[Nasional-m] Di Balik Vonis Akbar Tandjung

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat Sep 14 12:00:16 2002


Jawa Pos
Sabtu, 14 Sept 2002

Di Balik Vonis Akbar Tandjung
Oleh Hendardi

Vonis ringan tiga tahun tanpa perintah segera masuk penjara untuk Akbar
Tandjung dalam kasus dana nonbujeter Bulog sama sekali tidak mengejutkan.
Itu produk kompromi politik yang mudah diprediksi jauh hari sejak Pansus
Bulog gagal dibentuk. Ketika lebih 90 persen anggota DPR dari FPDIP yang
semula galak mendorong pembentukan pansus berubah sikap menjadi abstain
dalam voting pembentukan pansus, ketika itu pula sesungguhnya deal politik
penyelesaian kasus Akbar sudah tercapai.

Kompromi politik penyelesaian kasus Akbar oleh elite politik, terutama dari
FPDIP sebagai fraksi terbesar di DPR dan Golkar, tampaknya cukup alot. Hal
itu ditunjukkan dengan terus diulur-ulurnya waktu pengambilan keputusan
pembentukan Pansus Bulog. Akhirnya hasil putusan itu mengecewakan dan
menghina kecerdasan publik. Deal politik itu kemudian menjadi jelas dengan
hasil vonis, yaitu mengorbankan Akbar dengan menghukum secara terbatas,
tetapi membiarkannya tetap memimpin Golkar dan DPR. Juga, yang terpenting,
Golkar tak diutak-atik. Di sini harapan publik agar ada pengusutan terhadap
kemungkinan aliran dana Rp 40 miliar ke Golkar sudah dikubur lewat deal
politik.

Sasaran umum yang hendak dicapai dalam skenario penyelesaian kasus ini
dengan menghukum terbatas Akbar justru untuk menghentikan kelanjutan
pengungkapan dan pengusutan aliran dana nonbujeter Bulog tersebut. Skenario
itu juga untuk suatu kepentingan yang lebih besar. Keuntungan PDIP dari deal
politik ini menjelang dan setelah 2004 adalah menjadikan Akbar dan Golkar
semacam "sandera politik" yang dapat terus dikendalikan. Dengan demikian,
PDIP tetap membiarkan Akbar memimpin DPR.

Hanya, kalkulasi politik PDIP ini bisa jebol karena Akbar dikenal sebagai
politikus licin dan piawai dalam parlemen selama puluhan tahun. Keuntungan
politik Golkar dengan skenario ini adalah terselamatkan dari kemungkinan
sanksi hukum dan politik menyangkut adanya aliran dana ilegal yang
ditengarai kuat terjadi.

Jika dalam waktu segera Kejaksaan Agung tidak menggunakan kasus Akbar
sebagai pintu masuk untuk mengusut tuntas dan mengungkap lebih jauh aliran
dana nonbujeter Bulog, menjadi jelas tujuan skenario menghukum terbatas
Akbar tersebut. Yakni, menutup kasus ini bagi kepentingan bargaining
kekuasaan elite politik, namun sama sekali bukan untuk kepentingan keadilan
publik. Karena itu, deal politik harus dikategorikan sebagai konspirasi
jahat.

Bagaimanapun, Akbar sudah berstatus terpidana. Seseorang dengan status
terpidana dalam perspektif hukum sudah harus dibatasi hak-haknya. Penetapan
status itu justru bertujuan membatasi hak-haknya. Secara hukum dia tidak
seperti orang lain yang tidak dikenai status terpidana. Justru kalau
perbedaan perlakuan tidak diberikan, lantas apa perbedaan orang dalam status
terpidana dengan orang bebas pada umumnya?

Bahwa Akbar ngotot merasa tidak bersalah dan mau terus duduk memimpin
DPR -juga Golkar- dan PDIP juga berkepentingan agar Akbar tetap memimpin
DPR, hal itu hanya menyangkut kepentingan politik mereka dalam kekuasaan.
Publik harus tetap mendesak Akbar agar mundur dari ketua DPR untuk
menegakkan kredibilitas DPR. Ini tuntutan etis terhadap seorang pejabat
publik. Rakyat tidak boleh diwakili pemimpin lembaga perwakilan rakyat yang
sudah terpidana. Bila setiap terpidana bisa ikut memimpin institusi penting
negeri ini, lengkaplah negeri ini menjadi Republik Maling.

DPR seharusnya juga menunjukkan sikap moral dengan terus mendesak Akbar
untuk mengundurkan diri atau nonaktif sementara dari jabatan ketua DPR.
Kejelasan sikap moral dan DPR sangat penting nilainya untuk menjaga
kredibilitas lembaga perwakilan ini. Sukar dibayangkan bahwa DPR mampu
menegakkan kredibilitas sebagai lembaga kontrol yang juga turut bertanggung
jawab terhadap terciptanya good and clean governance jika tidak mampu
mengontrol dan membersihkan dirinya sendiri.

Di pihak lain, sikap moral yang puritan sangat diperlukan dan harus dapat
ditunjukkan oleh setiap pejabat penyelenggara negara di tengah-tengah
masalah korupsi yang sangat akut di negara kita. Sikap ngotot Akbar yang
tidak ingin melepaskan jabatan ketua DPR, kendati hanya untuk sementara
sampai putusan hukum berkekuatan tetap dijatuhkan, merupakan contoh moral
yang buruk dari perilaku pejabat penyelenggara negara. Preseden yang patut
dan terpuji pernah ditunjukkan Jaksa Agung (mantan) Andi Ghalib dan direksi
PT KAI (Kareta Api Indonesia) yang memilih nonaktif atau mengundurkan diri
dari jabatannya. Ironisnya, preseden terpuji kedua pejabat negara ini gagal
memancarkan hikmah pencerahan bagi Akbar.

Mestinya, Akbar lebih berkonsentrasi untuk membuktikan secara hukum bahwa
dirinya tidak bersalah pada tingkat pengadilan selanjutnya ketimbang
bersilat lidah melontarkan wacana yang tidak konstruktif dengan
mengembangkan isu adanya character assassination terhadap dirinya. Dalam
perspektif hukum, sangkaan dan pidana korupsi Rp 40 miliar merupakan
individual responsibility Akbar sebagai pejabat negara. Namun, pengembangan
wacana yang menyesatkan itu sebagai usaha defensif segera dibaca sebagai
upaya politisasi untuk memindahkan konflik dari wilayah hukum ke wilayah
politik. Dengan kata lain, hantu character assassination diciptakan guna
mentransfer konflik dari urusan personal menjadi konflik politik dengan
melibatkan publik. Itu sepenuhnya merupakan tindakan yang tidak bertanggung
jawab.***
Hendardi, ketua PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia).