[Nasional-m] Korupsi Berdimensi Kejahatan HAM
Ambon
nasional-m@polarhome.com
Sat, 26 Oct 2002 01:18:51 +0200
Kompas
Sabtu, 26 Oktober 2002
Korupsi Berdimensi Kejahatan HAM
Oleh Fathullah
DALAM Undang-Undang (UU) No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di bagian Konsideran
disebutkan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara
meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan
pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga
tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang
pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Maksud dari UU ini tidak lain mengidentikkan secara yuridis perbuatan
korupsi yang notabene telah banyak meresahkan masyarakat sebagai suatu
kejahatan terhadap hak asasi manusia (HAM) atau kejahatan kemanusiaan.
Karena itu, secara otomatis menurut UU ini, para pelakunya (para koruptor)
perlu dikategorikan dan diperlakukan sebagai penjahat HAM atau penjahat
kemanusiaan yang seharusnya dilakukan pemberantasan secara luar biasa hingga
ke akar-akarnya.
Korupsi bukan lagi menggejala, tetapi telah membudaya dan mewabah ke semua
lapisan masyarakat-utamanya elite pejabat di negeri terkorup di dunia
ini-memperlihatkan secara telanjang, betapa buruknya akibat kemanusiaan yang
ditimbulkan dari perbuatan jahat itu. Dengan penegasan UU yang mengharuskan
pemberantasannya secara luar biasa, merupakan bentuk ketegasan yuridis yang
menuntut agar pemberantasan korupsi dilakukan secara sungguh-sungguh dan
harus dapat dipertanggungjawabkan secara kemanusiaan.
Pemberantasan korupsi yang berdimensi HAM amat tidak kondusif dilakukan
aparat penegak hukum biasa dalam kasus-kasus pidana umumnya. Pemberantasan
di tingkat penyidikan dan penuntutan harus dilakukan oleh sebuah lembaga
independen yang dapat dipercaya dan dibentuk khusus menangani perkara
korupsi berdimensi HAM. Sebenarnya lembaga yang dimaksud telah diamanatkan
di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Pasal 41 Ayat (1) menyatakan, dalam waktu paling lama UU ini berlaku
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau lazim disebut
Komisi Anti Korupsi (KAK).
Namun hingga kini, pembentukan lembaga itu terus mengalami penundaan dan
belum ada kepastian. Apalagi yang berkait dengan pembentukan pengadilan
khusus (Ad hoc) yang masih jauh dari harapan dan belum ada rumusan
Undang-Undangnya.
Sehingga sebagaimana dikhawatirkan, upaya pemberantasan korupsi yang
berdimensi HAM dalam praktik akan mengalami kendala yang tidak mudah
diatasi. Sebab, ketidakjelasan lembaga yang berwenang menangani
perkara-perkara korupsi berdimensi HAM itu, selalu akan menjadi ganjalan
praktis yang terus dipersoalkan, bukannya justru dipercepat pembentukannya
oleh pemerintah dan DPR.
Khusus pada tingkat pengadilan untuk kasus korupsi berdimensi HAM ini ada
dua alternatif pengadilan yang dapat ditempuh. Melalui pengadilan khusus (Ad
hoc), atau pengadilan luar biasa korupsi atau pengadilan HAM korupsi yang
dibentuk secara khusus untuk itu, atau dalam bentuk lain-tidak perlu
membentuk sendiri, dan diserahkan ke pengadilan HAM Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB) atau Mahkamah Internasional.
Mengingat selama ini di dalam negeri kasus-kasus peradilan dan pengadilan
korupsi tidak ditangani secara konsisten, sehingga menimbulkan banyak
kontroversial dan ketidakpercayaan masyarakat, yang disebabkan
ketidakjelasan komitmen aparat penegak hukum untuk memberantas korupsi dan
kenyataannya menjadi bagian dari korupsi itu sendiri, maka untuk
penanganannya, agar benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, mutlak harus
memilih dua alternatif itu, yaitu memberantasnya dengan instrumen lembaga
peradilan dan pengadilan yang dibentuk sendiri secara khusus (Ad-hoc), atau
menyerahkan para koruptor itu kepada pengadilan HAM PBB atau ke Mahkamah
Internasional. Pilihan lain, yang mungkin juga bisa terjadi secara alamiah
adalah menunggu puncak kemarahan masyarakat yang akan menyeret pelaku
korupsi ke "pengadilan rakyat". Yang terakhir ini merupakan pilihan amat
fatalistik, tragis, primitif, dan sama sekali tidak mencerminkan kehidupan
negara hukum yang demokratis.
Hakim luar negeri
Di tengah ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengadilan kasus-kasus
korupsi saat ini, tidak berlebihan ada pihak-pihak yang menginginkan agar
hakim dalam pengadilan khusus korupsi yang berdimensi HAM ini didatangkan
atau dikontrak dari luar negeri yang memenuhi syarat profesional, jujur,
terpercaya, dan secara obyektif dapat memahami dan menerapkan hukum
Indonesia secara adil, dengan berpedoman kepada UU Korupsi, aturan-aturan
tentang HAM yang berlaku di Indonesia maupun secara Internasional. Hal ini
dimaksudkan untuk mengakomodasi unsur pertanggungjawaban kejahatan
kemanusiaan dalam kasus korupsi yang berdimensi HAM itu.
Hakim yang diharapkan adalah yang dapat dipercaya untuk memeriksa, megadili,
dan memutus perkara korupsi. Tetapi sayang, model hakim seperti ini telah
langka di Indonesia dan yang ada kebanyakan hakim yang carut-marut dengan
dosa-dosa korupsi, picik, licik, terlibat "main mata", dan "berselingkuh"
dalam menangani perkara korupsi. Maka tidak aneh, akibatnya kini masyarakat
telah kehilangan kepercayaan terhadap hakim-hakim seperti itu.
Amat berbeda jauh, bila misalnya kita melihat hakim-hakim pengadilan korupsi
di negara luar. Tidak usah jauh-jauh, lihat Filipina, Korea Selatan
(Korsel), Thailand, dan Malaysia. Dalam menangani kasus korupsi, hakim-hakim
mereka begitu konsisten, tidak pandang bulu, dan tidak ada kompromi.
Akibatnya, hakim-hakim tidak hanya dipercaya masyarakat, tetapi juga dampak
efektivitasnya terhadap pemberantasan korupsi amat memuaskan.
Karena itu, secara sadar dan jujur, sebagai bangsa yang masih berdekatan
rumpun, ras, warna kulit, dan kultur sesama bangsa Asia Tenggara, kita
seharusnya dapat minta bantuan untuk mentransfer atau mengontrak hakim-hakim
pengadilan korupsi dari negara-negara itu. Mereka itu terutama yang telah
teruji dan terpilih di negaranya. Secara jujur, kita amat membutuhkan
hakim-hakim seperti itu guna memberantas kejahatan korupsi yang telah banyak
merampas hak-hak kemanusiaan bangsa ini.
Rasa keadilan
Masalah nasionalisme dan harga diri yang berlebihan sebagai bangsa dapat
disingkirkan lebih dulu, dan mengedepankan rasa keadilan masyarakat dan
penegakan hak-hak kemanusiaan yang telah dirampas dan dikorup para elite
tidak bertanggungjawab, selain itu untuk memberi suasana baru terhadap
munculnya kepercayaan rakyat.
Dengan kata lain, lebih baik kita mempercayakan kepada hakim-hakim negara
tetangga, daripada berlarut-larut membiarkan kasus itu ditangani hakim
sendiri yang berkualitas buruk dan tidak mendapat kepercayan masyarakat,
yang akhirnya justru dapat memunculkan kemarahan masyarakat yang sulit
dikendalikan. Lagi pula dengan minta bantuan atau mengontrak hakim dari
negara tetangga seperti itu, kemungkinan besar lebih diterima dan dipercaya
masyarakat daripada kita harus mendatangkan bantuan atau mengontrak
hakim-hakim dari negara-negara barat.
Untuk mewujudkan pemikiran ini, maka menjadi tugas pemerintah, DPR, dan
Mahkamah Agung yang berkompeten membuat dasar dan menyiasati kebijakan dalam
bidang hukum dan peradilan. Proses meminta bantuan atau mengotrak
hakim-hakim luar negeri yang amat dibutuhkan untuk pengadilan korupsi
berdimensi HAM di Indonesia ini, perlu mendapat prioritas dan dipercepat
realisasinya, karena kita kini sedang berpacu dengan waktu. Jawaban terhadap
rasa keadilan masyarakat, tegaknya hukum dan HAM sangat ditunggu-tunggu
kedatangannya oleh sebagian besar bangsa Indonesia.
Fathullah, Peneliti CIDES Jakarta
---
Outgoing mail is certified Virus Free.
Checked by AVG anti-virus system (http://www.grisoft.com).
Version: 6.0.404 / Virus Database: 228 - Release Date: 2002-10-16