksi produksi 1,267 juta ton. Program ini ditempuh melalui
peningkatan indeks pertanaman (IP) yakni dari IP 100 menjadi 200 atau dari
IP 200 menjadi 300 pada berbagai tipologi lahan. Termasuk di sini
optimalisasi pemanfaatan lahan kering, lahan pasang surut/rawa, lahan
PIR-Bun, lahan transmigrasi, HTI. Termasuk penambahan baku sawah melalui
pencetakan sawah-sawah baru terutama di luar Jawa.
Panen dan pascapanen
Penanganan panen dan pascapanen tentu saja memiliki kontribusi besar dalam
mengamankan produksi nasional dan ini akan semakin diintensifkan. Data
menunjukkan bahwa selama ini tingkat kehilangan pada mata rantai kegiatan
ini masih tinggi, antara 10 hingga 15 persen. Jika produksi nasional,
misalnya 51 juta ton, berarti produksi yang sudah di depan mata namun
tercecer begitu saja akibat perlakuan yang tidak tepat, tak kurang dari 7,5
juta ton per tahun. Dengan mengintensifkan penggunaan sabit bergerigi,
dryer, alat perontok gabah dan sebagainya, tingkat kehilangan di sektor
panen dan pascapanen ini akan terus ditekan.
Sementara, tak kalah pentingnya adalah pengendalian hama dan penyakit
tanaman, serta antisipasi kekeringan (walau gejala El Nino tampaknya cukup
lemah). Sepanjang tahun 2002 dengan berbagai langkah penanggulangan areal
panen yang diselamatkan dari serangan organisme pengganggu tanaman (OPT),
diperkirakan mencapai 87.100 ha atau berupa gabah sekitar 385.770 ton.
Persoalan di seputar ketahanan pangan nasional memang tidak akan
habis-habisnya. Dan, kita tentu tidak hanya berkutat untuk mengamankan
ketersediaan bahan pangan di dalam negeri melalui peningkatan produksi
dengan segala kompleksitasnya itu. Kita juga sadar bahwa hukum
permintaan-penawaran juga berlaku dalam ekonomi perberasan. Konsekuensinya,
nilai ekonomis komoditas beras khususnya di mata petani juga harus
dipikirkan, sehingga mereka tetap mau menekuni usaha taninya. Artinya, visi
kita adalah mengamankan kebutuhan pangan nasional, khususnya beras,
sekaligus meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.
Tidak mudah memang, tetapi bukan tidak mungkin.
Dr M Jafar Hafsah, Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan Departemen Pertanian
Search :










Berita Lainnya :
•TAJUK RENCANA
•REDAKSI YTH
•Diplomasi TKI
•Impor Beras Bersaing denganProduksi Dalam Negeri
•Menambah Masalah, Bukan Menyelesaikan Masalah
•Menyoal Alih Fungsi Lahan, Kekeringan, dan Ketahanan Pangan
•POJOK