[Nasional-m] Teladan Wartawan Senior

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Sep 23 00:00:09 2002


Jawa Pos
Senin, 23 Sept 2002

Teladan Wartawan Senior

Sejumlah wartawan senior Jumat pekan lalu mengimbau bangsa Indonesia untuk
bersatu dalam sikap keprihatinan yang mereka tanda tangani di Gedung Dewan
Pers, Jakarta. Sikap keprihatinan wartawan senior itu dimotori, antara lain,
Rosihan Anwar, Jakob Oetama, Herawati Diah, Djafar Asegaff, dan Dewi Rais
Abin

Adakah masalah besar dalam diri bangsa ini sehingga para wartawan gaek itu
perlu menyatakan sikap secara khusus melalui tanda tangan sikap
keprihatinan?

Apa sesungguhnya yang telah terjadi dalam diri bangsa ini sehingga para
wartawan senior tidak cukup menuangkan sikapnya melalui tulisan di media
yang mereka pimpin atau media lainnya?

Sejak reformasi yang meruntuhkan rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998, pintu
perubahan terbuka lebar untuk mengantarkan bangsa Indonesia menuju peradaban
berbangsa, bernegara, kebersamaan, persatuan, kemajemukan, dan berdemokrasi
yang jujur. Harapan digantung sangat tinggi bahwa dengan reformasi, bangsa
ini akan segera bisa mengejar ketinggalannya dari bangsa-bangsa lain dalam
hal, misalnya, meningkatkan kemakmuran, meraih kemajuan sosial, serta
mencapai perbaikan kualitas pendidikan, sistem pemerintahan yang bersih, dan
penegakan hukum yang adil.

Tetapi, waktu empat tahun ternyata belum cukup, bahkan mengindasikan bahwa
harapan dan cita-cita mulia mengenai perbaikan peradaban berbangsa dan
bernegara itu tidak bakal segera bisa diwujudkan. Justru yang terjadi,
bangsa ini kian mengarah pada proses disintegrasi yang kian menggoyahkan
kebersamaan, persatuan, dan pluralisme. Kian banyak indikasi yang membuat
kita pesimistis bahwa bangsa ini akan segera keluar dari krisis politik,
moral, ekonomi, dan hukum.

Pers yang tidak lagi berada dalam kekangan rezim otoriter, pers yang relatif
bebas melontarkan kritik selama empat tahun terakhir, ternyata tidaklah pula
memadai menjadi pengkritik fungsional untuk mengingatkan rezim yang berkuasa
agar segera dapat menjawab tuntutan mengenai perlunya perbaikan kualitas
berbangsa dan bernegara.

Pada konteks inilah, wartawan-wartawan senior, seperti Rosihan Anwar, Jakob
Oetama, dan Herawati Diah, merasa tak cukup mengingatkan rezim politik yang
saat ini berkuasa melalui tulisan di media. Mereka terpanggil untuk mencoba
cara lain, yakni menyatakan sikap prihatin terhadap kondisi bangsa Indonesia
yang masih buruk dalam banyak hal. Belum banyak perbaikan yang bisa diraih
dan dicapai meskipun berhasil meninggalkan rezim politik yang otoriter empat
tahun silam.

Ada pula hal lain yang patut dicatat dari penandatanganan sikap prihatin
para wartawan senior tersebut. Apa itu? Sikap kritis dan pengabdian dari
idealisme wartawan yang tanpa henti.

Mereka menunjukkan bahwa sikap kritis dan idealisme tak pernah lekang dan
luntur selama hayat dikandung badan. Dalam pengabdian, tidak ada kata
berhenti selama perbaikan kualitas peradaban bangsanya belum juga sesuai
cita-cita bersama.

Sikap para wartawan senior itu sekaligus merupakan pendidikan dan teladan
yang sangat berharga bagi wartawan muda. Yakni, dalam zaman yang berubah,
tantangan di lingkungan pers yang sudah berbeda tak menjumudkan idealisme.
Kami yang muda-muda ini mendapatkan teladan berharga yang belum tentu dapat
diperoleh lagi di kemudian hari.