[Nasional-m] Kegagalan Sistem MPR Pascaamendemen

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue, 14 Jan 2003 22:42:47 +0100


Sinar Harapan
14 Jan. 2003

Kegagalan Sistem MPR Pascaamendemen
Oleh
Sri-Bintang Pamungkas

Debat kusir dan nyaris pokrol bambu yang ditunjukkan oleh Ketua MPR Amien
Rais dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi dalam soal divestasi PT. Indosat
memperlihatkan betapa masalah bangsa bertingkat nasional telah direduksi
menjadi masalah pribadi dan golongan. Demikian pula ribut-ribut oleh para
anggota MPR menanggapi lepasnya Sipadan-Ligitan, divestasi Indosat, dan
naiknya harga BBM, tarif dasar listrik dan tarif telpon, menunjukkan betapa
MPR telah tidak mampu mencegah terjadinya keputusan-keputusan pemerintah
tersebut. Sesudah segala sesuatunya diputuskan, barulah para anggota MPR itu
ribut-ribut. Itu pun hanya sekadar-ribut-ribut, bukan sebuah koreksi yang
bisa menganulir keputusan yang sudah ada.
Terlebih-lebih lagi, karena berbagai hal itu terjadi sesudah ada amendemen
terhadap UUD-1945, di mana di dalamnya termasuk amendemen terhadap tugas dan
fungsi MPR, yang sekaligus membuktikan bahwa amendemen UUD-1945 yang
menghabiskan puluhan miliar dan dikerjakan sendiri oleh MPR selama beberapa
tahun itu telah tidak berhasil melindungi kepentingan rakyat banyak dan
membawa rakyat kepada tujuan kesejahteraan lahir dan batin. Berbagai
peristiwa di atas adalah sebuah uji sahih yang menunjukkan ketidakmampuan
UUD yang baru itu.

Zaman Soeharto
Di zaman Soeharto, memang pemerintah sangat berkuasa. Disamping mampu
mengambil hati rakyat pada awalnya dengan memperkenalkan sebuah sistem baru
(kemudian disebut Orde Baru) yang dimaksudkan untuk menggantikan sistem
lama, pemerintah Soeharto juga mendapatkan dukungan penuh dari Angkatan
Bersenjata RI (ABRI), serta membuktikan kemampuan bangsa untuk membangun.
Selain itu, UUD-1945 sendiri memang memberi peluang baginya untuk
mendapatkan kekuasaan besar, dan MPR berada di dalam cengkeramannya.
Akibatnya, MPR sebagai lembaga tertinggi negara, tidak lagi mampu
menjalankan tugasnya mengontrol pemerintah dan selalu menerima setiap
keputusan pemerintah (baca: Soeharto).
Sistem MPR, sebagaimana ditunjukkan oleh Pasal 1 Ayat 2 (MPR menjalankan
kedaulatan rakyat sepenuhnya), Pasal 2 Ayat 1, 2 dan 3 (tentang susunan,
kedudukan, dan tugas MPR), dan Pasal 6 Ayat 2 (MPR memilih presiden dengan
suara terbanyak), memberi peluang besar kepada Presiden RI. Peluang tersebut
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Soeharto dan para pembantunya untuk
melakukan berbagai political corruption, yaitu memanfaatkan wewenang yang
diperolehnya dari kepercayaan rakyat (yaitu MPR, sebagai penjelmaan
kedaulatan rakyat) untuk kepentingan selain kepentingan rakyat banyak.
Selain itu, sistem legislasi sebagaimana ditunjukkan, antara lain, oleh
Pasal 5 Ayat 1 (Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan DPR) sangat berperan dalam memperbesar kekuasaan presiden.
Tetapi perlu dicatat, bahwa UUD-1945 sebenarnya sama sekali tidak bermaksud
menonjolkan peranan DPR, selain bahwa DPR mempunyai fungsi legislasi yang
sifatnya minor (sekadar memberikan atau menolak persetujuan), sebagaimana
ditunjukkan dalam pasal di atas.
Dengan demikian, dari awalnya, UUD 1945 hanya mengenal sistem MPR yang
terdiri dari (sebut saja) tiga kamar, yaitu DPR, Utusan Daerah dan Utusan
Golongan, di mana sidang gabungan ketiga kamar tersebut dilakukan minimum
sekali dalam lima tahun (Pasal 2 Ayat 2). Padahal UUD 1945 sama sekali tidak
menetapkan bahwa DPR sajalah yang hanya boleh bersidang setiap saat atau
minimum sekali setahun (Pasal 19 Ayat 2). Mungkin sudah menjadi salah-kaprah
dari awalnya, khususnya sesuai dengan interpretasi semasa Orde Baru
Soeharto, di mana Utusan Daerah dan Utusan Golongan tidak ”mendapat” tempat
sidang tersendiri dan tidak bisa bersidang setiap saat, sebagaimana DPR,
sehingga tidak pernah punya suara yang menentukan untuk mengendalikan
kekuasaan pemerintah.
Salah-kaprah pemahaman terhadap sistem MPR sebagai lembaga tertinggi negara
ini berlanjut hingga pasca-Soeharto. Salah-kaprah ini hanyalah salah satu
bukti ”kosong”-nya UUD-1945, dari banyak ”kekosongan” yang inheren.
Berbagai ”kekosongan” itu tentu saja memberi peluang yang lebih besar lagi
kepada Soeharto dan para pembantunya untuk mengabaikan kepentingan rakyat.
Antara lain, tiadanya pasal yang mewajibkan pemerintah menyejahterakan
hidupnya rakyat. Bahkan kewajiban memelihara fakir-miskin dan anak-anak
telantar pun dibebankan kepada ”negara” (Pasal 34), sehingga bukan menjadi
kewajiban pemerintah, karena tidak ada pasal yang menyatakan bahwa kekuasaan
menjalankan negara berada di tangan pemerintah (baik di pusat maupun di
daerah-daerah) yang dipimpin oleh seorang presiden.
Demikian pula ketentuan tentang cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai ”negara”, serta bumi,
air dan kekayaan alam di dalamnya dikuasai ”negara” untuk digunakan
sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 33 Ayat 2 dan 3), menjadi tidak
berarti karena tidak jelas siapa yang dimaksud dengan ”negara” itu.

Di dalam sistem UUD-1945 juga, taken for granted, semua pejabat negara
dianggap sebagai orang baik-baik, yang tahu bagaimana menjalankan negara
dengan baik, sehingga ketentuan yang njlimet tidak diperlukan. Yang
njlimet-njlimet itu dibuat dalam bentuk undang-undang, dan orang-orang yang
berkuasa (termasuk tentu saja yang jahat-jahat, karena UUD 1945 hanya
menyaratkan ”siapa yang mendapat suara terbanyak”) menggunakan kesempatan
ini untuk menetapkan berbagai undang-undang sesuai dengan maunya sendiri dan
untuk kepentingannya sendiri, apalagi kalau pedoman tentang undang-undang
itu tidak dimuatdi dalam UUD.
Sebagai contoh, tentang Pemilu tidak disebut-sebut dalam UUD-1945. Sehingga,
UU Pemilu selalu digunakan untuk mempertahankan kekuasaan rezim selama
mungkin, dan selewat Pemilu tak pernah terjadi perubahan besar di Republik
ini. Itulah UUD-1945 yang banyak dipuja dan dipuji, semata-mata karena itu
dilahirkan oleh para founding fathers. Karena UUD-1945 itulah berbagai
penyimpangan dalam menjalankan negara itu terjadi, dan akhirnya negara
bangkrut karena ulah pemerintah yang tidak bisa dikontrol oleh rakyat lewat
para wakilnya yang ada. Di dalam sistim yang seperti itu, perubahan yang
mendasar dan menyeluruh terhadap jalannya Republik demi mengembalikan
kedaulatan kepada rakyat dengan harapan mencapai kesejahteraan rakyat lahir
dan batin tidak mungkin akan pernah berlangsung lewat Pemilu, melainkan
melalui penjungkirbalikan lembaga-lembaga tinggi negara itu oleh rakyat.

Pasca-Soeharto
Pasca-Soeharto ditandai oleh segunung persoalan yang, tentunya, merupakan
warisan dari rezim otoriter yang berkuasa selama 32 tahun itu. Sayangnya,
kekuasaan pasca-Soeharto yang lemah dan tak berkualitas, dengan dalih itu,
mengelak dari tanggungjawab dan kewajibannya memperbaiki keadaan. Memang
mereka berkuasa secara kebetulan, karena mereka pada hakikatnya adalah
orang-orang yang tidak punya misi dan visi reformasi terhadap sistim Orde
Baru (dengan sistim MPR-nya UUD-1945), dan tidak pernah ”berbicara” tentang
hal itu pada masa jayanya Soeharto. Sehingga, pasca-Soeharto juga ditandai
oleh ketidakmampuan kekuasaan yang ada untuk menyusun sebuah sistim baru
yang mampu mengoreksi berbagai kesalahan masa lalu dan mencegahnya dari
kesalahan-kesalahan baru, antara lain, dengan memilih pemimpin-pemimpin dan
wakil-wakil rakyat yang berkualitas.
Sebagai akibatnya, berbagai keputusan dari hasil kebijakan pemerintah yang
sangat merugikan rakyat dan kepentingan nasional juga tetap berlangsung.
Selain berbagai hasil kebijakan pemerintah yang disebut dalam awal tulisan
ini, juga situasi perekonomian nasional yang tidak pernah membaik semenjak
krisis 1997, skandal BLBI yang melibatkan ratusan triliun rupiah yang tidak
pernah terungkap, skandal penjualan aset-aset BPPN dan BUMN dengan harga
murah, dan yang disusul dengan skandal R & D (Release & Discharge) bagi para
konglomerat hitam, sekaligus menunjukkan ketidakmampuan sistem MPR
mengendalikan pemerintah.
MPR memang berusaha menjadi seperti Soeharto menyusun sistem penyelenggaraan
negara baru dengan mengamendemen UUD 1945. Akan tetapi mereka bukan ahlinya,
sehingga berbagai kelemahan UUD 1945 yang ada diperparah lagi oleh adanya
amendemen-amendemen tersebut, karena lebih menampilkan
kepentingan-kepentingan golongan (baca: partai-partai pemenang Pemilu 1999).
Mereka juga mengulang kembali kelemahan-kelemahan UUD-1945 dengan
membiarkannya tetap ”kosong”. Sebagai akibatnya, berbagai kesalahan masa
lalu, yang timbul karena MPR tidak mampu mengendalikan kekuasaan pemerintah,
sekalipun dengan kepemimpinan yang lemah seperti dewasa ini, tidak pernah
terkoreksi, bahkan terus berlanjut dengan tingkat kesalahan yang lebih
besar.
Seharusnya, mundurnya Soeharto pada Mei 1998 itu diikuti oleh mundurnya
tokoh-tokoh Orde Baru seluruhnya, karena mereka telah gagal mewujudkan
cita-cita masyarakat yang sejahtera. Kepemimpinan negara seharusnya diambil
alih oleh kekuasaan yang bersifat sementara sambil menyusun sebuah sistem
penyelenggaraan negara yang baru, lewat perubahan UUD 1945, untuk
menggantikan sistem Orde Baru yang gagal itu. Barulah dilakukan pemilihan
umum yang sekaligus memilih pemimpin-pemimpin baru yang berkualitas untuk
menjalankan sistem baru dan mewujudkan sebuah Indonesia Baru.
Hal itu tidak pernah terjadi, sehingga Pemilu 1999 yang dirancang oleh para
tokoh Orde Baru itu (Presiden Habibie dan Ketua DPR/MPR Harmoko) hanya
menghasilkan pemimpin-pemimpin Neo-Orde Baru saja dengan tetap menjalankan
sistem Orde Baru. Amat disayangkan, bahwa tokoh-tokoh baru, seperti Amien
Rais yang kemudian menjadi Ketua MPR, terlarut dalam sistem Orde Baru, dan
mengadopsi perspektif dan cara berpikir Orde Baru. Mestinya, orang-orang
sekapasitas Amien Rais mampu membuat perubahan-perubahan, sekalipun dalam
skala kecil. Misalnya, menghapuskan keberadaan fraksi-fraksi, sehingga
berlaku prinsip demokrasi one man-one vote, dan bukan one faction-one vote
yang tetap berlaku hingga sekarang.
Demikian pula, MPR sebagai lembaga tertinggi negara bisa bersidang setiap
saat dengan memberikan tempat sidang tersendiri bagi Utusan Golongan dan
Utusan Daerah. Kalau perlu, dengan mengurangi jumlah anggota MPR menjadi 500
orang, yaitu dengan melikuidasi Utusan Golongan ke dalam 400 orang anggota
DPR, dan menetapkan 100 orang anggota Utusan Daerah. Dengan MPR bisa
bersidang setiap saat dan tanpa diganggu oleh fraksiisme, maka MPR bisa
mengendalikan pemerintah dengan efektif, dan mencegah terbitnya berbagai
undang-undang dan kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepada kepentingan
nasional dan rakyat banyak.

Nasib Amendemen UUD-1945
Memang dengan amendemen UUD 1945 oleh MPR hasil Pemilu 1999 tidak ada lagi
sistem MPR sebagaimana disebutkan dalam pasal-pasal UUD 1945 di atas.
Sebagai misal, MPR yang baru tidak lagi terdiri dari tiga kamar (DPR, Utusan
Daerah dan Utusan Golongan), tetapi dua kamar saja (DPR dan DPD—Dewan
Perwakilan Daerah). Tetapi amendemen telah gagal dalam menyusun sebuah UUD
baru yang tegas, kokoh, komprehensif dan tidak ”kosong”, yang mampu mencapai
cita-cita kesejahteraan rakyat yang abadi, lahir dan batin, serta sejajar
dan terhormat di antara bangsa-bangsa di dunia. Bahkan, UUD baru itu (yang
masih saja disebut sebagai UUD 1945), selain tidak sesuai dengan
pikiran-pikiran reformasi untuk mewujudkan sebuah Indonesia Baru, juga
semakin banyak ”kosong”-nya sehingga semakin mudah dimanipulir oleh
kekuasaan yang ada, yaitu melalui rekayasa pembuatan undang-undang, termasuk
undang-undang Pemilu!
Amendemen juga gagal menetapkan sidang-sidang gabungan DPR dan DPD yang
dapat diselenggarakan setiap saat dengan cara pengambilan keputusan sidang
gabungan yang efisien, dan melahirkan keputusan-keputusan, antara lain,
berupa resolusi-resolusi MPR (bukan sekedar ketetapan-ketetapan MPR ala Orde
Baru) yang efektif dalam mengendalikan kekuasaan pemerintah. Bahkan,
kata-kata ”dua kamar”, ”sidang gabungan” atau ”pengambilan keputusan” oleh
MPR itu pun tidak ada di dalam amandemen, sehingga segala sesuatu
sebagaimana praktik Orde Baru (atau Neo-Orde Baru), yaitu sistem MPR yang
ada selama ini, juga akan terus berlangsung. Meskipun sudah ada DPD,
Amandemen gagal dalam memberi peran dan kedudukan utama kepada DPD sebagai
counterpart penting DPR (wakil penduduk), mengingat DPD dalam konsep otonomi
provinsi (amandemen juga gagal menegaskan, bahwa yang dimaksud dengan DPD
itu adalah perwakilan provinsi yang seharusnya menjadi daerah otonom, bukan
kabupaten) adalah para senator (wakil provinsi) dari provinsi-provinsi yang
menyusun wilayah Republik Indonesia. Bahkan, DPD seharusnya menjadi eerste
kamer dengan peran strategis, termasuk peran investigasi dalam impeachment
terhadap presiden, investasi asing dan penjualan sumberdaya alam dan aset
negara, dan bukan sekedar dewan embel-embel.
Sidang gabungan MPR, atau bahkan sidang DPD saja, seharusnya juga bisa
memanggil presiden dan menteri-menterinya setiap saat dibutuhkan dalam
persoalan-persoalan yang puncak. Amandemen juga gagal dalam memperbaiki
wajah DPR yang sarat dengan kekuasaan fraksi-fraksi, sehingga DPR bukannya
menjadi Dewan Rakyat tetapi hanyalah sebuah Dewan Partai.
Sebagai akibatnya, MPR/DPR akan selalu terlambat (baca: ”telmi” atau ”telat
mikir”) dalam mempedomani dan mencermati setiap keputusan yang akan diambil
oleh pemerintah, dan akan gagal dalam mencegah keputusan-keputusan
pemerintah yang salah. Dengan kata lain, sistem MPR pascaamandemen tetap
tidak akan mampu mengendalikan kekuasaan pemerintah.
Amien Rais, Ketua MPR, terpaksa akan selalu sibuk dengan menyebut an
ultimate crime against the nation terhadap setiap keputusan pemerintah yang
dianggapnya salah dan telanjur terjadi (seperti dalam kasus divestasi
Indosat), tanpa menyadari bahwa itu adalah bagian dari kesalahan MPR sendiri
yang dengan amendemennya yang tidak bertanggungjawab itu akan terus
melahirkan keputusan-keputusan nasional yang salah, yang tidak berpihak
kepada kepentingan rakyat banyak, dan bahkan membahayakan kepentingan
nasional sendiri. UUD-1945 yang telah diamandemen itu, mau tidak mau, harus
diamandemen lagi, kali ini dengan mengikutsertakan rakyat banyak! Lalu siapa
yang melakukan ultimate crimes against the nation? Tentu MPR harus ikut
bertanggungjawab terhadap kejahatan itu!

Penulis adalah Ketua Umum Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI).