[Nasional] Orang Baik Tak Mudah Ditiru
a.supardi
nasional@polarhome.com
Sun Aug 11 15:24:28 2002
-----------------------------------------------------------------------
Mailing List "NASIONAL"
Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-----------------------------------------------------------------------
Dr Meutia Farida Hatta
Orang Baik Tak Mudah Ditiru
JUMAT 9 Agustus lalu bangsa Indonesia memperingati genap seabad (100 tahun)
Mohammad Hatta, proklamator dan wakil presiden pertama RI yang lebih akrab
dengan nama panggilan Bung Hatta.
Perjalanan hidupnya, yang selalu diwarnai dengan kejujuran dan
kesederhanaan -seperti yang tergambar pada betapa keluarga seorang wakil
presiden sampai harus bersusah-payah menabung sekadar untuk membeli mesin
jahit- menempatkan dirinya sebagai salah satu sosok yang patut diteladani di
negeri ini, terlebih di tengah carut-marut Indonesia saat ini, yang salah
satu penyebabnya adalah ketidakpedulian elite politik terhadap wong cilik.
Berikut ini bincang-bincang dengan Dr Meutia Farida, putri sulung Hatta.
Antropolog dari Universitas Indonesia (UI) dan istri ekonom Prof Dr Sri-Edi
Swasono itu menerima kedatangan Suara Merdeka di rumahnya, Jl Daksinapati
Timur No 9 Rawamangun, Jakarta Timur.
Sebagai seorang ayah dan kebetulan menjadi satu-satunya lelaki di rumah,
bagaimana sosok Bung Hatta di mata keluarga?
Ayah selalu berwibawa dalam setiap tindakannya, dan itu tidak dibuat-buat
atau dipaksakan. Walaupun demikian, penuh kasih sayang pada keluarga. Selain
itu beliau sudah menanamkan prinsip saling menghargai atau bisa disebut juga
demokratis, sesuatu yang saat itu sudah dianggap sangat maju.
Ini bisa dilihat dari sikapnya yang sangat menghargai pendapat kami,
walaupun usia kami sangat jauh dan semuanya perempuan. Itu sudah berlaku
sejak kami masih kanak-kanak.
Apakah Bung Hatta menerapkan prinsip-prinsip hidupnya dalam keluarga,
sehingga berkesan kaku?
Pada prinsipnya Ayah tidaklah kaku. Mungkin ada orang yang beranggapan
begitu, karena Bung Hatta hemat berbicara. Tetapi kalau kami menanyakan
sesuatu dan Ayah tahu bahwa kami mempunyai minat khusus terhadap apa yang
kami tanyakan, pasti akan menjelaskan secara panjang lebar.
Ayah juga sering berupaya keras mencari apakah yang kami tanyakan tadi ada
dalam buku-buku yang menjadi koleksinya. Beliau kemudian menyodorkan
buku-buku yang di dalamnya ada jawaban pertanyaan kami.
Selain itu beliau sering menunjukkan pada kami buku-buku bagus yang
dimiliki, untuk kami baca. Ayah akan merasa senang sekali bila bisa
menjelaskan apa yang ditanyakan anak-anaknya.
Bung Hatta juga suka diam bila ada yang memberikan pertanyaan konyol atau
tidak logis. Ini bukan humor, lo. Apalagi kalau pertanyaan konyol tersebut
datang dari orang dewasa. Kepada orang-orang seperti itu, Ayah paling hanya
tersenyum.
Pendidikan apa yang ditanamkan Bung Hatta pada anak-anaknya sejak dini?
Mengenai pendidikan yang ditanamkan pada kami, anak-anaknya, Ayah sebenarnya
sering mengajarkan agar kami menyatu dengan lingkungan, agar kami menikmati
alam dan menyelami cara hidup masyarakat. Jadi beliau mengajarkan kami
dengan praktik langsung. Misalnya, dengan membawa kami jalan-jalan ke
Megamendung (Jawa Barat).
Jadi sambil membaca buku tentang alam, kami jalan-jalan di perkebunan teh di
Megamendung yang berhawa sejuk. Saya masih ingat waktu itu kami masih
kecil-kecil. Saya dan adik saya, Gemala, terpaut lima tahun dan dengan yang
bungsu, Halida, saya terpaut sembilan tahun.
Saya masih ingat betapa riangnya saat itu bersama Ayah. Kami bersama-sama
jalan sampai menuju desa-desa di sekitar lokasi itu. Pada lokasi tertentu
kami dijemput sopir, lalu kembali ke rumah.
Ayah sebenarnya kuat untuk pulang berjalan kaki menuju rumah tempat kami
berlibur, walaupun melewati jalan yang mendaki. Tapi karena kami masih
kecil, ya tidak kuat jalan jauh. Jadi beliau mengalah dan pulang bersama
kami.
Acara seperti itu biasanya kami lakukan pada hari Minggu. Antara 1950-an
hingga awal 1960-an. Waktu itu kami masih duduk di SMP, SD, dan TK.
Mengenai kedisiplinan?
Ini yang perlu saya jelaskan dan ini yang terpenting ditanamkan Ayah pada
anak-anaknya, karena ini yang sifatnya prinsip bagi Bung Hatta.
Pendidikan yang kami terima adalah pendidikan tentang pentingnya hidup
dengan tertib. Dalam arti tidak boleh menerabas, karena semuanya ada
aturannya. Mengenai hal ini pun beliau mencontohkan secara langsung.
Kami harus antre di toko buku, ini pendidikan tentang tata tertib di tempat
umum, makan pada jam makan, berhenti menerima tamu atau teman pada pukul
19.30, karena pada pukul 20.00 kami harus makan malam bersama. Jadi
kedekatan keluarga kami dibina dengan cara ini.
Begitu pula dengan berpakaian, harus sesuai dengan lingkungan tempat kami
berada. Misalnya ditekankan agar tidak meninggalkan kamar tidur dengan hanya
mengenakan piyama.
Kalau pergi ke undangan resepsi, tidak boleh memakai celana panjang, tetapi
harus berkain-kebaya atau rok sesuai sifat undangannya. Kalau ada open house
dalam rangka Idul Fitri, kami harus berpakaian kain kebaya.
Begitu juga dengan sopan santun, termasuk berbahasa. Ayah tidak pernah
menggunakan kata "kamu" untuk menyapa kami. Tetapi memanggil nama. Serta
selalu menggunakan bahasa Indonesia yang benar. Karena kami memang
benar-benar orang Indonesia. Ayah saya Minang asli, Ibu campuran Jawa-Aceh.
Selain itu ditekankan agar catatan, termasuk catatan keuangan, harus rapi.
Contoh pengalaman saya sendiri, saya diajari disiplin dan tertib dengan cara
diberi tugas menulis pengeluaran belanja pasar setiap harinya, waktu saya
berusia 12 tahun. Biasanya Ibu yang menulis catatan belanja dan yang
berbelanja adalah koki kami waktu itu, Mbah Surip.
Namun sekali-kali saya harus mengambil alih tugas itu, kalau kebetulan Ibu
pergi, misalnya ada pernikahan salah satu kerabat di luar kota. Maklum saya
anak tertua dan adik-adik masih kecil, waktu itu ada yang SD dan ada yang
balita.
Baru-baru ini saya menemukan kembali catatan belanja yang saya tulis pada
tahun 1959, dan saya ingat saya harus mengembalikan sisa belanja secara
utuh. Begitu pula adik-adik saya, juga mendapat pendidikan serupa.
Apakah pendidikan yang ditanamkan masih berkesan sampai kini?
Ya masih. Pengaruhnya pada kebiasaan kami adalah sampai sekarang kalau salah
satu adik saya ke luar kota atau ke luar negeri dan saya menitip uang untuk
membeli sesuatu, adik yang dititipi akan mencatat dengan teliti, uang
berapa, kursnya berapa, belanjanya berapa, dan sisanya sampai ke sen-sennya
itu kalau uang negara lain.
Demikian pula dengan saya. Kami terbiasa jujur, biar pun Rp 100 akan
dikembalikan. Kami menganggap, sesama kakak-beradik harus jujur dan adil,
karena kita harus bergaul selama seumur hidup.
Betapapun masing-masing saudara itu berbeda. Namun berkat ajaran Ayah dan
Ibu mengenai kejujuran dan kasih sayang, kami merasakan pentingnya bersatu.
Apakah Bung Hatta juga pernah menceritakan saat "masa berjuang" dahulu.
Sehingga saat itu sampai harus diasingkan ke Boven Digul? Apa yang menarik
dari situ?
Dari cerita Ayah, kami tahu pentingnya ketaatan kepada Tuhan. Hal itu yang
menyebabkan beliau selalu tegar menghadapi cobaan. Sekalipun dibuang ke
tempat medannya yang sangat berat, beliau tetap tegar.
Dengan selalu membawa buku-buku yang dimiliki, Ayah mampu meramal -bukan
lewat klenik, melainkan lewat daya analisis atas hasil bacaannya.
Beliau mengingatkan negara kita ini merupakan negara pengurus bagi rakyatnya
yang masih banyak yang tertinggal, bukannya negara kekuasaan yang nantinya
malah potensial untuk menimbulkan praktik-praktik yang menyimpang akibat
kekuasaan yang cenderung ingin menang.
Setelah Indonesia merdeka, seringkali Bung Hatta "kalah". Itu karena menjadi
orang baik memang tidak mudah ditiru. Sebaliknya, kebodohan dan kerakusan
cepat sekali menular, bahkan sampai ke tingkat elite.
Karena itu beliau saat itu saja sering dilihat sebagai "orang aneh", tidak
mau korupsi, tidak berbasa-basi dan punya sifat "sama kata dan perbuatan."
Bagaimana kalau diihat pada zaman ini ?
Pada 1956 Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden. Bisa
diceritakan bagaimana persisnya dan apa yang mendasari langkah itu?
Waktu Ayah mengundurkan diri sebagai wakil presiden, saya baru berusia
sembilan tahun, Gemala empat tahun, dan Halida baru 11 bulan. Setelah agak
besar, saya mengetahui pengunduran diri itu dilakukan karena perbedaan
prinsip. Mengundurkan diri dari jabatan wapres memang telah Ayah beritahukan
pada Ibu, dan pada diri Ibu sudah terbentuk keyakinan kuat bahwa apa yang
dilakukan suaminya adalah hal yang sudah dipikirkan masak-masak dan pasti
merupakan keputusan yang tepat.
Karena itu walaupun waktu itu baru berusia 30 tahun, menjadi istri seorang
tokoh yang bukan saja dihormati di Tanah Air sebagai orang nomor dua RI
melainkan juga dicintai rakyat, Ibu tetap patuh pada keputusan Ayah dan
mendukung.
Bahkan waktu Bung Karno mengatakan kepada Ibu, "Yuke (nama kecil Rahmi
Hatta-Red), bilang dong sama Bung Hatta agar tidak mengundurkan diri." Namun
Ibu tetap pada pendiriannya dan mengatakan, "Om, apa yang baik menurut Kak
Hatta, saya akan mengikuti." Panggilan "Om" pada Bung Karno adalah karena
orang tua ibu saya, atau kakek-nenek saya, keluarga Abdul Rahim, teman baik
Bung Karno sehingga Bung Karno telah mengenal ibu saya sejak masih gadis
kecil. Beliau suka datang ke rumahnya untuk bertemu dengan kakek-nenek saya
dan teman-teman seperjuangannya.
Karena jasa Bung Karno jugalah Ayah bisa mengenal Ibu. Tetapi waktu Ayah
mengundurkan diri, saya juga sempat merasa ada rasa takut dari handai taulan
dan sanak saudara untuk berhubungan dengan kami. Ya mungkin karena mereka
takut dicap berkawan, berhubungan dengan orang yang tidak sepaham atau
berseberangan dengan Bung Karno.
Selain itu yang saya tangkap saat itu juga konsekuensi masalah ekonomi.
Setelah Ayah tidak menjabat, ya banyak keterbatasan karena uang pensiun
sangat kecil. Namun saya tidak akan menjelaskan lebih lanjut, nanti dianggap
mendramatisasi.
Akan tetapi yang jelas kami sekeluarga siap mental menghadapi masa-masa
sulit tersebut. Karena pada saat Bung Hatta menjabat pun kami tidak hidup
yang berlebihan seperti umumnya pejabat tinggi.
Sewaktu kuliah pun saya sudah biasa naik bus kota. Namun di balik ini semua
tertanam pendidikan pentingnya menjaga nama baik, menjaga sebuah prinsip di
atas segalanya. (Hartono Harimurti-25)
(SUARA MERDEKA, Minggu, 11 Agustus 2002)
-------------------------------------------------------------
Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/
Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national
Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html
Nasional-A: http://redhat.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-a
Nasional-f:http://redhat.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-f
------------------Mailing List Nasional----------------------