[Nasional-m] Urgensi Penerapan Kuota Perempuan dalam Paket .....

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Sep 23 21:48:01 2002


Kompas
Senin, 23 September 2002

Urgensi Penerapan Kuota Perempuan dalam Paket Undang-Undang Politik
* Ani Soetjipto

SAAT ini Pansus Pemilu dan Pansus Parpol di DPR sedang membahas usulan
perubahan paket UU Politik yang terdiri dari RUU Pemilu, RUU Parpol, dan RUU
Susduk yang diajukan pemerintah lewat draf yang dibuat tim Depdagri.
Banyak persoalan yang disoroti berbagai kalangan sehubungan dengan isi paket
undang-undang politik yang diajukan tim Depdagri seperti persoalan KPU yang
independen, persoalan penyelesaian perselisihan dalam pemilu, dana kampanye,
sistem pemilu, dan seterusnya.
Luput dari pembahasan dan tidak pernah disorot serius oleh anggota pansus
Pemilu maupun Parpol adalah soal peningkatan keterwakilan perempuan melalui
gagasan affirmative action lewat mekanisme kuota yang banyak disuarakan
berbagai kalangan.
Dari DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) yang kini menjadi pembahasan di
Pansus Pemilu dan Parpol terlihat, hampir semua parpol tidak menganggap
penting isu ini, dan tidak ada upaya sungguh-sungguh untuk memperjuangkan
agar usulan itu bisa diakomodasi dalam perbaikan draf rancangan yang
diajukan tim Depdagri. Tulisan ini akan menyoroti urgensi "kuota jender"
dalam paket UU Politik sebagai landasan strategis guna menciptakan peluang
terjadinya perubahan ke arah situasi yang lebih baik bagi peningkatan status
perempuan dan menciptakan demokrasi yang lebih partisipatoris di Indonesia.
Mengapa RUU Pemilu dan RUU Parpol merupakan instrumen strategis untuk
peningkatan keterwakilan perempuan?
Sudah banyak diketahui, partisipasi dan representasi perempuan di Indonesia
adalah rendah dan lemah. Meski perempuan Indonesia punya hak untuk memilih
dan dipilih, tetapi perwakilan mereka hanya 8,8 persen di DPR dan 8,6 persen
di MPR. Institusi politik dan proses yang dapat mendorong, memfasilitasi,
atau mendukung peningkatan partisipasi politik perempuan juga amat terbatas.
Menyadari kekurangan keterwakilan mereka dan kesulitan untuk membangun jalan
ke sistem politik, didesakkan agenda strategis melalui mekanisme affirmative
action lewat penerapan kuota
Dengan mekanisme ini, disyaratkan adanya "jumlah minimal" berupa angka
strategis 30 persen dari perempuan untuk dicantumkan oleh tiap parpol pada
daftar calon tetap dalam aturan yang memungkinkan kandidat perempuan dapat
terpilih dalam pemilu .
Didesakkan pula agar angka strategis ini juga diterapkan dalam proses
rekrutmen dalam partai yang mensyaratkan adanya kriteria pemilihan yang adil
jender dan transparan serta dapat diukur seperti tercantum dalam AD/ART
Parpol
Jalan ini ditempuh, karena "tanpa jumlah yang signifikan", perempuan tetap
tidak akan pernah dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan publik yang punya
dampak luas.
***
RUU pemilu dan RUU Parpol adalah instrumen strategis. Pemilu meski bukan
solusi, tetapi merupakan cara yang menciptakan peluang bagi perubahan. Lewat
Pemilu, dipilih wakil-wakil yang akan duduk di parlemen yang akan bertugas
membuat kebijakan. Calon-calon atau kandidat yang akan menjadi anggota
Parlemen berasal dari partai politik. Dengan demikian, RUU Politik juga
merupakan instrumen strategis, sehingga pencantuman angka minimal 30 persen
kandidat perempuan untuk dicalonkan sebagai pengurus parpol, sehingga mereka
dapat ikut menentukan kandidat untuk dicalonkan sebagai caleg
Apa dampak dari kegagalan pencantuman "kuota jender" pada RUU Pemilu dan RUU
Parpol bagi Indonesia?
Dilihat dari sisi kuantitas, perempuan jumlahnya lebih dari 50 persen
penduduk Indonesia. Mengabaikan perempuan berarti meminggirkan mereka dari
proses politik dan pelanggaran HAM perempuan. Demokrasi tanpa keikutsertaan
perempuan bukanlah demokrasi yang sesungguhnya. Legitimasi dari suatu
kebijakan yang demokratis harus memperhitungkan kepentingan pemilih yang
terdiri dari perempuan dan laki-laki.
Implikasi lain dari pengabaian ini adalah kegagalan Indonesia sebagai negara
yang telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskrimiansi
terhadap Wanita melalui UU Nomor 7 Tahun 1984 untuk mengimplementasikan
aturan yang tertuang dalam Konvensi Wanita. Pemajuan situasi wanita di
Indonesia akan selalu dipantau kalangan international dan Indonesia
diharuskan membuat pelaporan secara reguler untuk dibahas dan dievaluasi
secara terbuka dalam forum di sidang umum PBB, terutama pada UN Commission
on the Status of Women.
Selain itu, Indonesia juga telah menyatakan komitmennya untuk ikut
mengimplementasi salah satu area kritis yang tertuang dalam Deklarasi
Beijing tahun 1995, berupa jaminan bagi akses perempuan untuk berpartispasi
dalam institusi pengambilan keputusan. Kini, tujuh tahun kemudian, tercatat
perubahan yang amat lambat. Perbandingan hasil Pemilu 1997 dengan Pemilu
1999 memperlihatkan penurunan jumlah representasi perempuan di Parlemen,
dari 12 persen menjadi sekitar delapan persen. Tanpa tindakan khusus berupa
penerapan affirmative action tidak akan terjadi perubahan signifikan pada
peningkatan representasi perempuan.
Dampak lain kegagalan penerapan Affirmative Action lewat mekanisme kuota
adalah tidak akan terjadi perubahan cara pandang dalam menyelesaikan masalah
politik, ekonomi maupun sosial di Indonesia. Persolan-persolan TKI,
kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, kesehatan reproduksi,
kesejahteraan keluarga, seperti kesehatan dan pendidikan yang menjadi
persoalan serius di Indonesia mustahil bisa diselesaikan tanpa ada perubahan
paradigma baru dalam kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan perempuan .
Dampak lain adalah hilangnya suara pemilih perempuan dalam Pemilu dan
hilangnya kepercayaan publik. Hasil poling mutakhir yang dilakukan
Universitas Padjadjaran Bandung memperlihatkan, rakyat kini kian kritis dan
rasional. Partai yang gagal memberi "imbalan nyata" atas dukungan yang
diberikan pemilih akan ditinggalkan. (Kompas, 20/9/2002)
Sekali lagi, Affirmative Action lewat mekanisme kuota diperlukan bukan
karena perempuan minta belas kasihan, perempuan minta kursi, atau perempuan
minta jatah, tetapi merupakan hak sebagai warga negara yang sudah diakui
dalam UUD 1945 maupun berbagai instrumen internasional lain yang telah
diratifikasi maupun ditanda tangani Indonesia dengan suka rela.
ANI SOETJIPTO Pengajar di Jurusan Hubungan Internasional FISIP UI dan
Program Pascasarjana Kajian Wanita UI serta Divisi Perempuan dan Pemilu
CETRO