[Nasional-m] Sang Pluralis

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Jan 30 02:12:11 2003


Suara Merdeka
Kamis, 30 Januari 2003 KOLOM

Sang Pluralis
Oleh: Adi Ekopriyono

"KITA semua para penganut agama akan bertemu dalam jalan kehidupan (the road
of life) yang sama. Yang datang dari jauh, yang datang dari dekat, semua
kelaparan dan kehausan. Semua membutuhkan roti dan air kehidupan, yang hanya
bisa didapat melalui kesatuan dengan The Supreme Spirit," kata Bhagavan Das
dalam The Essential Unity of All Religions (1966).
"Semua agama relatif - terbatas, parsial, tidak lengkap dalam melihat
sesuatu. Menganggap bahwa satu agama lebih baik dari agama lain adalah
ofensif, berpandangan sempit," tulis Paul Knitter dalam No Other Name? A
Critical Survey of Christian Attitudes toward the World Religions (1985).
Ungkapan itu saya kutip dari makalah pemikir muda Islam, Budhy
Munawar-Rachman yang disampaikan pada seminar dialog antarumat beragama, di
Solo, 1999. Kutipan itu merupakan cerminan paradigma pluralis dalam
keberagamaan. Paradigma ini percaya bahwa setiap agama mempunyai jalan
keselamatannya sendiri.
Paradigma tersebut berbeda dari dua paradigma yang lain, yaitu eksklusif dan
inklusif. Paradigma eksklusif memandang bahwa hanya agama tertentu saja yang
merupakan jalan keselamatan, tidak ada jalan yang lain. Paradigma inklusif
memandang eksistensi dan kebenaran agama lain dari sudut pandangnya sendiri.
Baik inklusif maupun pluralis bisa memahami pemahaman pihak lain.
* * *
Paradigma keberagamaan itu mengingatkan saya pada Dr Th Sumartana, aktivis
dialog antarumat beragama, yang meninggal pada 24 Januari 2003, di Ciawi,
Bogor, Jawa Barat. Mas Tana - begitu biasa saya memanggil dia - adalah
seorang pluralis sejati. Meskipun menganut Kristen dan teolog yang bisa
berkotbah di gereja-gereja sebagai pendeta, dia memilih aktif dalam berbagai
macam dialog antarumat beragama.
Pluralismenya ditunjukkan pula ketika ia memilih masuk Partai Amanat
Nasional (PAN) yang dipimpin Amien Rais. Setiap diledek oleh teman-teman,
dia hanya tersenyum-senyum sambil berargumentasi bahwa PAN adalah partai
yang terbuka untuk siapa saja.
"Saya masih percaya bahwa PAN bukan partai yang hanya mementingkan Islam,"
jawabnya ketika saya tanya mengapa tidak mengikuti jejak Faisal Basri yang
keluar dari partai itu. Maka, sampai akhir hayatnya pun dia tetap tercatat
sebagai salah satu ketua DPP PAN.
Nampaknya, dia berprinsip bahwa gagasan pluralisme keagamaan tidak harus
diperjuangkan dalam kerangka seremoni keagamaan. Pandangan-pandangannya
sudah melewati sekat-sekat agama, etnis, dan batas-batas primordial lainnya.
Klaim-klaim kebenaran bukan lagi hal yang merisaukannya, karena baginya
setiap agama mempunyai jalan keselamatannya sendiri.
Itulah sebabnya, dia bisa menjalin relasi yang sangat baik dengan
tokoh-tokoh dari berbagai agama. Selain dengan Amien Rais, Mas Tana pun
dekat dengan Gus Dur dan tokoh-tokoh Islam yang lain. Dia adalah salah
seorang yang dimintai pertimbangan Gus Dur pada saat pemimpin NU itu ingin
mencabut TAP MPRS tentang Marxisme.
* * *
Sang pluralis telah tiada. Bangsa ini selayaknya merasa sangat kehilangan,
karena jumlah pluralis di negeri ini bisa dihitung dengan jari. Di kalangan
umat Islam, kita masih mempunyai Gus Dur, Nurcholish Madjid, Komaruddin
Hidayat, Budhy Munawar-Rachman, Ulil Abshar Abdalla, dan beberapa yang lain
yang berpandangan inklusif-pluralis.
Di kalangan Kristen tokoh-tokoh inklusif-pluralis itu terasa sangat jarang.
Dulu masih ada YB Mangunwijaya, yang sangat getol mengampanyekan pandangan
inklusif-pluralis di tengah-tengah hiruk-pikuk keberagamaan. Sekarang, Mas
Tana dan Romo Mangun telah tiada. Mungkinkah gema tentang Kristen
inklusif-pluralis bisa seindah dulu? Inilah pertanyaan yang perlu dijawab
oleh tokoh-tokoh agama Kristen.
"Paradigma eksklusif itu sudah bukan zamannya lagi. Kita harus mengembangkan
agama tanpa harus merasa bahwa agama kita sendiri yang paling benar," kata
Mas Tana.
Suatu ketika saya katakan kepadanya, bahwa Prof Dr John Titaley (Rektor
UKSW, Salatiga) bisa menjadi tokoh Kristen inklusif-pluralis karena
pandangan-pandangannya yang sangat terbuka. Jawabnya, "Kalau itu benar,
bagus!"
Mas Tana memang telah berpulang, namun gagasan-gagasan pluralisnya pasti
tidak akan pernah mati. Bangsa ini membutuhkan ketercairan relasi antarumat
beragama, karena pandangan eksklusif masih sangat kuat mencengkeram. Wajah
agama perlu diubah menjadi ramah, terbuka, dan agen perdamaian. Bukan
sebaliknya, menjadi alat pemicu konflik karena sangat mudah dipakai oleh
sebagian orang yang mempunyai vested interest.
Pluralisme adalah jawaban atas berbagai masalah keagamaan. Itulah yang
selalu ditekankan oleh sang pluralis Th Sumartana, seperti tercermin dalam
disertasinya Mission at the Crossroads, Indigenous Churches, European
Missionaries, Islamic Association and Socio-Religious Change in Java
1812-1936.
"Yuk, kita dirikan agama baru, agama tanpa klaim kebenaran," katanya,
bergurau kepada saya. (18)
- Adi Ekopriyono, wartawan Suara Merdeka