[Nasional-m] Melayu di Afrika Selatan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 10 Oct 2002 22:40:52 +0200


Jawa Pos
Jumat, 11 Okt 2002

Melayu di Afrika Selatan
Oleh Viddy A.D. Daery *

Di Jawa Pos, Minggu, 22 September 2002, wartawan harian ini, Sururi Alfaruq,
menulis laporan perjalanan dari kunjungannya ke Afrika Selatan. Ada yang
agak aneh karena Sururi memotret gadis-gadis berwajah Melayu, tetapi diberi
teks: "Cewek-cewek Argentina berburu suvenir di Johannesburg, Afrika
Selatan."

Sururi juga tidak menyinggung keberadaan etnis Melayu di Afrika Selatan.
Padahal, jumlah etnis Melayu cukup signifikan di Afsel, yakni sekitar 2
persen. Demikian menurut Haji Ismail Petersen, tokoh Melayu Afsel, yang
sering berkunjung ke Pertemuan Internasional Dunia Melayu yang sering
diselenggarakan di Malaysia.

Afrika Selatan kini negara termaju di benua Afrika berkat manajemen
pemerintahan orang kulit putih, namun sekaligus melahirkan kekejaman sistem
apartheid atau pilih kasih berdasarkan warna kulit. Yang sangat lama
menguasai Afsel yang kaya tambang intan dan emas itu ialah kaum Boer atau
indo-Belanda yang datang menjajah sejak zaman VOC pada 1652. Belanda Boer
inilah yang mendatangkan kuli-kuli Melayu dari Malaysia, Makasar, Banten,
dan Nusa Tenggara.

Kemudian, Inggris menguasai Afsel sejak 1814. Inggris inilah yang
mendatangkan kuli dan pedagang dari India, negara jajahan Inggris terbesar
di Timur. Pada 1961, Afsel merdeka, tapi tetap dikuasai keturunan Inggris
dan Boer yang menerapkan pembagian kelas. Warga negara kelas satu ialah
kulit putih dan indo. Mereka adalah elite dan bos perusahaan serta boleh
tinggal di kota.

Kelas dua adalah orang India dan Melayu. Mereka dianggap sebagai pedagang
perantara dan pekerja kelas bawah, boleh berdiam di pinggiran kota. Kelas
tiga adalah kulit hitam yang dianggap anjing. Mereka hanya boleh bekerja
sebagai pesuruh dan tidak boleh berdiam di kota, bahkan setiap sore harus
pulang ke provinsi khusus, yakni Boputatswana, Transkei, Venda, Ciskei,
Gazankulu, Kwazulu, Lebowa, Qwaqwa, Ndebele, dan NaNgwane, yang rata-rata
kumuh dan tandus.

Empat provinsi subur, yakni Cape of Good Hope, Natal, Oranje Free State, dan
Transvaal, dibangun mirip Eropa atau Amerika atau Malaysia, namun haram
didatangi kulit hitam. Tapi, kini setelah rezim kulit hitam berhasil
menumbangkan rezim kulit putih, lalu presidennya kulit hitam (presiden
pertama Nelson Mandela, lalu diganti Tabo Mbeki), kulit hitam boleh ke mana
saja.

Tapi, karena secara tradisi dan struktural orang kulit hitam pendidikannya
kurang dan modalnya kecil, akhirnya banyak orang kulit hitam terlibat
kriminalitas. Karena itu, angka kriminalitas di Afsel sangat tinggi, justru
di zaman reformasi. Tingkat kejahatannya, menurut Haji Ismail Petersen,
sudah mirip di Indonesia.

Nasib Melayu

Tapi, menurut Ismail pula, nasib etnis Melayu jauh lebih baik karena memang
sejak zaman apartheid mereka adalah warga kelas dua, bukan kelas anjing.
Melayu Afsel sangat rindu bersilaturahmi dengan leluhurnya yang kini masuk
negara Indonesia dan Malaysia.

Ketika pada 2000 ada pameran Afrika Selatan di gedung Arsip Nasional
Jakarta, saya berkenalan dengan ketua rombongan, yakni Zaenab Davidson.
Zaenab menunjukkan kepada saya buku-buku mengenai Makassar, Banten, dan
Sumbawa, yang ditulis oleh penulis Afsel tanpa pernah pergi ke daerah
tersebut. Buku ini sangat laris di Afsel.

Buku-buku mengenai Syeh Yusuf Al-Khalwati -ulama Makassar yang kemudian
hijrah ke Banten, tapi dibuang Belanda ke Afsel sebagai tahanan politik-
juga laris. Syeh Yusuf merupakan ulama panutan serta dianggap wali di Afsel
dan hingga kini makamnya sering dijadikan tempat ziarah.

Kini, di zaman reformasi, status keturunan Melayu Afsel lebih meningkat
lagi. Mereka bukan lagi warga negara kelas dua, tapi sejajar dengan warga
kelas satu, terutama untuk menjadi manajer kelas menengah.

Kini mereka lebih gampang membiayai diri untuk mengunjungi daerah-daerah
leluhurnya. Tetapi, yang saya lihat di Malaysia, mereka lebih suka
mengunjungi Malaysia karena makmur dan fasilitasnya lengkap. Bahkan, ada
rute pesawat langsung dari Kuala Lumpur ke Afsel.

Tapi, tentu ada juga yang nekat pergi berwisata sejarah ke Indonesia.
Tujuannya, mencari kepuasan kerinduan pada tanah leluhur meski nama
Indonesia sangat buruk di mata orang luar negeri, seperti yang pernah saya
baca di sebuah tabloid di Singapura.

Terputus

Indonesia sebenarnya mempunyai banyak hubungan dengan banyak negara yang
mempunyai asal-usul darah Melayu. Selain di Afsel, ada Suriname, yang banyak
etnis keturunan Jawanya kini maju sebagai kelas menengah, bahkan sebagai
elite birokrasi pemerintahan di Suriname.

Ada juga Madagaskar, yang kini kaum Melayunya -keturunan Dayak Indonesia dan
Malaysia- malah berhasil menjadi kaum bangsawan elite. Sayang, di antara
mereka juga terpecah dan dua kelompok besar Melayu saling berebut kekuasaan
politik.

Keturunan Melayu-Jawa yang juga cukup signifikan -jumlahnya, bukan power-
ada di Pulau Christmas dan Pulau Cocos-Keeling (Australia), juga di New
Kaledonia, New Zealand, serta di Negara Bagian Queensland, Australia.
Bahkan, menurut teori antropologi, semua penduduk Polinesia keturunan
Melayu-Jawa. Sayang, silaturahmi leluhur ini terputus. Banyak diaspora
Melayu tidak sadar bahwa mereka keturunan Indonesia dan Malaysia.

Tetapi, di Malaysia, dengan tokoh Tan Sri Ismail Hussein, dibentuk lembaga
Persaudaraan Dunia Melayu Raya, yang menyambungkan silaturahmi Melayu
seluruh dunia. Sementara itu, Indonesia cuek saja, baik karena kebodohan dan
ketidaktahuan maupun karena kesombongan. Sebab, di zaman Majapahit, negeri
ini menjadi penguasa Melayu terbesar, yang menjajah dan menguasai
negeri-negeri Melayu seluruh Nusantara.
*. Viddy A.D. Daery, penyair, novelis, dan pelukis