[Nasional-m] Ironi Suap DPR

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun, 13 Oct 2002 22:06:59 +0200


Media Indonesia
Senin, 14 Oktober 2002

Ironi Suap DPR
M Alfan Alfian M, Analis Sospol Katalis dan ACG, Jakarta


PEMBEBERAN kasus suap anggota DPR menemukan babak baru. DPP PDIP menyerahkan
penyelesaian dugaan suap oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
yang melibatkan 11 anggota Komisi IX DPR dari F-PDIP kepada proses hukum.
Partai berlambang kepala banteng ini, juga mempersilakan anggota F-PDIP yang
merasa tercemar nama baiknya menggugat balik saksi, Indira Damayanti Bambang
Sugondo, yang memberikan keterangan kepada Direktorat Reserse Pidana Korupsi
(Dirpidkor) Korps Reserse Polri.
Isu kasus suap di DPR kembali menjadi sorotan setelah dua anggota F-PDIP
Meilono Suwondo dan Indira Damayanti Sugondo merilisnya. Keduanya
menceritakan kasus suap yang dilakukan BPPN kepada para anggota DPR (Komisi
IX) dalam sebuah pertemuan khusus di sebuah hotel di Jakarta pada Juni lalu.
Diduga hal ini ada kaitannya dengan divestasi Bank Niaga, yang harus
disetujui DPR. Tapi, seperti biasa, sangkal-menyangkal pun terjadi, bahkan
dari Ketua Komisi IX yang juga dari F-PDIP. Sementara Menteri/Ketua Bapenas
Kwik Kian Gie yang juga kader PDIP cenderung membenarkan sinyalemen dua
rekannya itu.
Tentu saja pengakuan Meilono dan Indira mengejutkan --walaupun sesungguhnya
banyak yang tak terkejut lagi. Keduanya harus menghadapi risiko gugatan
teman-teman yang 'dituduhnya'. Terlepas dari hal itu, keduanya, sesungguhnya
hanya menegaskan bahwa DPR sekarang sudah jadi sarang suap dan KKN. Semakin
mafhumlah khalayak akan perangai DPR yang 'bergelimang suap' itu. Tidak
hanya Komisi Penyelidik Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) saja yang
mengamati proses akumulasi kapital para anggota DPR, tapi juga masyarakat
luas.
Banyak sorotan yang ditujukan ke DPR sekarang, dan isu suap salah satunya.
Tentu saja hal ini membutuhkan perhatian serius kalangan DPR sendiri,
terkait dengan kredibilitasnya sebagai lembaga politik formal yang
berwibawa. Isu-isu lain, misalnya terkait dengan status terpidana (belum
berstatus hukum tetap) Ketua DPR Akbar Tandjung; dan soal malasnya banyak
anggota DPR dalam mengikuti rapat-rapat Dewan.
Persoalan etika memang kerap diabaikan oleh para 'wakil rakyat yang
terhormat' itu. Tidak saja menyangkut etika (khusus) politik, tapi juga
etika ekonomi, etika hukum, dan etika secara umum. Barangkali yang satu ini
kurang mendapat sorotan. Padahal, sebenarnya riil, yakni tatkala kantor
anggota DPR dipakai sebagai kantor bisnis, dengan memanfaatkan segala
fasilitas yang ada.
***
Banyak sisi negatif yang bisa disorotkan kepada DPR (hasil Pemilu 1999) dan
tentunya hal ini memunculkan sejumlah ironi. Setidaknya terdapat tiga
catatan. Pertama, anggota DPR cenderung bukan wakil rakyat lagi, melainkan
wakil parpol. Walaupun posisi parpol kini tak sekuat tempo dulu (zaman Orde
Baru), misalnya dalam mendesain pergantian antarwaktu, tetapi posisinya
tetap saja dominan. Komando politik masih dipegang oleh
parpol --konsekuensinya, yang dijadikan pijakan adalah kepentingan politik
mereka, bukan demi, misalnya menegakkan moralitas politik. Inilah yang
menjadikan parlemen Indonesia tak bisa bekerja secara profesional,
semata-mata demi kepentingan publik secara luas --sebab sering dihambat,
justru oleh kebijakan parpolnya.
Kedua, proses politik pasca-Orde Baru mengantarkan lembaga DPR menguat,
tidak hanya di pusat, tetapi juga di daerah-daerah. Kalau di masa lampau,
pihak eksekutiflah yang kerap menekan parlemen, kini sebaliknya. Posisi DPR
makin kuat, setelah kecenderungan orientasi politik hasil amendemen UUD 45
condong legislative heavy (penguatan politik parlemen) ketimbang executive
heavy (penguatan eksekutif). Memang, dalam sistem politik pascaamendemen UUD
45, dikenalkan lembaga baru bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di
samping DPR. Dengan demikian, terjadi perubahan sistem politik dari
unikameral menjadi bikemeral (dua kamar).
Namun, setelah ditilik lebih lanjut ternyata DPD memiliki peran dan fungsi
yang amat terbatas di banding DPR. DPD hanya menjadi 'pelengkap penderita'.
Di sisi lain 'kekuasaan' DPR makin suprematif.
Semua keputusan penting terkait dengan pengesahan undang-undang harus
sepersetujuan DPR --ditambah dengan keputusan-keputusan strategis
pemerintahan lain, semisal antara lain penetapan Panglima TNI dan Kapolri.
DPR juga bisa memanggil, mendengarkan, bahkan membentuk komisi khusus yang
terkait dengan berbagai persoalan pemerintahan. Semakin leluasanya parlemen,
semakin membuka peluang lembaga 'yang terhormat ini' dimanfaatkan
anggota-anggotanya melakukan manipulasi politik dan politik uang.
Ketiga, lembaga DPR cenderung 'tak terkontrol'. Siapa yang mengontrol
parlemen? Tidak jelas. Kalau sekadar menggantungkan kontrol internal, bisa
dipastikan, tidak akan terjadi kontrol sebenarnya. Lembaga-lembaga lain pun,
tampaknya tak bisa melakukan kontrol formal secara signifikan terhadap
parlemen. Hanya publiklah yang memiliki kekuatan untuk mengontrol parlemen,
tetapi harus diakui kekuatannya amat terbatas. Publik (massa) memang
memiliki kekuatan besar bila diberdayakan, tapi massa terlampau cair dan
terpecah-pecah.
***
Massa bisa mengkritisi elite, bahkan lebih jauh mampu mendorong proses
deelitisasi. Namun, tatkala kekuatan-kekuatan politik (parpol-parpol
dominan), sementara kekuatan civil society lemah dan terpecah-pecah,
deelitisasi itu cenderung hanya tinggal wacana. Yang bisa menjatuhkan posisi
politik elite atau sekelompok elite, kemungkinan besar kini lebih dilakukan
oleh pertarungan antarmereka. Konstelasi politik antarelite politik,
terbentuk oleh daya tawar, manuver, dan kecenderungan-kecenderungan mereka.
Di level elite politik, yang secara formal, juga tergambarkan oleh para
anggota DPR, telah menggejala satu sikap yang memperkuat konstelasi
oligarki. Oligarki politik, ternyata tidak hanya dikaitkan dengan
kepentingan proteksi politik, tapi juga dalam hal kepentingan ekonomi
(pribadi dan kelompok), bahkan dalam konteks hukum. Soal oligarki politik,
misalnya, belakangan terdengar nada yang cukup keras dari partai-partai
politik kecil (dan baru), menuduh bahwa partai-partai politik besar sengaja
memproteksi eksistensinya dari kehadiran yang lain --terkait dengan
electoral treshold.
Menjelang 2004, geliat partai-partai politik makin dinamis --termasuk dalam
mengakumulasikan kapital. Tidak menutup kemungkinan, akumulasi kapital yang
akan dipakai untuk membiayai pemilu kelak, didapat dari cara-cara yang tidak
halal. Salah satunya, dengan 'bergerak' memanfaatkan supremasi DPR, dengan
menerima berbagai macam suap (money politics) dari pelbagai instansi
pemerintah.
Mungkin saja, hal sedemikian, bagi parpol tidak jadi soal. Ini demi
kemenangan dan 'kebenaran politik' parpol terkait. Bagi pengurus dan kader
militan parpol, kebenaran yang sejati seolah hanyalah kebenaran parpol.
Apakah memang demikian, Lantas di mana letak etika? Kecenderunganya, etika
diletakkan di luar koordinat politik, sehingga memang tidak mengenal etika.
Wallahu a'lam.****