[Nasional-m] Makna Sosial Ibadah Haji

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Jan 20 22:48:03 2003


Suara Karya
21 Jan. 22003


  Makna Sosial Ibadah Haji
@ Menyambut Pemberangkatan Jemaah Calon Haji 1423 H
Oleh M Saekhan Muchith


Ibadah haji adalah salah satu bentuk iba-dah yang memiliki makna multi
aspek, ritual, individual, politik psikologis dan sosial. Dikatakan aspek
ritual karena haji termasuk salah satu rukun Islam kelima yang wajib
dilaksanakan setiap muslim bagi yang mampu (istitho'a), pelaksanaannya
diatur secara jelas dalam Al Quran. Haji sebagai ibadah individual,
keberhasilan haji sangat ditentukan oleh kualitas pribadi tiap-tiap umat
Islam dalam memahami aturan dan ketentuan dalam melaksanakan ibadah haji.

Haji juga termasuk bentuk ibadah politik, karena persiapan sampai
pelaksanaanya masih memerlukan intervensi (partisipasi) dari pihak lain
(pemerintah). Sedangkan dari aspek psikologis ibadah haji berarti tiap-tiap
jemaah harus memiliki kesiapan mental yang tangguh dalam menghadapi
perbedaan suhu, cuaca (iklim), budaya daerah yang sangat berbeda dengan
situasi (iklim) bangsa Indonesia. Yang tidak kalah pentingnya dari ibadah
haji adalah makna sosial, yaitu bagaimana para jemaah haji memiliki
pengetahuan, pemahaman mengaplikasikan pesan-pesan ajaran yang ada dalam
pelaksanaan ibadah haji ke dalam konteks kehidupan masyarakat.

Syarat dan rukun dalam ibadah haji tidak semata-mata hanya untuk kepentingan
transendental (antara manusia dengan Allah) tetapi justru yang paling
penting adalah dijadikan pelajaran para pelakunya untuk membentuk
kepribadian atau moralitas pergaulan antara sesama manusia. Dengan demikian,
memahami dan menemukan makna sosial dalam ibadah haji menjadi suatu
keniscayaan bagi setiap umat Islam umumnya dan para jemaah haji kususnya.

Substansi Ibadah Haji


"Kami sambut seruan-Mu ya Allah, kami datang menunaikan panggilan-Mu ya
Allah, kami datang ke-Hadlirat-Mu, ya Allah, tiada sekutu bagi-Mu, ya Allah,
segala puji, nikmat dan kekuasaan adalah untuk-Mu semata, tiada sekutu
bagi-Mu, ya Allah." Kalimat ini selalu menggema di saat musim haji seperti
sekarang ini. Kalimat ini mengandung makna pengakuan, kepasrahan, ketaatan
dan kepatuhan dari seorang hamba (makhluk) kepada Sang Pencipta (Kholiq)
Yang Maha Agung, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kepatuhan dan ketaatan,
dan pengakuan terhadap keagungan Allah merupakan sarana paling efektif untuk
mewujudkan kejujuran, keiklasan yang bisa menghilangkan aneka bentuk
kejahatan dan kesombongan manusia dalam menjalankan tugas, peran dan
tanggung jawab sehari-hari. Siapa pun yang memiliki pengakuan terhadap
keagungan Allah berarti manusia itu memiliki kesiapan untuk bersikap dan
berbuat yang sesuai dengan perintah Allah dalam arti tidak akan mau
melanggar aturan, etika dan norma yang berlaku.

Ibadah haji tidak cukup dengan ketepatan, rutinitas syarat dan rukunnya.
Siapa pun yang berniat melaksanakan ibadah haji senantiasa harus memelihara
ucapan agar tidak mudah menimbulkan fitnah yang mengakibatkan orang lain
tersinggung. "Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan ini akan
mengerjakan haji maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan
berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji." (QS. Al-Baqarah: 197).

Dalam tafsir Al-Maroghi, kata rafats diartikan segala ucapan, sikap dan
perilaku yang bisa menimbulkan birahi, tidak senonoh, ketersinggungan,
malapetaka bagi orang lain yang mendengar dan melihat. Selama menjalankan
ibadah haji, para jemaah dianjurkan selalu berdzikir (ingat) kepada Allah
Swt. (QS. Al-baqarah: 198). Dzikir tidak hanya sekadar bagaimana manusia
melafalkan kalimat "Laa ilahaillallaah", tetapi yang terpenting bagaimana
mengimplementasikan makna kalimah dzikir ke dalam kehidupan sehari-hari.

Barang siapa yang menjalankan ibadah haji hendaknya memahami dan mampu
mengambil hikmah dari tiga peristiwa masa lalu (sejarah). Peristiwa pertama,
pada bulan haji ini, secara serentak umat Islam dianjurkan melaksanakan
sholat sunah Idul Adha di lapangan terbuka. Kekompakan itu melambangkan
adanya pelajaran bagi umat Islam, baik yang melaksanakan ibadah haji maupun
yang belum agar selalu menjalin dan menjaga persatuan dan kesatuan (ukhuwah)
di antara sesama manusia. Predikat haji yang diperoleh bukan untuk sarana
kebanggaan atau kesombongan, melainkan sebagai sarana untuk melatih dan
membangun kesabaran, penghargaan, penghormatan kepada sesama umat manusia.

Peristiwa kedua, pada bulan haji ini semua umat Islam bagi yang mampu
melakukan penyembelihan hewan (kurban) serta ada mengalir darah hewan di
mana-mana. Hal ini menandakan kesediaan umat Islam yang melaksanakan ibadah
haji harus berusaha membunuh atau membuang sifat-sifat kebinatangan (nafsu
hewaniah) yang hanya menitikberatkan pada masalah nafsu emosional,
keserakahan tanpa mengenal aturan dan etika, berganti menjadi mentalitas
manusia yang selalu menjunjung tinggi rasional, perasaan, menghargai dan
menjunjung tinggi etika, norma dan aturan yang berlaku baik secara sosial
maupun agama.

Peristiwa ketiga, pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci akan dihadiri oleh
jutaan manusia di dunia yang berasal dari mancanegara dan memiliki budaya,
kerakter, warna kulit, keyakinan agama yang sangat berbeda-beda. Mereka
semua bisa bersatu padu tanpa memperhatikan dan mempersoalkan asal usul,
warna kulit budaya maupun keyakinan agama. Artinya, siapa pun yang memiliki
niat menjalankan ibadah haji harus berusaha menumbuhkan perasaan atau
mentalitas pluralistik dalam segala hal, dengan cara menumbuhkan semangat
kebersamaan, toleransi, saling menghormati dan menghargai manusia.

Makna Sosial


Selama ini ibadah haji cenderung lebih dipahami sebagai ibadah ritual
daripada ibadah sosial. Artinya, predikat haji bagi seseorang hanya dilihat
dari kemampuan berangkat dan datang kembali ke Tanah Air dengan disertai
cerita-cerita atau pengalaman religius yang beraneka warna. Padahal, ibadah
haji lebih banyak makna sosialnya daripada makna ritual (transendental). Hal
ini didasarkan pada substansi Islam dalah agama rohmatan lil'alamiin. (QS.
Al-Anbiya: 107).

Makna sosial ibadah haji dapat diambil dari serangkain kegiatan yang
dilakukan selama ibadah haji berlangsung dan juga dikategorikan sebagai
syarat dan rukun ibadah haji. Di antara kegiatan ritual haji yang mengandung
makna sosial antara lain:

Pertama, Ihram, mengandung makna melepaskan dan membebaskan diri dari
lambang material dan ikatan kemanusiaan, mengkosongkan diri dari mentalitas
keduniawiaan, membersihkan diri dari nafsu serakah angkara murka,
kesombongan serta kesewenang-wenangan. Umat Islam yang telah memakai pakaian
ihram harus berjiwa stabil, tidak dikendalikan nafsu emosional terhadap
material (kekayaan/harta). Kalaupun mencari kekayaan/ harta harus selalu
memperhatikan, menghormati dan menjunjung tinggi aturan yang ada. Praktek
KKN, menumpuk kekayaan sementara orang lain menderita, menimbun barang pada
saat orang lain kesulitan mencari harus segera ditinggalkan, kalau umat
Islam sudah mengenakan pakaian ihram di tanah suci.

Kedua, Thowaf, mengandung isyarat keluar dari lingkungan manusia yang buas
masuk ke dalam lingkungan Rabbaniyah yang penuh kasih sayang, saling
menghargai dan saling menghormati. Sebelum thowaf, jamaah haji terlebih
dahulu melontar jumrah sebagai pertanda mengusir setan yang menggoda Nabi
Ibrahim as, Nabi Ismail as dan Siti Hajar. Itu artinya, setiap jemaah haji
harus selalu berusaha mengusir godaan setan yang bersarang dalam dirinya.

Ketiga, Sa'i, mengandung isyarat kesediaan menjalankan tugas dan tanggung
jawab (berjalan) bagi jemaah haji ke arah hal-hal yang positif dan
bermanfaat untuk dirinya dan orang lain. Artinya, siapa pun yang sudah
menjalankan ibadah haji harus bisa mengambil makna Sa'i yang menyimpan makna
perlunya perilaku yang positif baik untuk dirinya maupun orang lain
(masyarakat).

Keempat, Al-hulqu/Tahallul, (memotong rambut) mengandung isyarat
pembersihan, penghapusan sisa-sisa cara berfikir yang kotor yang masih
berada dalam kelopak kepala masing-masing manusia. Jemaah haji yang telah
menjalankan tahallul mesti harus memiliki cara pikir, konsep kehidupan yang
bersih, baik tidak menyimpang dari etika dan norma sosial maupun agama.
Dengan kata lain, tahallul berarti mengajarkan kepada umat Islam yang
menjalankan ibadah haji agar bisa memiliki dan mengeluarkan pikiran yang
baik dan positif.

Makna sosial ibadah haji adalah mengajarkan kepada umat Islam umumnya dan
jemaah haji khususnya senantiasa merubah pikiran, sikap serta perilaku
(tindakan) yang lebih bermanfaat untuk masyarakat dan orang lain, jangan
sampai memiliki persepsi bahwa ibadah haji itu hanya untuk Allah, justru
yang paling esensial adalah ibadah haji itu diperuntukkan bagi sesama
manusia dengan cara selalu menjaga, menghormati, menghargai serta saling
menjunjung tinggi martabat manusia. Sabda rasul dalam dalam kitab Ruhul
Bayan Jilid II: "Tidak akan berhasil bagi orang yang melaksanakan ibadah
haji ke Tanah Suci sekiranya tidak membawa tiga hal; (1) sikap wara' yang
membendung dirinya melakukan yang diharamkan, (2) sikap sabar yang dapat
meredam amarah, (3) dan bergaul baik dengan sesama manusia." Di sinilah
makna sosial dari ibadah haji. Semoga saudara-saudara Muslim yang sekarang
diberi kenikmatan dapat menjalankan ibadah haji bisa mengambil makna sosial
dari ibadah haji, tanpa harus mengurangi kualitas amalan ritual dalam ibadah
haji, amien. ***

(Penulis adalah pengamat sosial keagamaan, staf pengajar
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri - STAIN, Kudus).