[Nasional-m] Problem perkotaan 10 tahun ke depan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon, 2 Dec 2002 00:56:20 +0100


 http://www.surya.co.id/02122002/12a.phtml

 Problem perkotaan 10 tahun ke depan
Oleh Sardiyoko SIP, Aktivis Walhi Jawa Timur

Sebagian besar kerusakan lingkungan hidup selama ini adalah disebabkan oleh
paradigma pembangunan yang hanya ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi (eco-developmentalism) dengan menguras sumber daya alam tanpa
memperhatikan keberlanjutannya.

Paradigma pembangunan yang seperti di atas menyebabkan kerusakan, pencemaran
dan degradasi lingkungan yang juga berdampak pada persoalan kesehatan dan
sosial. Eco-developmentalism sering menampilkan ada keterkaitan dan hubungan
yang tak bisa dipisahkan dalam ekosistem, antara lingkungan alam (natural
environment), lingkungan sosial (social environment) dan lingkungan binaan
(man-made environment). Di dalam ekosistem jika satu komponen terganggu maka
akan berpengaruh pada komponen lainnya.

Jumlah penduduk yang semakin besar salah satu yang menjadi perhatian kita
dalam membahas masalah lingkungan. Menurut data Population Reference Bureau,
pada tahun 1994 penduduk dunia telah mencapai 5.607.000.000 jiwa dan akan
mencapai 7 miliar jiwa pada tahun 2010. Sedang di Indonesia jumlah penduduk
tahun 2020 diperkirakan mencapai 257 juta orang, 49,5%-nya akan tinggal di
perkotaan.

Berdasarkan data dari Statistik Kependudukan (UN, 1990) jumlah penduduk
dunia diperkirakan mencapai 64,6%. Artinya, lebih dari separo jumlah
penduduk di dunia ini sekarang tinggal di daerah perkotaan. Diperkirakan
pada tahun 2010, sebanyak 30 kota di Asia akan memiliki jumlah penduduk
lebih di atas 5 juta jiwa. Dalam artian persoalan-persoalan lingkungan pada
sepuluh tahun mendatang akan banyak muncul di daerah perkotaan.

Jumlah penduduk di Surabaya dalam delapan tahun mendatang yang diperkirakan
akan berjumlah di atas 5 juta jiwa, juga akan menjadi persoalan tersendiri
bagi Kota Surabaya. Karena, jumlah penduduk yang besar ini akan berpengaruh
pada semakin merosotnya kemampuyan daya dukung alam (carryng capacity).

Untuk memanfaatkan sumber daya alam yang semakin terbatas dalam jumlah
penduduk yang semakin banyak maka diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam pengelolaannya. Namun sering teknologi yang diharapkan dapat digunakan
untuk memanfaatkan sumber daya alam dengan tidak merusaknya justru menjadi
penyebab terbesar dari keruskan alam. Hal ini dikarenakan kurang ada
dukungan dari pemerintah terhadap keberlangsungan sumber daya alam.

Peranan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat berkembang dengan baik bila
didukung pemerintah yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup yang
tinggi baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Kepedulian terhadap
persoalan lingkungan dari pemerintah bisa dilihat dari kebijakan-kebijakan
atau produk hukum yang dihasilkan baik undang-undang, Perda, atau surat
keputusan. Salah satu di antaranya adalah Perda tentang Ruang Terbuka Hijau.

Eco-developmentalism

Seperi yang dijelaskan di atas, separo lebih dari jumlah penduduk di dunia
sekarang ini tinggal di perkotaan. Diperkirakan dalam tahun 2010 jumlah
penduduk Surabaya mencapai lebih dari 5 juta jiwa. Hal ini berarti 5 juta
jiwa lebih akan membutuhkan persediaan bahan baku dari alam seperi udara dan
air yang disediakan oleh lingkungan dalam seluas 32.636.68 hektare. Menurut
G Tayler Miller yang dimaksud dengan kemampuan daya dukung alam adalah
jumlah orang yang dapat dipenuhi kebutuhannya oleh sumber daya alam secara
fisik di sebuah wilayah dan cara penggunaan sumber daya alam tersebut.

Jika penduduk Surabaya tahun 2010 diasumsikan berjumlah 5 juta jiwa, berarti
setiap jiwa hanya disuplai oleh lingkungan alam lebih kurang seluas 0,65
hektare atau lebih kurang 650 meter persegi. Padahal lingkungan alam di
Surabaya tidak memungkinkan untuk itu. Hal ini menggambarkan bahwa daya
dukung alam (carryng capacity) Kota Surabaya akan semakin kecil pada tahun
2010.

Daya dukung alam yang hanya 650 meter persegi untuk setiap jiwanya tersebut,
kualitasnya pun juga semakin memburuk. Sebagai contoh dalam suplai udara
bersih, tidak ada ruang lagi untuk mendapatkannya. Hal ini dikarenakan
jumlah penggunaan kendaraan bermotor yang semakin meningkat, yang tentunya
akan menghasilkan gas polutan bahan-bahan insektisida.

Polusi udara sendiri bisa terjadi di luar ruangan maupun dari dalam ruangan.
Polusi udara di luar ruangan dihasilkan oleh berbagai sumber seperti
pembakaran bahan bakar minyak kendaraan bermotor dan pabrik-pabrik. Polusi
udara ini bisa menimbulkan hujan asam yang bisa merusak gedung, membunuh
biota air, menciptakan kabut, membunuh tetumbuhan, menghambat perkembangan
tanaman dan mengganggu pernapasan manusia.

Masalah polusi udara di dalam ruangan adalah yang paling kerap kita hadapi
sehari-hari. Menurut laporan EPA (Environmental Protection Agency) 26.000
jiwa meninggal dalam setiap tahunnya yang diakibatkan dari polusi udara
dalam ruangan. Sementara menurut laporan WHO 12,5 juta jiwa mengalami
gangguan kesehatan akibat polusi udara tersebut.

Selain jumlah peningkatan jumlah penduduk, tantangan lain sepuluh tahun
mendatang adalah tingginya pertumbuhan sektor transportasi yang berkisar
8-12% pertahun. Padahal hingga saat ini penggunaan bahan bakar minyak di
Indonesia masih didominasi oleh penggunaan bensin bertimbel. Sehingga dengan
semakin meningkatnya pertumbuhan sektor transportasi, maka penggunaan bahan
bakar minyal bertimbel juga semakin tinggi. Padahal 70% timbel (Pb) yang
terkandung dalam bahan bakar bensin akan diemisikan bersama-sama gas buang
yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor. Partikel-partikel timbel tersebut
akan berada di udara dalam waktu beberapa minggu, yang dapat terhirup oleh
manusia yang kemudian diserap oleh darah dan terakumulasi di organ-organ
tubuh.

Timbel (Pb) merupakan neurotoksin yang bersifat akumulatif, jika masuk ke
dalam tubuh akan terkumpul dalam tulang. Pada anak-anak timbel akan
mempengaruhi kecerdasan anak. Dari hasil sebuah penelitian ditemukan, setiap
kenaikan kadar timbel dlam darah sebesar 10 mokrogram per desiliter dapat
menyebabkan penurunan IQ sebesar kurang lebih 2,5 poin. Pada wanita hamil,
timbel; yang berada dalam tulang diremobilisasikan masuk ke dalam peredaran
darah dan sampai pada janin sehingga janin bisa teracuni.

Timbel juga bisa mengakibatkan kenaikan tekanan darah pada orang dewasa,
sehingga bisa menimbulkan tekanan darah yang mengakibatkan penyakit jantung.
Menurut laporan Bank Dunia 1992, akibat yang ditimbulkan oleh pencemaran
udara yang diakibatkan oleh timbel terdapat 350 kasus panyakit jantung
koroner, 62.000 kasus hipertensi dan menurunkan IQ hingga 300.000 poin.

Pb juga menurunkan darah dalam mengikat oksigen. Akibat lebih lanjut adalah
biaya yang digunakan untuk berobat juga mengalami kenaikan. Bila dihitung
dalam nilai moneter, biaya sosial masyarakat menurut estimasi World Bank
(1993) biaya yang digunakan oleh masyarakat untuk memeriksakan diri ke rumah
sakit akibat dari pencemaran udara mencapai 600 juta dolar AS untuk 5 tahun
(1996-2000). Dalam artian, harga yang harus dibayar dari penggunaan sumber
daya alam yang hanya berorientasi pada nilai ekonomi lebih besar dari
manfaat yang didapat. Social cost maupun health cost yang harus ditanggung
oleh masyarakat dan pemerintah lebih tinggi dari pajak yang diberikan oleh
segelintir orang (pengusaha).

Untuk mendukung pemulihan daya dukung alam yang semakin berkurang, maka
manusia membuat lingkungan buatan (ma-made environment) seperti Ruang
Terbuka Hijau. Jadi, pada dasarnya Ruang Terbuka Hijau dibuat dikarenakan
daya dukung lingkungan alam yang sudah tidak memadai lagi yang dikarenakan
peningkatan jumlah penduduk dan aktivitias manusia yang merusak lingkungan
alam.

Itu sebabnya dalam membuat Ruang Terbuka Hijau, tidak hanya cukup didasarkan
dari perbandingan persentase luas wilayah. Seperti Surabaya yang memiliki
32.636.68 hektare belum dapat dikatakan ideal ketika memiliki Ruang Terbuka
Hijau seluas lebih dari 10.878.894 hektare atau lebih dari sepertiga dari
luas wilayah. Tetapi perlu juga diperhatikan jumlah penduduk, penggunaan
kendaraan bermotor, dan jumlah industrialisasi yang berpotensi menyumbang
pencemaran udara.