[Nasional-m] Ketika Revolusi Harus Berhenti

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Sep 19 22:00:14 2002


Sinar Harapan
19/9/2002

Ketika Revolusi Harus Berhenti


Jiang Qing (Chiang Ching), Wang Huwen (Wang Huwen), Chang Chun Chiao (Zhao
Chunqiao), Yao Wen Yuan (Yao Wenyuan) bersatu padu mempertahankan jalannya
revolusi di Daratan Cina. Saat itu, Ketua Mao Zedong sudah masuk masa dalam
kekuasaannya.
Di pihak lain, kekuatan anti-Mao sudah marak merebak. Deng Xiaoping, anak
asuh Zhou Enlai, yang oleh Mao dituduh sebagai penempuh "Jalan Kapitalis",
sudah menguasai keadaan.
Jiang Qing adalah istri (biologis dan ideologis) Mao. Wang Huwen saat itu
Wakil Ketua Partai Komunis Cina. Zhao Chunqiao masih duduk sebagai Wakil
Perdana Menteri Republik Rakyat Cina dan Yao Wen Yuan adalah ideologi dan
propaganda partai tunggal itu.
Karena mereka berempat mencoba mempertahankan revolusi, timbullah predikat
sinis yang cukup mashur: Gang of Four (Komplotan Empat). Bagaimana hasil
perjuangan Kelompok Empat dan revolusinya? Nihil.
Kelompok Empat ditangkap dan dikerangkeng. Tragis. Ketua Mao pun pergi
bersama revolusinya untuk selamanya. Selanjutnya Deng, dengan segala
jaringannya yang sudah tertanam rapi oleh Zhou Enlai di berbagai lini,
menguasai keadaan.
Hingga hari ini pun tampaknya revolusi masih cukup pantas dipandang sebagai
misteri. Mengapa revolusi harus terjadi, mengapa juga ada saatnya revolusi
harus pergi. Menarik untuk direnungkan, mengapa revolusi Cina untuk meraih
kemerdekaannya berhasil, sedangkan Revolusi Kebudayaan sebagai tahapan
berikutnya gagal total?
Banyak kalangan pakar politik dan pengamat Cina percaya bahwa revolusi
kemerdekaan Cina sebagai revolusi tahap pertama berhasil gemilang karena
revolusi itu berangkat dari genangan air mata dan derita rakyat Cina.
Revolusi dahsyat dengan Long March-nya yang legendaris itu telah
mempersatukan berbagai kekuatan dan menghasilkan kemerdekaan, meskipun
tantangan dan bebannya sangat berat.
Sebaliknya, revolusi tahap kedua yang disebut sebagai Great Proletarian
Cultural Revolution (Revolusi Besar Kebudayaan Proletar) gagal total.
Mengapa?
Revolusi Kebudayaan tidak lagi berangkat dari air mata rakyat Cina, kata
sementara orang. Pada saat Revolusi Kebudayaan dilancarkan, Mao sudah
terkepung rapat oleh musuh-musuh politiknya.
Berbeda dengan Revolusi Kemerdekaan, Revolusi Kebudayaan lebih merupakan
perebutan kekuasaan dalam negeri Cina, yang bisa mengarah ke perang saudara.
Salah satu faktor yang mengalahkan Mao ialah "penyakit lupa" yang diidap
Mao.
Dalam kurun hidupnya, Mao menulis tentang politik dan puisi. Salah satu
tulisannya, yang berbau filsafat adalah "Tentang Kontradiksi" (On
Contradiction). Menurut Mao, kontradiksi itu bersifat umum dan universal.
Kontradiksi selain perbedaan adalah juga pertentangan (konflik).
Ada kontradiksi yang bisa didamaikan, ada yang tidak bisa didamaikan. Kalau
tidak bisa didamaikan, berarti salah satu harus hancur (kalah), yang lain
menang. Tapi jangan lupa, kontradiksi yang bisa didamaikan pun bisa berubah,
menjadi tidak bisa didamaikan.
Contoh di Indonesia, PRRI melawan RI, harusnya bisa diselesaikan secara
damai. Tetapi karena masuknya pihak luar (intervensi), jadilah konflik yang
tidak bisa didamaikan. Salah satu harus kalah.
Mao juga mengatakan ada kontradiksi antara unsur lama dan unsur baru, dengan
kepastian hukum bahwa yang baru akan tampil sebagai pemenang dan yang lama
akan kalah dan kehilangan eksistensinya.
Bagaimana kalau teori Mao itu diterapkan terhadap diri Mao sendiri?
Menjelang akhir kekuasaannya, kubu Mao harus berhadapan dengan kubu Deng.
Dan persis seperti yang dikatakan teori Mao sendiri, kekuatan lama (Mao)
dikalahkan oleh kekuatan baru (Deng).Tentu saja tidak aneh bila ada orang
bilang, "Mao termakan teori sendiri".
Bagaimana seandainya Teori Mao itu diterapkan dalam sejarah politik di
Indonesia? Orde Lama dikalahkan Orde Baru. Selanjutnya Orde baru
ditumbangkan Orde Reformasi. Tetapi benarkah Reformasi telah menang dan Orde
Baru telah berakhir?
Secara formal mungkin demikian. Tetapi secara faktual, mungkin tidak
demikian. Pertanyaannya yang lebih mendasar adalah, akankah Orde Baru
sebagai kekuatan status quo mampu bertahan atau bahkan akan tampil sebagai
pemenang?
Tentu tidak mustahil, namun juga tidak ada alasan rasional untuk optimistik.
Posisi kekuatan status quo sekarang semakin goyah dan telah kehilangan
momentum.
Revolusi di Cina telah pergi bersama Mao, seperti revolusi Indonesia telah
pergi bersama Bung Karno. Apa yang tersisa di Cina adalah arus kekuatan
reformasi yang mengubah separo wajah Cina.
Dalam politik masih tetap menganut asas partai tunggal yang senantiasa
berkuasa, monolit dan tertutup. Dalam bidang ekonomi Cina telah menempuh
"Jalan Kapitalis" seperti yang dituduhkan oleh mendiang Mao Zedong.
Di Indonesia setelah revolusi Bung Karno pergi, yang berkuasa adalah
kekuasaan Orde Baru. Ketika Orde Baru kehilangan kekuasaan, momentum
berpihak kepada Orde Reformasi.
Reformasi di Cina mengarah kepada liberalisasi ekonomi. Reformasi di
Indonesia mengarah ke liberalisasi politik sementara bidang ekonomi masih
belum tersentuh spirit reformasi.
Revolusi memang tidak mungkin tanpa hiruk pikuk. Setelah itu? Kita kini
memasuki era hiruk pikuk tanpa revolusi. Dan tampaknya, reformasi memang
tidak akan pernah menggantikan peran revolusi.
(sides sudyarto ds)
 Copyright © Sinar Harapan 2002