[Nasional-m] Tertawa Bersama Teroris?

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun, 17 Nov 2002 21:58:28 +0100


Media Indonesia
Senin, 18 November 2002

Tertawa Bersama Teroris?
Denny JA PhD, Direktur Eksekutif Yayasan Universitas dan Akademi Jayabaya
Jakarta

KAPOLRI Da'i Bachtiar tentu terkejut. Saat itu mungkin ia hanya bermaksud
melakukan pendekatan manusiawi kepada Amrozi, si tersangka teroris. Ia pun
difoto sedang tertawa bersama sang (tersangka) teroris, dalam suasana penuh
keakraban, santai, dan hangat.

Namun pertemuan itu memberikan efek politik yang besar dan sangat buruk. Tak
kurang dari para pemimpin politik Australia menyampaikan protes yang sangat
keras. Pemimpin di luar negeri tak habis pikir, bagaimana mungkin Kapolri
mengabaikan perasaan ratusan keluarga korban, yang mereka tuduh mati karena
kerja Amrozi. Bagaimana mungkin penegak hukum di Indonesia dapat begitu
akrab dengan sang (tersangka) teroris? Mereka bertanya, apakah Kapolri masih
bisa tertawa bersama (tersangka) teroris itu jika keluarganya sendiri
menjadi korban?

Apa yang salah? Sebuah peristiwa dan potret ternyata dapat menimbulkan
imajinasi dan citra politik yang bertentangan. Kapolri dan sebagian lainnya,
merasa foto tertawa bersama Amrozi memberikan efek sangat baik, mengesankan
suasana apa adanya tanpa rekayasa. Namun, bagi publik di dunia maju, tertawa
bersana teroris itu sebuah sikap yang tidak sensitif, bahkan penghinaan atas
kematian orang banyak.

Citra publik

Kapolri, sebagaimana banyak pemimpin politik Indonesia, mungkin belum
menyadari bahwa dunia politik praktis sudah berjalan begitu jauh. Yang kini
juga dipentingkan dari seorang pejabat tinggi adalah sebuah public image,
sebuah citra diri. Termasuk ke dalam public image itu semua gerak-gerik body
language dan relasi sang pejabat dengan dunia di luarnya.

Di dunia maju, citra publik seorang petinggi yang berpengaruh begitu
diperhatikan. Citra publik itu menjadi indikator apakah sang tokoh
diidolakan, dicintai, ataukah diasingkan publik. Baik ketika politik sedang
normal, dalam masa kampanye, ataupun sedang dalam keadaan krisis, pejabat
publik selalu berencana dan mengevaluasi citra publik atas dirinya. Semua
hal yang dilakukan sang tokoh secara publik, termasuk senyum dan tertawanya,
dianggap menyampaikan sebuah pesan, sebuah sinyal, dan sebuah keinginan.

Dalam komunikasi politik, seorang tokoh, apalagi pejabat hukum, tentu
memberikan sinyal yang salah jika ia mengesankan begitu santai dan ramah
dengan pembunuh berdarah dingin, misalnya. Walau belum dibuktikan
pengadilan, jelas Amrozi sudah memiliki citra publik sangat buruk.
Beramah-tamah penuh canda bersama Amrozi tentu akan merugikan citra Kapolri.
Sebagaimana buruknya citra Hamzah Haz ketika ia berpelukan dan saling cium
pipi dengan Jafar Umar Talib, yang dituduh terlibat provokasi konflik
horizontal penyebab terbunuhnya banyak orang.

Di dunia maju, karena begitu berhati-hati dengan citra dirinya, pejabat
publik membutuhkan sebuah tim untuk memberinya evaluasi yang terus-menerus.
Di era kampanye, misalnya, seperti dalam debat publik, bahkan warna jas dan
dasi dari sang tokoh pun dievaluasi. Tim itu menilai apakah warna jasnya
memberikan kesan seorang tokoh yang ramah, atau kesan tegas, atau pemberani.
Jika soal warna jas saja, sang tokoh peduli, apalagi berpose dengan seorang
tersangka teroris tentunya.

Di era normal, sang pejabat publik pun harus memerhatikan hal yang detail.
Jika ia berkesempatan mengunjungi asrama anak yatim, misalnya, maka tim sang
tokoh perlu menyiapkan adegan tertentu dalam rangka public image itu.
Misalnya, sang tokoh sejak awal sudah diperintahkan oleh timnya untuk
menggendong bayi dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Dengan pose itu,
lalu ia menghadap wartawan agar dipotret. Adegan menggendong bayi akan
tampil di koran dan memberikan efek yang baik di mata publik.

Apalagi di era krisis. Sang pejabat publik akan memberikan perhatian lebih
ekstra. Mereka sangat tahu, di era krisis, perhatian nasional atas perilaku
pejabat makin tinggi. Di era krisis, semakin banyak orang menonton tv atau
membaca koran karena ingin tahu perkembangan terakhir.

Ketika terjadi Tragedi 11 September, misalnya, semua pejabat tiba-tiba peka
sekali dengan sentimen publik. Jangan sampai ada adegan, misalnya, sang
tokoh sedang tertawa terbahak-bahak ketika bertemu dengan keluarga korban.
Atau jangan ada kalimat yang mengesankan sang pejabat tampak tidak berduka.
Jelas akan merupakan bunuh diri politik, jika sang tokoh, misalnya, berpose
sambil berpelukan dengan beberapa tersangka yang dianggap jaringan dengan
Osama bin Laden.

Suka atau tidak, sandiwara atau bukan, inilah politik di zaman modern. Ada
unsur teater dalam komunikasi politik. Ada diplomasi sosial yang perlu
ditunjukkan pemimpin. Ada kepura-puraan yang dibuat untuk menghormati
sentimen publik saat itu. Pemimpin yang gagal memahami dan mempraktikkan
hukum di atas akan ditinggal dan dicaci maki. Sementara pemimpin yang sangat
lihai dengan adegan di atas, akan semakin dicintai.

Pemula

Mengapa Kapolri Da'i Bachtiar tidak peka dengan citra publik itu, sehingga
ia kebablasan tertawa bersama Amrozi, tersangka teroris? Demokrasi merupakan
barang yang baru di Indonesia. Dalam demokrasi, opini publik begitu
dipentingkan. Sementara di era Orde Baru, opini publik tidak terlalu
dipedulikan sejauh sang tokoh tetap disukai oleh Presiden Soeharto.

Tak hanya Kapolri, bahkan wakil presiden, dan presiden sekalipun belum
sepenuhnya sadar dengan pentingnya opini publik dan pencitraan diri. Setelah
tiga puluh dua tahun di bawah Orde Baru, baru sekali kita merasakan pemilu
yang demokratis pada 1999. Para pemimpin dan pejabat itu belum merasakan
dihukum publik melalui pemilu, dengan cara tidak dipilih kembali atau
dikalahkan secara sangat telak yang membuat malu. Akibatnya, sensitivitas
dan kehati-hatian tampil di publik tidak terlalu menjadi perhatian.

Di samping tradisi demokrasi, tentu karakter, kelihaian, dan visi politik
seorang pemimpin akan menentukan caranya merespons peristiwa sosial, apalagi
di kala krisis. Jika lebih lihai, tentu Kapolri Da'i Bachtiar tidak akan
pernah tertawa bersama tersangka teroris. Sebaliknya, sang Kapolri justru
mencari adegan yang mengesankan kemarahan kepada Amrozi. Inilah tuntutan
politik di era postmodern. Suka atau tidak, kenyataan ini mengendalikan
opini publik.***