[Nasional-m] Ihwal Bahasa Beku dan Problem Pijin

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri, 11 Oct 2002 23:53:24 +0200


Media Indonesia
Sabtu, 12 Oktober 2002

Ihwal Bahasa Beku dan Problem Pijin
Dr R Kunjana Rahardi, Pengamat bahasa Indonesia

SAUDARA Rochmat Bismoko, mahasiswa yang tinggal di Yogyakarta, menyampaikan
persoalan kebahasaan berikut kepada pengasuh. (1) Apakah yang dimaksud
dengan bahasa beku (frozen language)? (2) Di manakah perbedaan bahasa beku
dengan bahasa baku? (3) Benarkah bahasa Indonesia semula merupakan bahasa
pijin? (4) Benarkah bahasa Indonesia dan Malaysia sama asalnya? Mohon
penjelasan pengasuh!

Di dalam sosiolinguistik, variasi bahasa merupakan bidang pokok yang
terus-menerus dikaji. Maka dikatakan, sosiolinguistik adalah ilmu yang
secara khusus mendalami fungsi dan lekuk-liku variasi atau ragam bahasa.
Karenanya wajar sekali jika kemudian dapat ditemukan aneka ragam di dalam
sebuah bahasa. Terlebih-lebih lagi jika hal tersebut dipandang dari sudut
yang berbeda-beda. Adanya ragam beku dan ragam baku, misalnya, karena bahasa
itu dilihat dari sudat pandang tingkatan keformalannya.

Dari sisi keformalannya, Martin Joos (1967), pernah mengelompokkan bahasa
menjadi lima macam ragam yaitu ragam beku, ragam resmi, ragam usaha, ragam
santai, dan ragam akrab. Ragam akrab atau intim, lazimnya digunakan di
antara sesama teman yang memiliki hubungan sangat dekat. Antarsesama anggota
keluarga, antarwarga kelompok sosial tertentu yang sudah saling akrab,
biasanya dipakai ragam akrab atau intim ini dalam komunikasi. Ragam ini
lazimnya ditandai oleh banyak pemenggalan dan pemendekan. Pengucapan atau
artikulasinya juga sering kali tidak jelas dan tidak tegas. Karena pemakaian
yang demikian, orang yang belum saling akrab sering kali tidak dapat
mengerti makna tuturan yang digunakan.

Bahasa ragam santai atau kasual lazim digunakan untuk berbincang-bincang
dalam situasi santai dan sangat tidak formal. Ragam santai juga hanya
dituturkan oleh sesama teman yang sama-sama sudah tidak memiliki distansi
kebahasaan yang jauh antara yang satu dan lainnya. Ragam santai ditandai
oleh aneka macam pemendekan tuturan. Dari sisi morfologis dan sintaktis,
banyak sekali aturan dan tata linguistik yang dilanggar. Coba perhatikan
tuturan sekelompok orang yang sedang duduk-duduk sambil berbicara santai di
gardu-gardu ronda, di sudut-sudut kompleks perumahan dll.

Ragam usaha sering disebut juga ragam konsultatif. Variasi bahasa ini berada
di tengah-tengah antara ragam formal dan informal. Karena ciri kenetralannya
tersebut, bahasa ragam usaha ini terbukti paling banyak digunakan warga
masyarakat. Ambillah contoh tuturan yang digunakan oleh para mahasiswa yang
sedang berdiskusi di dalam lingkungan kampus. Demikian pula ketika seorang
dosen sedang mengajar. Mereka banyak menggunakan ragam konsultatif atau gaya
usaha ini. Demikian juga ketika para manajer institusi/perusahaan sedang
rapat, di situ banyak ditemukan bahasa konsultatif semacam ini. Pendek kata,
manakala bahasa digunakan di dalam kerangka produk atau orientasi hasil, di
situlah gaya konsultatif atau ragam usaha ditemukan.

Ragam resmi umumnya dapat ditemukan di dalam pidato-pidato formal. Demikian
juga di dalam buku-buku teks, surat-surat formal, surat-surat dinas,
makalah-makalah, dan karya-karya ilmiah yang lain. Juga ketika seorang
mahasiswa sedang datang menghadap dosen atau pejabat struktural tertentu di
kampus, dia akhirnya akan banyak menggunakan bahasa ragam formal ini. Karena
keformalan inilah bentuk-bentuk yang lengkap dan standar tersebut banyak
sekali digunakan. Bahasa dalam ragam resmi dapat juga disebut bahasa baku
atau gaya standar.

Berbeda dengan semuanya itu, bahasa beku (frozen language) adalah gaya
bahasa yang hanya lazim dipakai di dalam situasi khusyuk-khidmat. Maka
bahasa yang digunakan tersebut berciri resmi sekali dan superformal. Boleh
dikatakan, bahasa beku tersebut paling tinggi tingkat keformalannya. Coba
cermati bahasa surat-surat keputusan, surat perjanjian, bahasa notula dan
bahasa surat statuta, akta-akta notaris, naskah undang-undang,
peraturan-peraturan, dll.

Dikatakan bahasa beku karena struktur serta kaidahnya sudah tetap dan
mantap. Maka orang tidak boleh begitu saja mengubah, karena memang sudah
ditetapkan sesuai ketentuan yang berlaku. Selain itu juga atas dasar
kelaziman yang sudah terpatri lama sehingga sulit sekali diubah. Lazimnya,
bentuk kebahasaan dalam ragam beku ini berciri panjang-panjang, tidak mudah
dipotong atau dipenggal, dan sulit sekali dikenai ketentuan tata tulis dan
ejaan standar.

Terakhir, benar tidaknya pendapat bahwa bahasa Indonesia awalnya merupakan
bahasa pijin sudah lama sekali diperdebatkan oleh para ahli bahasa. Ada
sejumlah tokoh yang sependapat, tetapi banyak pula ahli bahasa yang sangat
tidak sependapat. Pengasuh termasuk yang tidak sependapat dengan hal
tersebut. Pasalnya, secara historis bahasa Indonesia itu pada awalnya adalah
bahasa Melayu Tinggi. Bahasa Melayu tersebut merupakan bahasa Melayu
Pustaka, yang semula berkembang di wilayah Riau dan Johor. Bahasa Melayu
yang terdapat di wilayah Riau menjadi bahasa Indonesia yang berkembang
hingga sekarang. Sedangkan bahasa Melayu yang terdapat di Johor kini
berkembang mekar menjadi bahasa Malaysia.

Dari sisi historis tersebut dapat ditegaskan, bahwa bahasa Indonesia dan
bahasa Malaysia itu semula memang berasal dari cikal-bakal yang sama. Dengan
proses perkembangan yang berbeda, situasi lingkungan sosial-budaya yang
sangat berbeda, termanifestasi bahasa yang masih serupa tetapi tidak persis
sama. Dari sisi historis pula, dapat dijawab dengan jelas dan tegas,
keraguan akan benar-tidaknya pendapat bahwa bahasa Indonesia semula
merupakan bahasa pijin, yang umumnya berhakikat bahasa pasar dan ragam
bazar. Karena itu pulalah bahasa Indonesia yang berkembang hingga sekarang
ini tetap membenarkan bentuk 'istriku', 'mobilku' bukan bentuk bazar 'saya
punya bini', dan 'gue punya mobil'.***