[Nasional-m] Kebijakan Gula

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat Sep 14 12:00:48 2002


Jawa Pos
Sabtu, 14 Sept 2002

Kebijakan Gula

Kamis lalu, puluhan pabrik gula (PG) dan ribuan karyawannya melakukan
demonstrasi secara serentak. Mereka memprotes pemerintah yang tak juga
melindungi nasib mereka dengan membiarkan gula impor membanjiri pasar. Hal
itu memang membuat gula lokal tak laku karena harganya jauh lebih mahal
daripada gula impor.

Di pasar, gula impor dijual dengan harga Rp 2.700-an per kg. Padahal, harga
pokok produksi (HPP) gula lokal saja mencapai Rp 3.200 per kg. Jelas, gula
lokal tak akan laku jika gula impor membanjiri pasar dengan harga di bawah
Rp 3 ribu per kg.

Karena itulah, PG dan para karyawan -menyusul protes para petani tebu yang
tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR)- meminta pemerintah agar
meninjau kebijakan gula, dengan menaikkan bea masuk (BM) impor gula dan gula
mentah (raw sugar). Jika selama ini BM gula berkisar 20-25 persen, mereka
mengusulkan 110 persen. Alasannya, BM sebesar itu masih diizinkan oleh
organisasi perdagangan dunia sampai 2010.

Dengan BM sebesar itu, gula lokal tak akan mampu bersaing, para petani bakal
kesulitan, dan puluhan pabrik gula bakal gulung tikar. Saat itulah, industri
gula nasional akan ambruk.

Kesabaran PG, ribuan karyawan, dan jutaan petani tebu memang kian habis.
Sebab, persoalan gula impor tidak hanya terletak pada BM yang rendah, tapi
juga pengawasan pemerintah yang buruk. Akibatnya, banyak gula impor ilegal
ditemui di pasar. Begitu juga raw sugar yang semestinya hanya untuk industri
makanan yang memerlukan bahan baku gula mentah.

Kebijakan bea masuk gula memang dilematis. Sebab, jika bea masuk rendah,
petani dan industri gula nasional akan dirugikan. Sementara itu, jika bea
masuknya tinggi, konsumen dirugikan karena harga gula di pasar akan mahal.

Ini terjadi karena untuk produk gula, Indonesia tak lagi memiliki
competitive advantage bila dibandingkan Thailand, misalnya. Biaya produksi
gula per kg di Thailand kira-kira setengah dari biaya produksi gula di
Indonesia.

Thailand bisa memproduksi gula dengan biaya sekitar Rp 1.600 per kg.
Padahal, biaya produksi rata-rata gula Indonesia masih sekitar Rp 3.200 per
kg. Betapa tak kompetitifnya produksi gula Indonesia bisa dilihat dari
survei P3GI (Pusat Penelitian dan Pengembangan Gula Indonesia) terhadap 46
pabrik gula di Jawa.

Berdasar survei itu, terlihat bahwa 34 pabrik gula akan gulung tikar jika
bea masuk gula impor 0 persen dan produknya turun dari 1 juta ton menjadi
271,5 ribu ton. Jika BM impor 25 persen, 17 pabrik akan ambruk. Jika BM 60
persen, enam pabrik akan ambruk. Dan, jika BM 95 persen, hanya dua pabrik
yang tak bisa bersaing.

Karena itu, jika BM ditetapkan 20 persen, petani dan pabrik gula akan rugi.
Sebab, biaya produksinya saja sudah Rp 3.200 per kg. Para petani dan pabrik
baru merasakan keutungan jika harga gula di atas Rp 3.500 per kg.

Lalu, bagaimana seharusnya kebijakan gula diambil? Yang jelas, pemerintah
harus memikirkan masalah gula untuk jangka panjang. Artinya, perlindungan
terhadap petani tetap harus dilakukan. Sebab, ada jutaan orang yang
menggantungkan nasibnya terhadap gula. Selain itu, jika pemerintah tak
melindungi mereka dan industri gula nasional gulung tikar, hal itu akan
sangat membahayakan rakyat Indonesia di masa depan.

Gula merupakan salah satu bahan pokok. Memang, bisa saja pemerintah memilih
impor dan menutup industri gula nasional karena lebih murah. Tapi, bagaimana
jika tiba-tiba harga gula internasional melambung, sementara industri gula
nasional telanjur gulung tikar? Jika itu terjadi, masyarakat akan menjerit
karena harga gula melambung tak terkendali.

Apalagi, melindungi petani dengan pengenaan tarif impor yang mahal masih
diizinkan oleh World Trade Organization (WTO). Indonesia diberi kesempatan
untuk menerapkan bea masuk impor gula 110 persen hingga 2010. Sebab, WTO
mempertimbangkan betapa Indonesia saat ini tidak memiliki competitive
advantage sehingga perlu perlindungan. Dengan kesempatan itu, Indonesia
diberi kesempatan 8 tahun untuk menata industri gula nasional sehingga jadi
efisien dan mampu bersaing dengan negara lain.

Melindungi petani sebenarnya hal yang biasa dilakukan oleh negara mana pun,
termasuk negara kaya seperti Jepang dan China. Jepang, misalnya, pertengahan
tahun lalu menerapkan kebijakan bea masuk 100 persen terhadap enam jenis
sayur dari China. Tujuannya, melindungi petani Jepang. Begitu juga China,
Taiwan, Malaysia. Karena itu, mengapa tidak mencoba melindungi petani tebu
dengan menerapkan bea masuk impor gula yang lebih tinggi?