[Nasional-m] Mengkaji Kembali Privatisasi BUMN Pascatragedi Bali

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue, 22 Oct 2002 21:39:49 +0200


Sinar Harapan
22/10/2002

Mengkaji Kembali Privatisasi BUMN Pascatragedi Bali
Oleh Mandala Harefa

Rencana privatisasi BUMN akan dikaji atau dinilai ulang menyusul terjadinya
teror bom di Bali beberapa waktu lalu. Namun, sejauh ini tidak ada rencana
untuk menunda privatisasi tersebut. Hal tersebut diungkapkan Menteri BUMN
Laksamana Sukardi. Privatisasi tetap dilaksanakan, tapi sebelumnya akan
dilakukan penilaian mengenai kesiapan pasar terhadap kondisi pascabom.
Menyangkut rencana privatisasi beberapa BUMN seperti penjualan hingga 51%
saham Indosat yang tengah berjalan, belum ada rencana menunda privatisasi
dari salah satu sektor BUMN. Bahkan, sudah menyetujui penambahan jumlah
obligasi II Indosat, dari Rp 1 triliun menjadi Rp 1,25 triliun.
Demikian pula dengan divestasi saham Kaltim Prima Coal (KPC) sebanyak 20%
saham milik pemerintah dan 31% lainnya pada akhir bulan ini. Sedangkan
program penjualan saham juga dilakukan Bank Mandiri rencana penawaran saham
perdana (initial public offering/IPO) tergantung dari perkembangan pasar
pasti mempengaruhi investor.
Dengan demikian persoalan BUMN saat ini semakin kompleks tidak hanya sekadar
target privatisasi yang pesimis dapat dicapai tahun 2003 ini, tetapi
pemerintah sendiripun belum mereposisi secara tepat dan cermat seperti apa
peran BUMN di masa depan. Untuk melakukan privatisasi BUMN, pemerintah perlu
mengkaji terlebih dahulu berbagai hal termasuk kecenderungan pasar.
Gagalnya target privatisasi tahun 2002 mengindikasikan pemerintah kurang
serius mengkaji secara mendalam BUMN apa saja yang pantas dan layak untuk
diprivatisasi. Seleksi BUMN yang diprivatisasipun tidak berdasarkan atas
kinerja serta perkembangan dan tuntutan pasar. Sehingga respon pasar
cenderung negatif.
Selain itu nilai jual BUMN yang hendak diprivatisasi kurang laku karena
pengembangan BUMN selama ini tidak komprehensif dan terkesan tambal sulam
hanya mengejar target guna menutup defisit anggaran dalam APBN. Untuk ”
menjual” BUMN kepada publik tidak semudah menjual kue di pasar. Calon
investor tidak mungkin melirik, jika misalnya dari segi struktur permodalan
tidak sehat atau manajemennya yang kurang baik dan profesional.

Perlu Transparansi
Faktor lain yang sangat penting untuk diperhatikan adalah transparansi
proses privatisasi. Proses pelaksanaan privatisasi jangan seperti main
akrobat dimana tiba-tiba pemenang/pembeli akhir sudah ada. Proses
privatisasi yang tidak transparan terjadi karena pemerintah tidak sanggup
berdiri di tengah berbagai kepentingan yang saling tarik-menarik, sehingga
mempersulit pengembangan BUMN ke depan. Jika proses awal privatisasi kurang
baik, tidak jaminan kinerja BUMN akan lebih baik dan lebih profesional di
masa datang. Padahal tujuan privatisasi adalah memperbaiki kinerja BUMN agar
lebih sehat, efisien dan produktif serta mampu menciptakan laba.
Pasar memperkirakan pemerintah sulit mencapai target privatisasi sebesar Rp
4 triliun dalam APBN tahun 2002 ini dan Rp 8 triliun untuk tahun 2003.
Sementara itu Meneg. BUMN memberi alasan bahwa kegagalan privatisasi lebih
banyak disebabkan kondisi makro ekonomi yang tidak kondusif. Namun tetap
saja hingga kini pemerintah belum juga melakukan penawaran umum (public
offering) saham secara aktif.
Kemungkinan kegagalan privatisasi juga dipengaruhi oleh hambatan internal
dalam manajemen BUMN. Pihak manajemen merasa khawatir akan posisinya jika
privatisasi dijalankan. Mereka yang tidak suka terhadap privatisasi atau
status quo, takut kedudukan mereka akan terancam paska privatisasi.

Setengah-setengah
Langkah privatisasi BUMN merupakan salah satu upaya pemerintah menyelamatkan
defisit anggaran negara. JIka privatisasi gagal, maka defisit RAPBN yang
ditargetkan sebesar Rp. 26.263,3 tahun 2003 terancam tidak tercapai. Ini
artinya pemerintah harus mencari jalan lain, seperti mempercepat penjualan
aset program restrukturisasi perbankan yang masih diwarnai kontroversi.
Upaya inipun masih menghadapi kendala yang tidak ringan.
Kegagalan privatisasi di sisi lain merupakan hilangnya peluang dan
kesempatan kepada calon investor—yang sangat mungkin merupakan afiliasinya
IMF untuk memiliki aset atau saham BUMN di Indonesia. Hal ini wajar
mengingat pula bahwa kebijakan privatisasi BUMN tercantum dalam Letter of
Intents (LoI) antara IMF dengan Indonesia. Inilah salah satu faktor yang
membuat IMF begitu antusias mengkritik kinerja perekonomian kita yang
cenderung masih berjalan lamban.
Langkah perluasan privatisasi BUMN sebenarnya sudah direncanakan sejak tahun
2000. Tidak tanggung-tanggung, diharapkan dana yang masuk dari privatisasi
dalam APBN pada waktu itu sebesar Rp 6,5 triliun dari sebanyak 16 BUMN (PT.
Angkasa Pura II; PT. Bank Mandiri; PT. Indocement TP; PT. Indofarma; PT.
Indosat Tbk; PT.Kimia Farma; PT.Krakatau Steel; PT.PN III; PT. Pupuk Kaltim;
PT. Sarinah; PT. Semen Gresik; PT. Socfindo; PT. Sucofindo; PT. Tambang
Batubara BA; PT. Telkom Tbk; dan PT. Wisma Nusantara) dengan jumlah
persentase saham masing-masing yang ditawarkan. Nyatanya sepeserpun tidak
terealisasi. Pada waktu itu, ada tiga pilihan yang ditawarkan yakni pertama,
initial public offering (IPO); kedua, strategic sale (SS) dan ketiga,
restructuring.
Tidak hanya faktor ekonomi yang menyebabkan kegagalan privatisasi, faktor
politik, kepastian dan penegakan hukum masih menjadi tanda tanya bagi calon
investor yang berminat. Pengambilalihan sepihak oleh Pemda Sumbar atas PT
Semen Padang merupakan indikasi belum ditegakkannya hukum secara konsekuen
serta turunnya wibawa pusat terhadap daerah. Calon investor tentu khawatir
dan bertanya-tanya siapa sebenarnya yang akan mengendalikan manajemen
perusahaan.

Tindakan yang ditempuh Pemda karena tidak transparannya pusat kepada daerah
terhadap proses privatisasi BUMN yang ada di daerah-daerah. Dalam hal ini
Pemda tidak juga dapat disalahkan begitu saja dengan pengambilalihan
tersebut. Karena disadari bahwa masyarakat setempat merasa tidak mendapat
apa-apa dari kehadiran BUMN di daerahnya selama ini. Alasannya sederhana,
sumber alam yang ada didaerahnya habis dikuras pusat tanpa pembagian secara
adil kepada daerah. Bahkan daerah tidak mendapat keuntungan secara langsung.
Belajar dari pengalaman ini, privatisasi BUMN jangan hanya sekadar memenuhi
target LoI dan defisit anggaran negara.
Dalam konteks otonomi daerah, paradigma pengelolaan BUMN ke depan tidak lagi
bersifat sentralistik. Oleh sebab itu, alternatif yang dapat meredam ”
kegalauan” daerah atas eksistensi BUMN di berbagai daerah adalah melalui
pemberian kesempatan kepada Pemda untuk memiliki sebagian saham BUMN. Dengan
kepemilikan sebagian saham oleh daerah—misalnya—tanggung jawab untuk
meningkatkan kinerja dan laba perusahaan juga menjadi beban Pemda. Tetapi
tidak semua BUMN harus ”disentralisasi”.
Kalau daerah lain tidak mampu menghasilkan produk sejenis karena kondisi
alam yang tidak memungkinkan, maka kepentingan nasional merupakan
pertimbangan utama, sehingga BUMN tetap dikendalikan pusat. Opsi lain yang
dapat dilakukan adalah dengan memberikan peluang kepemilikan saham BUMN
kepada karyawan BUMN. Strategi ini sudah dilakukan oleh PT Indosat dan PT
Telkom.
Sebagai perusahaan publik (baca negara), wajar bila masyarakat luas
mengetahui perkembangan setiap BUMN. Sehingga jika ada persoalan di tubuh
BUMN, masyarakat menjadi maklum. Toh modal BUMN didapat dari uang rakyat
melalui penyertaan/penambahan modal pemerintah (PMP). Kini sebagian
masyarakat bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi pada BUMN kita sehingga
privatisasi tidak berjalan. Berbeda jika sudah ditawarkan kepada publik,
tidak satupun investor yang melirik. Pemerintah tidak dapat disalahkan
sepenuhnya.
Realitas ekonomi saat ini pascatragedi Bali yang relatif belum kondusif
merupakan pelajaran berharga bagi pemerintah ke depan untuk merancang
privatisasi BUMN. Banyak hal yang perlu direformasi selain lingkungan makro
ekonomi, stabilitas politik dan penegakan hukum. Tarik-menarik berbagai
kepentingan termasuk di tubuh manajemen BUMN sendiri yang berbuntut adanya
(dugaan) penyuapan, turut memperlambat privatisasi. Jika target privatisasi
tidak tercapai tahun ini, bagaimana dengan target privatisasi yang sudah
ditetapkan sebesar Rp. 8 triliun dalam tahun 2003 mendatang ?

Penulis adalah staf ahli di DPR-RI, alumnus Pascasarjana Magister
Perencanaan dan Kebijakan Publik FE UI..



 Copyright © Sinar Harapan 2002




---
Outgoing mail is certified Virus Free.
Checked by AVG anti-virus system (http://www.grisoft.com).
Version: 6.0.404 / Virus Database: 228 - Release Date: 2002-10-15