[Nasional-m] Ketika Pers Jadi Kambing Hitam

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Sep 20 01:24:01 2002


Suara Karya

Ketika Pers Jadi Kambing Hitam
Oleh Edy Purwo Saputro

Jumat, 20 September 2002
Era reformasi yang katanya memberi kebebasan penuh kepada pers untuk
"berekspresi", ternyata tak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Bahkan,
eksistensi pers saat ini justru terancam karena adanya tudingan bahwa pers
telah memutarbalikan fakta secara berlebihan dengan tidak lagi mengindahkan
etika profesionalismenya.
Bahkan, pers saat ini justru dianggap telah memperkeruh jalannya
pemerintahan sehingga pers layak untuk dijadikan tertuduh dan kemudian wajar
jika menjadi kambing hitam atas kegagalan operasional pemerintahan sekarang.
Presiden Megawati Soekarnoputri belum lama ini menyatakan bahwa pemberitaan
pers tentang kasus TKI telah menjadikan corong ketidakbenaran atas fakta
yang terjadi. Bahkan, secara eksplisit, Presiden Megawati telah menyudutkan
pers. Pers dituduh terlalu membesar-besarkan pemberitaan tentang musibah
TKI.
Yang justru menjadikan permasalahan bahwa seharunya pemerintah lebih
berintrospeksi atas pemberitaan tersebut dan bukannya justru mencari
pembenaran sepihak dengan cara menyalahkan pers. Bagaimanapun juga apa yang
disampaikan pers atas pemberitaannya mengenai kasus TKI memang telah sesuai
porsi tuntutan profesionalisme - aspek kaidah jurnalistik yaitu menyampaikan
kebenaran fakta.
Sayangnya, ketika pers menjalankan peran dan fungsinya ini ternyata
pemerintah justru merasa kebakaran jenggot. Artinya, tidak ada upaya
korektif terhadap kegagalan yang terjadi (jika memang mau mengakui).
Kenyataan ini tentu sangat ironis sebab eksistensi pers di era reformasi
ternyata semakin mandul dan dikebiri oleh kepentingan stabilitas sospol yang
sifatnya cenderung semu. Jika kenyataannya demikian lalu bagaimana ke
depannya? Bagaimana eksistensi- nilai peran pers dalam menyuarakan kebenaran
(baca: bukan pembenaran sepihak?)
Aktualisasi


Pers adalah "mata pena", yang terkadang tumpul dan juga terkadang tajam.
Tumpul dan tajamnya pers sangat tergantung pada bagaimana insan-insan pers
mampu merefleksikan sebuah tuntutan dan juga komitmen. Dua hal inilah yang
kemudian menentukan proses investigasi atas suatu pemberitaan. Meski
demikian, tuntutan dan juga komitmen itu tak bisa terlepas dari koridor
independensi dan juga etika pers.
Oleh karena itu, seiring laju booming pers, baik yang cetak ataupun audio -
visual, maka tidak ada salahnya apabila komunitas pers juga dituntut semakin
proaktif dalam mensikapi tantangan ke depan. Hal ini memang tidak mudah
sebab bagaimanapun juga ada proses egoisme yang muncul di internal tubuh
pers itu sendiri dan egoisme ini bisa menjadi ancaman serius jika tak bisa
dimanage secara optimal (baca: egoisme yang mengarah pada pembenaran
sepihak).
Kenyataan tentang ancaman egoisme pers tersebut paling tidak bisa kita lihat
ketika saat ini banyak bermunculan media-media pers yang tidak sesuai (lagi)
dengan etika - norma ketimuran kita (terutama menjamurnya media esek-esek).
Booming media pers porno tersebut secara pelan tetapi pasti justru akan
dapat membinasakan institusi pers secara umum.
Jadi egoisme seksual yang telah sukses merasuki insan pers pada akhirnya
justru memicu munculnya media pers porno. Kondisi ini semakin parah ketika
publik dengan setengah hati memandang dan juga merespons positif atas
munculnya media pers porno ini. Kemunafikan publik ini yang akhirnya bisa
dengan sukses menumbuhkembangkan klasifikasi media pers porno.
Selain itu, dari pihak yang berwajib juga terkesan acuh tak acuh terhadap
realitas menjamurnya media pers porno yaitu di satu sisi mereka merazia
media-media porno, tetapi di sisi lain mereka justru "membiarkan" (dan
bahkan ikut aktif membacanya?) media pers porno.
Selain kritikan dan ancaman sosial dari menjamurnya media pers porno, faktor
lain yang juga menjadi ancaman serius bagi perkembangan pers ke depan yaitu
terkait dengan sisi egoisme jurnalistik. Padahal publik mengakui bahwa
eksistensi pers adalah berlaku jujur dan tidak memihak siapapun serta
bersikap adil dalam menyampaikan pemberitaan yang mengarah pada suatu kasus.
Sayangnya, meski individual pers telah memahami dan juga mengakui komitmen
ini, toh dalam prakteknya tidak jarang (meski kita tidak bisa untuk
menyangkal mengatakannya sering) egoisme jurnalistik juga muncul.
Konsekuensi dari munculnya egoisme jurnalistik ini akhirnya justru akan
merugikan media pers tersebut (terutama jika dikaitkan dengan salah satu
pihak yang merasa dirugikan atas isi dari nilai pemberitaan yang
disampaikan). Bahkan, banyak kasus yang terjadi sebuah media pers didemo
komponen masyarakat karena dianggap keberadaannya dilecehkan pers dan atau
ekspose pemberitaan yang dilakukan tidak berimbang .
Dua contoh ironis di atas pada dasarnya menunjukan tentang ancaman
independensi pers yang dewasa ini semakin nyaring disuarakan, tidak saja
oleh komunitas pers, tetapi juga oleh publik (tentunya bukan tipe publik
yang munafik), serta pemerintah yang dalam hal ini bertindak sebagai
mediator-kontroler. Hal inilah yang kemudian memicu kontroversi.
Paling tidak, tarik ulur atas kekontroversian ini bisa terlihat dari temuan
dua hal menarik dalam rapat dengar pendapat Komisi I DPR dengan Dewan Pers,
Serikat Perusahaan Suratkabar (SPS), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI),
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), pada 21 Maret 2002 lalu.
Dua hal tersebut yaitu pertama: hal pernyataan Presiden Megawati
Soekarnoputri yang menegaskan bahwa "kebebasan pers Indonesia telah
kebablasan" dan kedua: pernyataan anggota DPR Djoko Susilo bahwa saat ini
berkembang konservatisme, baik di kalangan masyarakat, pemerintah, maupun
parlemen, dalam menyikapi fenomena kebebasan pers.
Fakta konservatisme itu dimunculkan dengan disodorkannya Rencana
Undang-Undang Rahasia Negara atau RUU lain yang bisa menghambat proses
kebebasan pers maupun pendapat-pendapat bahwa kebebasan pers telah
kebablasan. Hal ini secara tak langsung bisa memicu kembalinya
"belenggu-belenggu" terhadap kebebasan pers dan jika hal ini terjadi maka
ini menunjukan kemunduran dari kemerdekaan pers. (Kompas, 22-3- 2002)
Eksitensi


Adanya kenyataan tentang dua hal tersebut, yaitu kebebasan pers (meski
disinyalir telah kebablasan) dan ancaman belenggu pers, maka tidak ada
salahnya jika komunitas pers dituntut untuk dapat melakukan instrospeksi
(internal dan eksternal). Alasannya karena dikotomi antara kebebasan pers
dan juga ancaman belenggu pers secara lambat tapi pasti akan mematikan
proses pencerdasan dan pendewasaan dalam opini publik.
Padahal, ada keyakinan yang sangat kuat bahwa opini publik merupakan salah
satu bagian terpenting dalam proses pembangunan demokrasi dalam suatu
negara. Jadi jika opini publik terbius oleh dikotomi antara kebebasan pers
dan ancaman belenggu pers, maka bisa dipastikan bahwa opini publik akan
menjadi tumpul dan proses ketumpulan ini akan menjadi suatu ancaman serius
bagi pembodohan suatu generasi.
Mengacu realitas tersebut, Andri (2002) menegaskan bahwa media massa sebagai
salah satu pilar negara juga mempunyai agenda untuk menciptakan opini publik
(yang tak lain adalah bagian dari proses independensi pers). Hal ini
tentunya sangat terkait erat dengan pertanyaan mengapa sebuah kasus bisa
di-blow up di media? Banyak media berpendapat bahwa pemberitaan kepada
khalayak itu didasari oleh "hak untuk tahu" bagi masyarakat.
Oleh karena itu, seiring dengan kebebasan pers yang kini sudah dirasakan
media pers, maka kita cuma bisa berharap bahwa media dapat berlaku
profesional. Artinya, berbagai pemberitaan tersebut harus benar-benar
dilandasi tuntutan dan komitmen bahwa mereka ada untuk melayani "hak untuk
tahu" masyarakat.
Ini seharusnya membuat media bebas dari nilai (neutral value) atau
intervensi (meski ada suatu kenyataan bahwa sistem bebas nilai itu akan
selalu bersinggungan dengan sisi permainan politik, bahkan di negara dan
masyarakat paling demokratis sekalipun). Jadi, inilah tantangan bagi pers
Indonesia!
Bahwa independensi pers tidak seharusnya diartikan sebagai suatu kebebasan
yang mutlak tanpa sensor dan kritik dari publik. Independensi pers yang
diartikan seperti ini justru pada akhirnya mematikan komunitas pers itu
sendiri. Oleh karena itu, seiring dengan laju pendewasaan komunitas pers dan
juga pencerdasan kehidupan masyarakat, maka tidak ada salahnya jika pers
berintrospeksi, toh hasilnya juga akan lebih memacu kehidupan dan juga
pendewasaan pers Indonesia.
Proses introspeksi yang dilakukan oleh pers seharusnya juga diikuti pihak
lain, termasuk juga dalam hal ini adalah pemerintah. Artinya, ada kesesuaian
dalam memahami eksistensi pers, sebab jika tidak, maka pers akan selalu
disalahkan, menjadi tertuduh, provokator, dan keberadaannya justru menjadi
kambing hitam. Dengan kata lain, jika introspeksi itu dapat dilakukan oleh
semua, maka proses demokratisasi juga akan semakin berkembang. Semoga!
(Edy Purwo Saputro, dosen FE - UMS Solo).