[Nasional-m] Jeratan Teknis Hukum

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Oct 4 10:48:09 2002


Kompas
Kamis, 3 Oktober 2002

Jeratan Teknis Hukum
Oleh Salahuddin Wahid

PERSIDANGAN tingkat banding Pengadilan hak asasi manusia (HAM) Ad Hoc kasus
Timor Timur beberapa waktu lalu telah menunjukkan adanya persoalan teknis
hukum berhadapan dengan keadilan, sekaligus memberi harapan baru terhadap
penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Pada persidangan itu, hakim
mengajukan bukti baru, berupa surat laporan militer, yang menunjukkan
dukungan militer terhadap milisi pro-integrasi dalam melakukan tindakan
pelanggaran HAM.
Namun, apa yang dilakukan majelis hakim itu menuai protes keras dari
pengacara terdakwa, bahkan mengancam akan melaporkan hal itu ke Mahkamah
Agung (MA). Dalam penglihatan saya, pokok persoalannya adalah pada boleh
tidaknya diajukan bukti baru di persidangan, di luar berkas penyidikan dan
dakwaan yang diajukan penuntut umum.
***
HUKUM memang dapat dimaknai sebagai sebuah aturan prosedural dan
administratif. Namun harus diingat, sepengetahuan saya yang awam tentang
hukum, prosedur itu diciptakan tidak lain untuk dapat mencapai cita hukum
dan melaksanakan aturan normatifnya sehingga hukum materiil, yang berisi
norma-norma, selalu muncul lebih dulu daripada hukum formal (prosedurnya).
Ironisnya, prosedur-prosedur hukum yang bersifat teknis, kini sering
digunakan untuk menghalangi pencarian kebenaran materiil. Banyak pengadilan
kasus-kasus korupsi, misalnya, berakhir dengan keputusan bebas bagi terdakwa
karena kesalahan penuntutan atau lemahnya bukti-bukti yang diajukan penuntut
umum, sehingga kebenaran materiil sebagai dasar utama pengambilan keputusan
majelis hakim, tidak terungkap.
Satu pertanyaan bagi ahli hukum adalah apakah tidak bisa diajukan bukti lain
di luar bukti yang telah ada dalam berkas penuntutan, baik oleh hakim
ataupun jaksa penuntut umum? Padahal, dalam persidangan pidana (di mana
peradilan HAM merupakan lex spesialis dari peradilan pidana, serta memakai
Hukum Acara Pidana) salah satu ciri yang membedakannya dengan peradilan
perdata, adalah hakim yang bertindak aktif. Sampai sejauh mana keaktifan
majelis hakim diperbolehkan?
***
DALAM ajaran Islam, ada dua prinsip besar dalam menjalankan kehidupan
manusia.
Prinsip pertama, dalam urusan ibadah berlaku prinsip semuanya dilarang
kecuali apa yang jelas diperintahkan. Konsekuensinya, manusia hanya boleh
melakukan ibadah sesuai apa yang diperintahkan. Perbuatan di luar apa yang
diperintahkan tidak dapat dimaknai ibadah. Bila hal itu dilakukan dan
dimaknai sebagai ibadah, kita disebut melakukan bid'ah. Namun, prinsip ini
pun masih dapat diperluas dan dilenturkan dengan aktivitas budaya spiritual
masyarakat setempat, sehingga aktivitas religius satu daerah berbeda dalam
beberapa hal dengan daerah lainnya. Iklan Islam Liberal misalnya,
menggambarkan dengan lugas bahwa Islam itu warna-warni.
Sedangkan dalam aktivitas mu'amalah, berlaku prinsip, segala sesuatu boleh
dilakukan kecuali yang jelas-jelas dilarang. Di dunia ini, untuk menjalankan
perannya sebagai wakil Tuhan dan pemimpin di muka bumi, manusia bebas
melakukan sesuatu yang dikehendakinya, dengan syarat tidak melanggar
larangan Tuhan.
Atas dasar kebebasan manusia untuk melakukan sesuatu dalam hubungan antara
manusia inilah, pintu ijtihad hadir untuk dapat memenuhi tugasnya sebagai
wakil Tuhan sesuai norma-norma keagamaan yang diyakini. Tentu saja ijtihad
tetap bernilai sebagai ibadah. Bahkan, dalam Islam Tuhan menjanjikan pahala
bagi yang berijtihad, meski kemudian ijtihad ternyata menghasilkan sesuatu
yang salah.
***
SUNGGUH ironis bila hukum di Indonesia sering harus runtuh karena hal-hal
yang bersifat teknis. Rasa keadilan akan menjerit saat melihat seorang
terdakwa kejahatan serius dibebaskan karena kesalahan penuntut umum dalam
menerapkan pasal, atau lebih parah lagi karena nama atau alamat yang tidak
jelas (obscuur libel). Dan tindak pidana kejahatannya pun tidak pernah dapat
terbongkar. Meski perasaan keadilan mengatakan bahwa terdakwa memang
bersalah.
Dapat dibayangkan, bagaimana masyarakat akan kebingungan melihat seorang
pelanggar HAM berat harus dibebaskan karena bukti yang diajukan dalam berkas
perkara tidak bisa menguatkan dakwaan. Padahal, ada bukti yang baru diajukan
(padahal sudah lama ditemukan) yang isinya merupakan bukti kuat bahwa
terdakwa benar-benar melakukan atau ikut melakukan pelanggaran HAM berat.
Hukum kembali dihadapkan dengan keadilan, padahal hukum tanpa keadilan
secara filosofis bukan hukum. Hukum menjadi bertentangan dengan kebenaran
materiil dan kehendak masyarakat banyak. Padahal, hukum juga dimaknai oleh
Hans Kelsen sebagai perwujudan kedaulatan kehendak masyarakat banyak. Hukum
akan hanya memenuhi keabsahan prosedural sembari menolak keabsahan
substansialnya.
Apalagi jika dilihat dalam kasus Pengadilan HAM Ad Hoc tingkat banding, saya
tidak melihat adanya larangan diajukannya bukti di luar yang ada dalam
berkas dakwaan, baik pada Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM maupun pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Berdasarkan ilmu hukum, sesuatu yang tidak dilarang dapat ditafsirkan
berarti boleh dilakukan (penafsiran a contrario).
Apa yang dilakukan Majelis Hakim Ad Hoc itu sungguh merupakan terobosan
memecah kebekuan teknis hukum yang sering digunakan pengacara Indonesia
dalam membela kliennya. Dan, apa yang dilakukan majelis hakim adalah bentuk
pertanggungjawaban transendental sesuai amar putusan "Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Hakim tidak hanya bertanggung jawab
terhadap terpenuhinya prosedur dan norma hukum positif, tetapi lebih dari
itu juga bertanggung jawab terhadap Tuhan untuk menemukan kebenaran material
dan menghakimi atas nama Tuhan.
Kebenaran materiallah tujuan utama dari proses peradilan, bukan semata-mata
kebenaran formal. Karena itu, hakim tidak boleh menolak perkara yang
diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada aturan hukum. Hakim selain
sebagai institusi pemutus perkara, juga sebagai institusi pembuat hukum
(judge made law). Maka, demi tegaknya keadilan, dan kembalinya citra
pengadilan di Indonesia, upaya-upaya terobosan hukum seperti dilakukan pada
Pengadilan HAM Ad Hoc tingkat banding patut diberi ruang. Sebab pembuatan
aturan hukum positif tidak lepas dari kepentingan sesaat, seperti hukum pada
masa Orde Baru (yang tetap berlaku hingga kini) yang justru dibuat untuk
melestarikan kekuasaan.
Salahuddin Wahid Wakil Ketua Komnas HAM