[Nasional-m] Membangun Kepekaan Sejarah yang Nyata

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Sep 17 00:00:24 2002


Kompas
Selasa, 17 September 2002

Di Tengah Gejala Disintegrasi
Membangun Kepekaan Sejarah yang Nyata
Anhar Gonggong

HARIAN Kompas (1/9) memuat tulisan tentang Papua, Karyawan Freeport Tewas
Ditembak. Dari seorang dosen Sejarah Universitas Syiah Kuala yang datang ke
Jakarta untuk menghadiri pertemuan sejarawan, diinformasikan "kacaunya
situasi Aceh". Di sana, orang tidak tahu siapa kawan sekaligus lawan!
Kematian juga dapat dikatakan, terjadi "setiap saat."
Gambar diri di kekinian kita, sepanjang usia kemerdekaan yang sudah 57
tahun, menampakkan pertentangan yang menyebabkan kehancuran harta benda yang
memiskinkan; juga kematian warga bangsa-negara yang memedihkan. Berita pedih
tidak hanya datang dari Papua dan Aceh; tetapi juga dari Kalimantan, Maluku,
dan Sulawesi Tengah. Belum lagi terpaan musim kemarau dan pulangnya puluhan
ribu tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal dari Malaysia.
Bila kita mengambil pengandaian, kekinian kita sedang dalam keadaan sakit
demam berderajat tinggi. Tetapi, penyakit demam ini tampak ditumpangi
penyakit lain, yang tidak kurang kronisnya; yaitu diskusi berkepanjangan
untuk menemukan jenis demamnya, terus berlangsung tanpa keputusan tegas dari
tim dokter.
Dampaknya, negeri yang kaya ini, tetap dalam kemiskinannya, tidak hanya
karena alam dan perut buminya terkuras, tetapi terutama karena nurani
pimpinan dan tim dokter penyembuhnya sedang krisis. Nurani tampak beku,
dalam keasyikannya berdiskusi tanpa ujung hasil.
Nah...itulah yang tampak, dan gejala disintegrasi kian memberi keharusan
untuk mencari obat yang dapat mencairkan nurani beku dari tim dokter yang
keasyikan berdiskusi, sementara mayat-mayat tiap hari terbaring di
wilayah-wilayah negeri yang dilanda konflik. Dari Sabang (simbol Aceh) dan
dari Merauke (simbol Papua) terdengar suara lirih yang meminta agar tim
dokter segera menghentikan keasyikan diskusi dan segera menemukan obat yang
menyembuhkan demam yang panasnya kian bertambah. Kematian sedang menanti!
Ke-Indonesian
Apakah kita hendak jujur untuk melihat diri sebagai bangsa baru dan negara
merdeka yang juga baru? Jika kita hendak melihat dengan jujur, faktanya
selama 57 tahun menjadi bangsa-negara merdeka, yang terjadi ialah kita terus
bertengkar yang berujung pada tercucurnya darah sebangsa dan sewarga negara.
Tahun 1950, saat kita sudah berdaulat penuh, sampai tahun 1965-selama 15
tahun-terus berkembang konflik ideologis dan "pemberontakan". Dari DI/TII
Jawa Barat, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan, PRRI dan
Permesta sampai G30S tahun 1965, merupakan rangkai-rangkai konflik yang
tidak dapat disangkal.
Setelah kekuasaan Orde Baru/Jenderal Soeharto, sejak tahun 1970-an sampai
tahun 1997-selama 27 tahun-telah terjadi pemberontakan yang tidak hanya
ideologis, tetapi lebih dari itu, hendak merdeka! Kehendak itu ditopang
kekuatan bersenjata di Aceh dan Papua, sedangkan tuntutan merdeka di Riau
dilakukan dengan gerakan politik nonbersenjata.
Dengan kata merdeka dalam gerakan mereka, itu memberi makna, yang mereka
tolak bukan sekadar pemerintah dan ideologi negara Pancasila, tetapi lebih
dari itu, ke-Indonesiaan yang tidak mereka dikehendaki lagi! Buntutnyalah
yang sedang kita hadapi kini.
Penolakan mereka tentu dilatari pelbagai hal, antara lain karena alasan
sejarah dan politik. Namun, tidak kurang penting, manajemen negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang menampakkan ketidakadilan dan tidak
berkurangnya kemiskinan penduduk umumnya.
Dalam kaitan itu, apa yang harus dilakukan agar gejala disintegrasi tidak
makin melebar. Jika itu dibiarkan, tidak mustahil pemahaman diri kita
sebagai satu bangsa dan negara yang dirumusciptakan bersama untuk sejahtera
bersama, tentu dapat memudar dan makin memudar. Dengan itu tujuan
meng-Indonesia dan merdeka dalam NKRI makin tidak dipahami pula sebagai hal
yang seharusnya difaktualkan setiap saat.
Membangun kepekaan
Ketika para bapak dan ibu perumus bangsa dan pendiri negara Indonesia
berjuang bersama, mereka mengerahkan tenaga dan pikirannya secara jernih dan
merancang masa depan yang dikehendaki bersama. Karena itu, harus diingat
oleh kita yang hidup sekarang bahwa saat itu, dari abad-abad lampau sampai
masuk abad ke-20, bangsa Indonesia-sebagai nama bangsa yang satu-belum ada.
Baru setelah memasuki abad ke-20, tampillah sejumlah pemuda-pemudi yang
terdidik-tercerahkan untuk merumuskan dirinya sebagai bangsa baru, dengan
nama baru: Indonesia. Rumusan nama baru itu merupakan kehendak untuk hidup
bersama. Dengan demikian, peran dialog di antara pendiri bangsa-negara itu,
amat penting-strategis!
Di tengah gejala-faktual disintegrasi, tampak kebutuhan untuk mengembalikan
pemahaman diri agar kita tetap hidup bersama di dalam Indonesia. Dalam
rangka itu, kita perlu membangun, meminjam Nietzsche-"kepekaan sejarah yang
nyata."
Membangun aspek kesadaran sejarah yang bermacam itu, tidak hanya harus
dilakukan orang-orang Aceh, Papua atau Riau, tetapi juga oleh, terutama,
para pemegang kebijakan pemerintahan negara di Jakarta; atau kepekaan
sejarah nyata itu harus dibangun di lingkungan politikus dan birokrasi
pemerintahan negara.
Usaha untuk membangun kepekaan sejarah nyata kian diperlukan, karena
terbukti setelah 57 tahun merdeka dengan nama baru Indonesia, gejala-faktual
disintegrasi makin tampak. Bahkan dalam perkembangannya, keretakan kian
melebar. Hal itu mungkin terjadi karena ketika retorika verbal tentang
pentingnya mempertahankan persatuan dan kesatuan dalam rangka NKRI, yang
terjadi, kita mengalami kelupaan sejarah. Atau kembali meminjam Nietzsche,
kita "telah kehilangan kesetiaan terhadap masa lalu."
Adanya kesalahan yang menyebabkan kita kehilangan kesetiaan terhadap masa
lalu, tentu tidak sepenuhnya terletak, seperti dikatakan oleh orang Aceh,
Papua dan Riau, tetapi terutama kesalahan pemerintah pusat. Untuk
memperbaiki kesalahan itu, diperlukan waktu. Tetapi, tuntutan waktu, meski
amat penting untuk diperhatikan, seharusnya tidak menjadi faktor penghalang
untuk mengingatkan kita pada proses menjadi Indonesia dengan aneka lika-liku
penderitaannya.
Usaha membangun kepekaan sejarah nyata itu, justru karena kita hendak
kembali berusaha memahami diri yang bersifat plural, majemuk. Dengan
membangun kepekaan sejarah yang nyata, berarti kita akan melakukan refleksi
terhadap perjalanan kita sebagai bangsa-negara baru yang hendak membangun
sejahtera bersama secara adil.
Refleksi hari depan
Untuk membangun kepekaan sejarah yang nyata, tidak dapat dilakukan tanpa
kesediaan merefleksi sejarah. Refleksi dalam arti permenungan terhadap
kelampauan sejarah bersama, harus ditanggapi sebagai bagian
pertanggungjawaban dari kekinian kita.
Namun pertanggungjawaban itu, bukan sekadar untuk generasi yang kini hidup
dan berkarya serta sedang menikmati semua kenyataan yang ada di dalamnya,
tetapi merupakan pertanggungjawaban dari generasi kini untuk sebuah wujud
masa depan. Karena itu, Indonesia dan merdeka, tidak hanya dibangun oleh
kelampauan dan kekinian, tetapi karena tarikan kehendak masa depan yang
selalu bertambah baik. Itu berarti, bangunan kepekaan sejarah nyata,
terutama untuk masa depan sebuah bangsa-negara, mudah-mudahan akan tetap
bersama, Indonesia!
Dr Anhar Gonggong Sejarawan, Deputi Menteri Bidang Sejarah dan Purbakala
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
Search :










Berita Lainnya :
•Ekonofisika atau Sosioekonomi, Mana yang Paling Dibutuhkan Indonesia?
•Membangun Kepekaan Sejarah yang Nyata
•Perbaikan Manajemen Kelas Susul Kenaikan Tunjangan Fungsional
•POJOK
•REDAKSI YTH
•Sayang, KAHMI Pecah
•TAJUK RENCANA